Minggu, 08 April 2012

Rumah Lama

Pagi ini terik sekali, keringat yang mengalir ditubuh ini mungkin bisa 2 atau 3 kilogram jika dikumpulkan kedalam sebuah wadah.
"Hai Nanza, duluan ya!"
"Met pagi Nanza, ayo semangat!"

Hufth, aku bukannya tidak malu setiap pagi mendengar sorakan para fans. Haha, mereka bukan fans, hanya saja hampir setiap orang disekolah mengenalku. Terkenal? Ya itulah aku, Nanza, 17 tahun, gadis satu-satunya yang berjalan kaki menuju sekolah.
Aku bukannya anak termiskin disekolah, tapi entahlah kenapa aku nampak miskin semiskin-miskinnya?
"Nanza kupikir kamu telat lagi hari ini?"
Sapaan Berda yang ramah membuatku sanggup tersenyum diatas rasa capeknya dikakiku ini. Berda satu tahun lebih muda dariku, dia anak yang pintar tapi tidak pandai bergaul. Dia anak seorang tukang koran, ya kupikir dia lebih miskin dariku, karna itu dia hanya berani bergaul denganku.
"Untung deh aku gak telat," kataku sambil merebahkan badan dikursi lalu melempar tas selempang biruku keatas meja.
Berda duduk disampingku sambil tersenyum, "Oia PR kamu udah aku buatin," katanya sambil menyerahkan buku tulisku yang dibawanya. Aku menarik buku itu dari tangannya lalu mengipaskan ke leherku.
"Makasih yah," jawabku cuek.
Berda hanya tersenyum.

Bel tanda masuk berbunyi. Ibu Donna, wali kelas kami memasuki kelas sambil diikuti seorang gadis dibelakangnya. Seketika terdengar suara sorak-sorai anak lelaki dikelas dan suil-suilan nakal mereka.
"Wah, cantik banget...." terdengar Berda berdecak kagum.
Hmm sudah pasti gadis itu anak orang kaya, nampak silau sekali penampilannya. Rambutnya panjang bergelombang dan matanya dipasangi soft lens warna ungu. Ia melemparkan tersenyum, nampak sombong.

Aku menghabiskan mie ayam sendirian dikantin, Berda hari ini tak menemaniku karena dia kusuruh mencari bahan makalahku diperpustakaan. Dia memang baik sekali kepadku, tapi kupikir dia bodoh sekali karena hampir semua keinginanku dia penuhi, kecuali berjalan kaki pergi dan pulang sekolah karena dia diantar-jemput ayahnya.
"Boleh aku duduk?"
Terdengar suara lembut seorang gadis menyapaku, aku buru-buru menoleh.
"Kamu pasti tahu kan, aku nak baru dikelas kamu," kata gadis itu sambil tersenyum.
"Oh, iya duduk saja disitu," jawabku cuek sambil lanjut menyeruput es jerukku.
Gadis itu bernama Violetta, katanya sih pindah sekolah karena ayahnya dimutasi ke kota ini.
"Oia nama kamu siapa?" tanya Violetta sambil meletakkan mangkuk berisi baksonya keatas meja.
"Nanza," jawabku singkat.
"Hmm, aku.."
"Violetta," potongku.
"Kupikir kamu lupa namaku," kata gadis itu.
"Aku nggak sebodoh itu kok, kan tadi kamu yang bilang didepan kelas," jawabku sambil mulai mengunyah es batu.

Bel pulang berbunyi, aku buru-buru melangkah keluar kelas.
"Nanza duluan ya...," teriak anak-anak yang berlalu didepanku.
"Nanza hati-hati diluar panas, hahahaha,"
Tentu saja aku sudah biasa mendapat ejekan konyol semacam itu.
"Nanza tunggu!"
Aku menghentikan langkahku, aku belum kenal betul suara itu.
"Kamu pulang bareng aku aja ya...,"
"Hah?"
Ternyata Violetta yang memanggilku, dia tersenyum lebar sambil menggamit lenganku. Aku agak heran melihat gadis yang sedari tadi sok akrab kepadaku ini.

Sebuah mobil sedan mewah memasuki kompleks perumahan, ya maksudku mobilnya Violetta yang membawaku pulang. Setelah bertahun-tahun akhirnya aku pulang naik mobil juga.
Violetta membuka pintu dan keluar dari mobil, "Wah, rumah kamu bagus juga. Aku au masuk ah.."
Heh, ini orang maksudnya mengejek atau apa ya? Dia memuji rumah konyol keluargaku.
"Kamu pulang aja, rumahku jelek, aku nggak mau kamu ejek nantinya," kataku sambil menatap malas padanya.
Violetta mengibas rambut indahnya, "Yey, gitu ya. Gak ada bilang terima kasih lagi," katanya sambil cemberut.
Aku mengerang kesal, "Oke, makasih banyak ya hari ini aku gak pulang jalan kaki," kataku.
Violetta tertawa kecil.

"Nanza, bangun! Nanza!"
Aku bangkit dari tidurku dengan malas lalu mengerjap-ngerjapkan mata.
"Apaan sih, biasanya juga nggak dibangunin," seruku sambil mengelap air yang membasahi danguku.
"Justru itu, mama heran melihat ada temanmu tiba-tiba ada didepan rumah," kata mama agak berbisik.
"Hah? Siapa temanku yang pagi-pagi sudah kesini?"
"Violettaaaa..........!!!!"
Terdengar suara Violetta meneriakkan namanya, tiba-tiba saja dia sudah muncul dari balik badan mama.
"Heh, ngapain kamu datang kerumahku sepagi ini??!" seruku kaget. Tentu saja aku kaget, anak ini kenapa ya jadi aneh seperti ini?

"Ayo dimakan ya, kakak akan marah sama kalian kalau makanan-makanan ini tidak habis juga!"
"Hei, coba kamu jelaskan dulu apa maksudnya ini semua????"
Aku sedari tadi berteriak tapi gadis itu tidak juga menghiraukanku, dia malah asyik menyiapkan sarapan diatas meja. Dia membawa banyak makanan entah untuk jatah makan kami selama sebulan atau lebih. Dia juga membawa pakaian dan barang lain kedalam rumahku, ahhhh dasar gadis aneh.
"Violetta apa maksudnya ini, kami bukan keluarga yang terlalu miskin untuk kamu perlakukan seperti ini!!!"
Violetta menghentikan aksinya sambil menoleh kearahku, diikuti oleh adik-adikku dan mamaku yang menatapku dengan heran.
Ia lalu tersenyum tipis dan duduk disampingku.
"Kamu jangan tersinggung ya, anggap saja aku kakakmu yang baru datang dari luar negeri dan membawa oleh-oleh untukmu," katanya antusias.

Hampir satu bulan ini aku merasa otakku mulai bergeser. Violetta, anak baru yang awalnya sama sekali tidak kukenal, mendadak jadi sok pahlawan terhadap keluargaku. Aku merasa mulai membenci gadis itu. Dia sekarang lebih dekat dengan adik-adikku dan mamaku, ya mungkin karena aku bukanlah kakak dan anak yang baik bagi mereka.
Aku hanya membiarkan semua mengalir saja, aku memang selalu cuek terhadap apapun. Aku bahkan tidak pernah peduli pada mama yang membanting tulang untuk kami sendirian tanpa ayah yang menghilang entah kemana disaat aku kecil, disaat adik kembarku masih balita. Untungnya nenek dan kakek meninggal disaat adikku sudah duduk dibangku sekolah dasar.
Setiap hari aku diantar-jemput Violetta dengan supirnya. Setiap hari dia bermain dirumahku hingga sore bersama adik-adikku, bercengkrama dengan mamaku, hal-hal yang belum pernah kulakukan.

"Nanza, besok kamu ulang tahun,"
Violetta menghampiriku dengan senyumnya yang begitu cantik.
Aku menerawang, "Oh, iya. Bahkan aku lupa hari ulang tahunku," kataku.
"Hehe, besok mau makan apa, aku juga akan berikan kejutan untukmu!" seru Violetta.
"Bukannya setiap hari kamu selalu mengejutkanku dengan tingkahmu itu?"
Aku berlalu meninggalkan Violetta sendirian.

Bel pulang berbunyi, aku dan Violetta berjalan ke parkiran dan masuk ke mobil. Violetta nampaknya lupa dengan hari ulang tahunku hari ini.
"Aduhhh, besok banyak PR ya," seru Violetta sambil memencet handphone-nya.
"Minta buatin aja sama Berda," jawabku cuek.
"Aku bukan kamu, yang memperlakukan dia sebagai budak," kata Violetta sambil tertawa kemudian.
"Dia melakukan itu karena dia temanku,"
Violetta tidak menjawab.
"Stop didepan ya pak," katanya kepada supir disampingnya.
Mobil berhenti disebuah perumahan elite, rasanya aku pernah ketempat ini, tapi entah kapan.
Violetta menoleh kearahku sambil tersenyum, tepat sebelum dia membuka pintu. Aku pun membuka pintu mobil dan turun.
Violetta mendekat kesampingku.
"Kamu ingat rumah ini?' tanyanya.
Aku terdiam sejenak menatap rumah megah bergaya klasik dihadapanku, lalu menggeleng.
"Tidak tahu, mungkin aku pernah melewati perumahan ini suatu hari," jawabku cuek.
Violetta lalu tertawa.
"Mana mungkin juga kamu masuk kerumah ini ya. Rumah ini jauh dari rumahmu, kamu saja kemana-mana jalan kaki," katanya meledek.
Aku hanya mendengus kesal.
"Lalu kita mau apa kesini?" tanyaku.
Violetta berjalan pelan meninggalkanku.
"Menemui pemilik rumah ini," jawabnya.

Beberapa menit kemudian pintu gerbang rumah itu dibuka, kami mulai memasuki pekarangan yang indah. Violetta bercakap-cakap bersama seorang pelayan yang tadi menyapa kami di gerbang. Aku mulai merasakan keanehan disetiap langkahku memasuki area rumah ini. Kepalaku mendadak terasa pusing, aku mendengar suara-suara orang bicara, namun suara itu tidak jelas, bercampur dan aku tidak tahu siapa yang bicara, dan suara itu nampak banyak sekali seperti ribuan orang...

"Nanza, bangun.... Nanza....."
Aku mulai membuka perlahan-lahan. Rupanya tadi aku sedang bermimpi?
"Nanza, Nanza kita sudah kembali kerumah," suara mama membaurkan kesadaranku.
"Mama? Kenapa kepalaku sakit sekali?" tanyaku sambil mengelus-elus jidatku.
Mama mencubit-cubit pipiku. "Sadar Nanza, mama ingin kamu segera bangun dan melihat sekeliling!" seru mama.
Aku tidak mengerti maksud mama, aku hanya bangkit dan duduk diranjang yang terasa empuk sekali.
"Mama, kita ada dirumah siapa sekarang?" tanyaku heran setelah menyadari aku berada ditempat asing.
"Ini rumah kita...," jawab mama sambil tersenyum.
Aku mengernyitkan alis.
"Kakaakkk.........!!!!!!!!!!!"
Tiba-tiba saja kedua adikku menghampiriku dan naik ke ranjang, keduanya menggamit dilenganku.
"Maksud mama apa, rumah kita?"
Lalu terdengar suara berat seorang lelaki memanggil namaku.
"Nanza, kalian sudah pulang  ketempat kalian,"
Aku merasa mengenal suara itu.
Seorang lelaki berjalan menghampiriku, lalu memelukku.
Aku hanya terdiam, aku merasa mengenal lelaki itu.
Aku ingin berkata sesuatu padanya tapi bibirku terasa kaku.
Dia memelukku dengan erat, dan tiba-tiba saja kedua mataku panas, air mataku mulai mengalir.
"Maafkan papa sayang, papa selama ini menelantarkan kalian. Maafkan papa....."
Suara lelaki itu nampak gemetar, aku tahu, aku bisa merasakan penyesalan didalam kalimat yang keluar dari mulutnya tadi.
Dan aku mulai bisa mengingat semuanya, dia adalah papaku, lelaki yang meninggalkan kami karena ia lebih memilih istri pertamanya.

"Nanza, kamu pasti membenciku,"
"Aku tidak membenci kamu, kamu tidak bersalah apapun,"
Hampir satu jam aku dan Violetta berdiaman diruang tengah, ruang tengah rumahku. Rumah mewahku yang pernah kutinggalkan selama bertahun-tahun.
"Aku baru tahu aku punya saudara, aku tidak mengerti apapun saat dulu. Kita masih terlalu kecil saat itu dan kita tidak pernah bertemu," kata-kata Violetta membuatku merasa aneh. Aneh karena aku baru menyadari, dia adalah saudara tiriku.
"Tidak usah dipikirkan," jawabku singkat.
"Aku merasa bersalah Nanza, aku ingin kamu juga tahu mamaku juga merasa bersalah,"
"Kamu tidak perlu membahas wanita itu,"
"Nanza tolong maafkan mamaku, dia baru dua bulan meninggalkanku Nanza, dia ingin sekali berkata maaf padamu..,"
"Aku tidak pernah menaruh dendam, aku sudah berhasil melupakan semuanya selama bertahun-tahun. Dan sebenarnya aku menyesal kenapa kamu membawa ingatan itu kembali kekepalaku,"
Violetta tidak menjawab apapun, dia hanya meraih tubuhku dan memeluk dengan erat. Aku bisa mendengar dia menangis.
Dia menangis sesenggukan, aku tidak bisa mengerti apa yang membuatnya menangis seperti itu.
Aku hanya berpikir apakah sebab ia menangis saat ini, sesakit rasa yang aku rasakan dahulu ketika aku belum dewasa.
Ketika aku menangis melihat mamaku yang seperti orang gila, berusaha mengiris nadinya sendiri.
Dan yang ku tahu, semenjak saat itulah aku tumbuh menjadi seorang manusia yang tidak pernah mau peduli pada siapapun, bahkan dengan orang yang sedarah denganku juga, karena orang yang darahnya mengalir didalam tubuhku inilah yang pernah membuangku.


8 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar