"Ya ampun, gak sabar deh buat besok!"
"Eh, kamu udah beli kado juga kan?"
Hmm, tinggal aku sendiri yang nggak sibuk apapun untuk hari Valentine besok. Sebenarnya aku ingin seperti mereka, masak cokelat untuk kekasih tercinta, menyiapkan bingkisan spesial.. Yah, apa mau dikata, pasangan juga aku tak punya.
Sebelumnya perkenalkan, namaku Quinta, 17 tahun. Aku tinggal bertiga bersama ayah dan ibu, sebuah keluarga yang hangat tanpa kemewahan, semua tak jadi masalah selama kami bahagia.
"Quinta, gimana tahun ini? Kayaknya gak sibuk juga ya?" terdengar selorohan Delvi yang pastinya melirik kearahku.
"Hahaha, kamu sih Del, bantuin kek cariin pacar buat dia," giliran Runa menyahut. Hello, masalah buat kalian?
Aku turun dari meja dimana hampir satu jam aku duduk termangu, kuhampiri kedua gadis sok eksis itu sambil tersenyum manis.
"Hmm, aku sih santai aja. Semuanya udah siap kok, tinggal ketemu pacar tercinta," kataku enteng, ya tentu saja aku berdusta. Nyatanya aku tak mau membiarkan mereka melihatku merasa kalah dan malu.
"What? Emang kamu punya pacar?" Runa bertanya nampak heran.
"Aduh, perlu nggak ya aku kenalin sama kalian? Kayaknya cukup aku yang tau," aku menjawab sekenanya, hahaha makan tuh rasa penasaran kalian.
Ya, akhirnya aku berjalan santai meninggalkan mereka keluar kelas. Hari ini seperti biasa guru Matematika kami tidak masuk lagi, kami tidak peduli alasannya apa, kami suka dia tidak ada dikelas.
"Wah, anak ibu sudah punya pacar ya rupanya? Buat siapa cokelat dan bingkisan itu?"
Hmm, kalimat itu nyaris saja membuatku mati mematung. Aduh, kenapa juga ibu tiba-tiba masuk ke kamar? Salahku juga kenapa tidak menutup pintu? Hehe.
"Ahh, ibu mau tau aja. Ini kan hari Valentine bu..," jawabku sedikit malu. Aku buru-buru menyembunyikan cokelat dan bingkisan aneh yang kubuat kedalam tasku.
"Kenapa mesti malu-malu sayang? Biasanya anak gadis itu curhat juga masalah percintaan ke ibunya, hehehehe..," ibu menggodaku.
Mukaku merah padam, segera saja aku keluar kamar sedikit berlari.
Siang yang aneh, kulihat jam ditanganku menunjukkan pukul 14.00. Sesekali kulihat kanan-kiri, tak ada seorang pun dipinggiran danau ini. Padahal hari minggu biasanya ramai orang pacaran disini, tapi Valentine seperti ini malah sepi. Kemungkinan mereka migrasi ke tempat yang lumayan elite ya, hehehe.
Ya Tuhan, mau kuapakan cokelat dan bingkisan yang kubawa ini? Haaa, betapa bodohnya aku. Aku berharap tahun ini bisa menikmati Valentine bersama seorang kekasih, tapi mau bagaimana lagi?
Apa boleh buat, aku makan saja cokelat ini, dan bingkisan ini ya untukku saja, hehe.
"Aduh, enak ya yang dapat cokelat dari pacar?"
Aku mengernyitkan alis, siapa yang bertanya dan siapa yang ditanya?
"Hei, aku cuma nanya aja kok kayak keganggu bener kamu?" tiba-tiba saja seorang pemuda sebaya denganku duduk dengan santai disampingku, aku sama sekali tak mengenalnya.
"Siapa sih, gak usah sok kenal deh," kataku malas.
"Jiahh, santai aja non. Emang kenapa pacar kamu belum datang juga jadi cokelatnya mau kamu makan gitu?" pemuda itu berkata dengan santainya.
"Aku gak punya pacar kok," kataku cuek. Merasa malu, aku urungkan niat membuka bungkusan cokelatku dan mengembalikannya kedalam tas.
"Aduh kasihan ya, hahaha,"
"Aku gak mau diganggu jadi buruan pergi deh," kataku sambil menatap pemuda itu dengan agak jutek.
Pemuda itu hanya tersenyum, lalu melemparkan pandangannya kearah danau.
"Aku cuma mau duduk disini kok, aku pikir aku bakal sendirian disini kayak Valentine tahun kemarin," kata pemuda itu, "Harusnya kamu yang pergi, ini tempat aku, aku biasa Valentine sendirian disini," dia lalu menoleh kearahku.
"Idih, emang ini danau punya kamu apa?" kataku malas.
Pemuda itu tertawa. "Ya udah, ini danau jadi milik kita berdua hari ini. Kita rayain aja Valentine berdua.."
Aku agak shock mendengarnya, ciee dengar kata-kata 'milik kita berdua' itu kan kayak romantis gitu ya, hehehehe.
Pemuda itu mengulurkan tangannya kedepan wajahku, "Kenalan dulu dong, namaku Valentinus."
"Valentinus?" spontan aku menyebut namanya.
"Ya, hari ini 14 Februari hari dimana aku lahir. Nama kamu?"
"Quinta. Ehm, kalo gitu selamat ulang tahun ya....." entah kenapa aku tiba-tiba jadi gugup, hmmm.
"Hahaha, iya deh makasih ya Quinta," jawab Valen sambil tersenyum lebar padaku.
Ya ampun, baru kali ini aku berduaan saja dengan dengan pemuda yang baru aku kenal! Tiba-tiba jadi grogi saja.
Untuk beberapa saat kami terdiam, muncullah sebuah ide dari otakkku!
"Oia, hari ini kamu ulang tahun kan, jadi ambil aja ini buat kamu," kataku sambil merogoh isi tasku.
Valen sempat bingung melihat cokelat dan bingkisan yang kusodorkan didepan wajahnya.
"Serius ini buat aku, eh, ini kan bingkisan Valentine loh," katanya bingung.
"Udah ambil aja, kan udah aku bilang aku gak punya pacar juga," kataku sambil memaksanya menerima pemberianku.
Valen tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak.
"Kok malah ketawa sih?" tanyaku heran.
"Iya lucu dong," jawab Valen disela tawanya.
"Lucu kenapa?"
"Jadi dari awal cokelat dan bingkisan ini buat siapa?" pertanyaan Valen membuatku malu setengah mati. Aku tidak berani menjawab apa-apa, sialan.
Tangan Valen mendarat diatas kepalaku, dia mulai mengacak-acak rambutku sambil tertawa dengan keras.
"Eh, jauhin tangan kamu!" teriakku sambil membenarkan rambutku.
Valen lalu berhenti tertawa dan mulai membuka bungkusan cokelat ditangannya.
"Ya ampun, Quinta. Kalau pengen punya pacar ya dicari dong,"
"Maksud kamu apa coba bilang gitu, sendirinya juga belum punya pacar kan?" kataku membela diri.
"Beda dong, aku sih emang males pacaran," jawab Valen sambil mulai mengunyah.
"Alah, alibi. Bilang aja gak ada yang mau jadi pacar kamu," ejekku.
"Ye, kamu kali yang gak ada yang mau," balas Valen.
"Kamuuu!" teriakku.
Tiba-tiba saja kurasakan air menetes diatas kepalaku.
"Eh, hujan nih. Kita pulang aja yuk," seru Valen sambil memasukkan coklat dan bingkisan kedalam tasnya.
"Aduh, kok tiba-tiba hujan ya?"
Valen berdiri dan menutupi kepalanya dengan tas.
"Kamu pulang kearah mana, biar aku anter ya, aku bawa motor kok."
Kami berlarian menuju motor yang diparkir agak jauh dari danau, mulai dari situ ingatanku memudar. Aku awalnya sengaja memudarkan ingatanku tentang kelanjutan kisah itu.
Saat kami bertukaran nomor handphone diatas motor dan hujan semakin deras, suara decitan panjang memekakkan telingaku.
Aku sama sekali tak tau apa yang terjadi, tiba-tiba saja saat kubuka mata aku sudah berada di Rumah Sakit.
"Valen..."
Nama itu spontan saja keluar dari mulutku, yang aku ingat sedetik yang lalu aku masih berpegangan dipundaknya, dia memboncengku ingin mengantarku pulang.
"Quinta, kamu sudah sadar sayang?" terdengar suara cemas ibu ditelingaku.
Kepalaku sakit sekali, semakin kubuka mata semakin sakit. Aku hanya ingin terpejam, biarkan saja aku mendengar suara-suara disekitarku, aku tak ingin membuka mata.
"Valen dimana bu? Kami kecelakaan ya?" suaraku nampak lemah, semua badanku pun lemas untuk kugerakkan.
"Valen? Kamu tidak pernah cerita sama ibu ya, bahkan ibu baru tau namanya saat ada kejadian seperti ini..."
Valen?
Aku mau bertemu kamu lagi.........
Sudah pasti aku mau bertemu kamu lagi, ada sesuatu yang mau kubicarakan denganmu. Tidak mungkin, pertemuan kita ini begitu singkat, aku bahkan baru mengenalmu.
Tuhan, aku memang ingin Valentine-ku tak terlupakan.
Ya, awalnya memang seperti itu. Dan memang tak akan bisa aku lupa jika kejadiannya seperti ini.
Valen, aku setiap hari teringat wajahnya. Aku selalu teringat kejadian hari itu.
Tuhan, kenapa kau buat seperti ini?
Kenapa Valentine kau buat sebagai hari peringatan akan hari kelahiran Valen dan hari dimana aku harus berziarah ke makamnya?
Tapi aku tau ini bukan hukuman untukku, hanya saja aku terlalu cengeng menghadapi kenyataan ini.
5 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar