Selasa, 05 November 2013

Apakah di dalam gelap kau tak mampu melihatku dengan seribu lilin di kedua tanganku?

Angkie Yudistia | Flickr - Photo Sharing!

"Jangan bergeraaaaaakkk....!!!"

Gio baru saja hendak beranjak dari kursinya ketika aku meneriakinya dengan nyaring. Sontak ekspresi kagetnya yang diarahkan ke sorotan mataku yang sejak tadi tak lepas memandanginya langsung membuat perasaanku luluh panik.
"Nah. Kau diam-diam melukisku lagi ya!" sentak Gio sambil menenteng gelas plastik capuccino dinginnya, melangkah lebar-lebar sambil menekuk dahinya mendekatiku yang masih terpaku dengan buku gambar dan pensil di tanganku.

Gio memelototiku yang mulai menggigiti bibir bawahku dan menatap penuh mohon. "Mana? Aku mau lihat seberapa tampannya ekspresi kalemku tadi!" tukasnya sambil merebut buku gambarku tanpa ampun.
Kuperhatikan dua bola matanya yang bergerak menyeruak, alisnya perlahan naik dan turun. Lantas bibirku mulai bergerak, manyun. "Coba lihat, kau sendiri yang membuat kegantenganmu itu kurang sempurna," cetusku pelan.
"Iya tah? Gak. Ini kan salahmu kenapa gak bilang dulu kalo mau ngelukis orang!" sergahnya sambil menepuk pelan bibirku dengan buku gambarku itu. Perlahan buku itu meluncur tepat ke timanganku.
"Pokoknya waktumu hampir habis, Nona. Besok kutagih janjimu!"
Selesai berkata ketus seperti itu, tubuhnya pun menjauhiku.
Pemuda yang sedang kupandangi punggungnya yang tak pernah tegap seperti seorang polisi itu, dia mungkin tidak pernah tahu sebesar apa perasaan selain menganggap teman yang kupunya untuknya.

***

"PING!"
"Nona, cewek itu kamu dapet dari mana?!"
"PING!"

Masih sempat menguap beberapa kali sebelum kupelototkan kedua mataku untuk membaca chat dari si bawel itu, kemudian langsung saja kuketikkan balasan agar dia langsung tersenyum di seberang sana.
"Temen di tempat kursus aku lah. Kenapa?"
"PING!"

Sekali lagi aku menguap sembari telapak tangan lebar menyentuh dan menepuk pundakku pelan. "Kenapa scarf-mu gak dipake, Non?" ucap Papa dengan lembut sambil berlalu melewatiku.
"Oh.. iya, iya, Nona lupa!" sahutku sambil menggerakkan tangan, memasukkan ponsel pintarku ke saku jaket tebal yang membalut tubuh mungilku dan menarik paksa scarf belang-belang dari tas selempangku. Buru-buru kulangkahkan kakiku sambil mengalungkan scarf di leher, mengejar Papa, Mama, dan adikku yang sudah jauh di depan sana.
Hmm.. puncak Bogor memang segar bukan main udaranya!

***

Tanganku melecitkan spidol merah ke kalender lucu yang tergantung manis di dinding kamar. Membuat tanda silang dan kadang juga membuat lingkaran pada angka-angka lucu yang berbaris itu. Hal ini sudah kulakukan berulang kali, tanpa lelah.
Setengah tahun bukan waktu yang lama dibanding dengan enam tahun pertemanan kami. Bahkan aku masih bisa merasakan sakitnya injakan kaki cowok itu di kaki kananku yang akhirnya menjadi awal manis perkenalan kami. Tubuhku memanas setiap kali kuingat kejadian lucu di tengah lapangan saat itu, saat masa orientasi di SMP. Dan setiap memori itu menyeruak, sosok cowok dengan bahu agak  membungkuk itu selalu menari-nari di pikiranku. Cowok berseragam SD dengan topi kerucut di atas kepalanya yang kutemui pertama kali berjalan mundur karna diisengi senior sampai menginjak kuat kaki kananku yang saat itu sedang berjalan miring atas perintah senior. Mulai saat itu, aku terus memperhatikannya, sampai akhirnya ia mengenakan seragam SMP, lalu seragam SMA.
Pertemanan kami sangat indah, banyak yang sudah kami lalui berdua sampai seluruh dunia mengira kami adalah sepasang kekasih. Namun kebersamaan kami itu sudah lama berhenti, sejak setengah tahun lalu.

***

"Nona, kalau kamu gak kuliah gini kamu mau kerja di mana coba?"

Perlahan mataku terlepas dari buku gambar yang kupegang, mengerling ke arah cowok yang sedang menyeruput capuccino-nya. Sesaat, tanganku mendiamkan goresan sosoknya di kertas gambarku. Beberapa tarikan napas kuambil lebih memburu. Aku bingung dengan keputusanku semalam.
"Ngapain lagi mikirin aku? Urusin aja keperluan kuliah kamu ya, selamat ya yang udah jadi mahasiswa!" putusku setelah lama memutar otak. Kemudian aku menyesali kalimat yang kuluncurkan itu, masih ragu untuk menceritakan hasil pengumuman yang sudah sebulan kututupi darinya.
"Nona, mestinya waktu itu kudaftarin juga kamu di situ, biar aku bisa jahilin kamu juga di kampus," tukas Gio sambil mulai menyalakan api dan menyulut rokok di bibirnya.
"Gak, ah. Mending kerja, nyari duit!"
Sekali lagi, kusesali kalimat yang meluncur mudah dari mulutku.

Pemuda ini, yang sedang duduk di hadapanku, dia mungkin tidak akan pernah tahu kalau mungkin ini hari terakhir kami bisa bercengkrama dari dekat.
Aku menyesal mengapa dia malah mendaftar kuliah di kampus swasta itu dan aku tidak memberitahunya bahwa aku mengikuti seleksi perguruan tinggi negeri dan telah dinyatakan lulus.
Akibatnya malah ketidakberanian yang menari di atas akal sehatku. Nampaknya aku tidak tahu kapan aku bisa mengatakan padanya bahwa rasa takutku melihatnya bersama gadis lainlah yang membuatku begini.
Aku tidak mampu menyatakan dengan alasan sebenarnya rasa marahku saat permintaan konyolnya yang berulang kali ia utarakan padaku itu, yang menjadikanku tidak bisa tidur nyenyak setiap malam.
Kukatakan saja padanya bahwa aku tidak mau jadi seorang mak comblang, dengan beragam alasan, namun nyatanya aku sudah mengantongi kandidat yang kuanggap baik baginya.

Kugoreskan lagi pensilku, berusaha menyempurnakan wajah yang kukagumi sejak lama itu. Dalam setiap goresan ini, dalam sejumlah lukisan yang menggambarkan sosoknya inilah, kukumpulkan cintaku untuknya.

"Jangan bergeraaaaaakkk....!!!"
"Nah. Kau diam-diam melukisku lagi ya!"

***

Angka 13 di bulan November, yang tak berhenti kutatapi di antara angka-angka lucu lain yang terpajang di kalender ini. Dan perlahan, buliran yang terasa panas ketika menyentuh kulit ini keluar lagi dari sudut mataku.
Sampai kapan aku menyesali kebodohanku ini, Gio? Dan sampai kapan kamu tak mau membalas kirimanku sebulan lalu?
Aku hanya mengirimimu satu buku gambar yang dipenuhi oleh sosokmu, hanya sebagian kecil dari kumpulan cinta yang kumiliki. Dan aku masih memiliki ribuan bahkan jutaan di sisiku, jika memang kau mau, semuanya memang untukmu. Namun kau mestinya tahu meskipun tidak ada pesan apa-apa untukmu selain gambarmu yang kukirim sebagai kado ulang tahunmu di tanggal 13, aku tetap menantikan balasan darimu. Dan aku hanya ingin beberapa kalimat saja, tulisanmu, yang bisa membuatku tahu bahwa kau baik-baik saja di sana.
Tapi sepertinya, kau dan teman kursusku itu memiliki kebersamaan yang sanggup membuatmu melupakan aku seumur hidup.

***

"Sudah lama nggak ngecek kotak surat lagi? Padahal aku nemu satu surat waktu itu!"

Sontak kubalikkan badanku. Kutatap penuh tanya senyuman nakal yang terpasang manis di wajah adikku satu-satunya itu.
"Surat?"
Lala mengangguk dengan semangat.
"Kamu nyimpen surat untuk Kakak ya?"
Sekali lagi, Lala mengangguk dengan semangat.
Tuhan.. tubuhku langsung melemas. Mungkinkah itu surat yang memang kunanti-nantikan selama ini?
"Mana suratnya? Kamu liat tadi ya nyampenya?!"
Langsung saja kuikuti gadis kecil itu berlari ke dalam rumah. Sejenak kutatap angka di jam tanganku lewat kacamata minusku. Ah, peduli amat dengan ocehan dosen? Dia harus memaklumi anak muda yang sedang dilema cinta ini. Hihi.
"Sudah dua bulan Kakak ngecek kotak surat dan udah seminggu gak ngecek lagi, Lala jadi benci liat Kakak tambah murung.."
Nah. Amplop putih itu.. Kuharap ada nama dia tertulis di sana.
"Seharusnya, Kak Gio gak bikin Kak Nona tambah sedih gini. Lala pengen Kak Nona cari cowok lain aja.."
"Hussss. Lala, ini bukan kayak yang kamu pikirin! Jangan asal ngomong!"

***

Medan, 18 November 2013

Nona, apa kabar kamu di sana?
Kenapa gak pernah ngasih tahu Gio kalo kamu lulus di ITB? Terakhir kamu cuma bilang kalo mau liburan seminggu di Bogor, jadi dia marah besar sama kamu lho..
Pasti asyik ya kuliah jurusan seni rupa, di Bandung pula?
Tapi sampai gak ngasih kabar jelas sama sekali ke kami apalagi ke Gio itu gak baik lho..
Dan ngomong-ngomong, aku suka banget gambarmu di buku yang kamu kirim ke Gio. Makanya, aku juga mau nyampein rasa terima kasih atas hadiahnya.
Makasih juga karna udah comblangi kami berdua. Doain hubungan kami awet ya!
Miss you so much!

Anindita,
teman kursusmu dan pacar Gio.

TO BE CONTINUED

please click http://bit.ly/1aKKxp4 :))




Tidak ada komentar:

Posting Komentar