Minggu, 17 November 2013

Kepada kamu, yang diam-diam menyimpan sejuta harap



Kisah lanjutan dari --> bit.ly/18bTP1a

Mata gadis itu masih terpejam, pulas, bermain dengan mimpi di dunia sana.
Semakin kudengar dengkuran halusnya, semakin gejolakku untuk mengungkapkan perasaan ini tak tertahan. Dengan pelan kulepas kacamata bingkai biru mudanya. Ah, gadis konyol ini, seenaknya tidur di pangkuanku entah sejak kapan, tanpa rasa takut kedua pasang mata tambahannya ini jatuh saja. Padahal kalau kacamata berlensa minus itu sampai pecah, dia pasti akan menyesal bukan main. Ya, karena itu pemberianku di ultahnya yang ketujuhbelas.


Aku ingat beberapa minggu sebelum kuputuskan memberinya kado itu, dia terus mengeluhkan softlense Korea-nya. Padahal mau bagaimanapun ia, meniru gadis Jepang atau Korea, atau meniru artis manapun, dia tetap gadis cerewet yang selama enam tahun ini berada di sisiku.
Dia tetap dia, dengan sebuah buku gambar di pelukannya.

Melihat ia tersenyum dalam keterjagaannya ini, aku semakin tidak tega. Namun mendung sudah menunjukkan wajah marahnya, sejak tadi dia mengusir, ingin kami segera enyah dan mencari tempat yang aman. Ah, padahal aku masih ingin berlama menyaksikan ekspresi tidur gadis ini yang sangat menggemaskan. Tapi sudahlah, toh tidak ada satu pun bangku di taman ini yang dipasangi atap.

"Woi, Non, ujan nih!" sentakku sambil hati-hati menggoyang bahu gadis yang sedang pulas itu.
"Non, bangun gih!" Kunaikkan volume suaraku begitu suara gemuruh mulai mengancam.
Tapi, sial. Hujan mulai menitik, gadis itu hanya menggeser posisinya sedikit saja, menjatuhkan buku gambar kesayangan yang sedari tadi dipeluknya.

"Non! Banjir, Non! Banjiiirrrrrrrrr........!!!!"
"BRUUUUKKK.....!!!"

Astaga.
Baiklah, karena gadis itu sudah terguling di atas tanah sekarang, aku betul-betul menyesal harus membangunkannya seperti itu. Nah, dia dengan setengah sadar kini menatapku lurus, dengan tangan mungil yang mulai mengusap kepala. Tentu saja sakit.
Kuharap dia tak terluka sama sekali.

***

Lima belas menit dia di dalam situ.
Astaga, Nona menyebalkan, kau sudah menghabiskan waktuku. Aku melewatkan pertandingan tim favoritku untuk kesekian, dan itu masih karena satu alasan. Kamu. Aku harus mulai berdoa agar tidak kalah taruhan lagi untuk kali ini!

"Ngelamunin apaan woi? Aku udah di sini!"
Aku berbalik menengok gadis dengan kilau di matanya itu, yang mulai beringsut dari pintu toilet.
Hahhh.. Malah nyolot dia. Kusergap tangannya dengan kasar. Ya, sedikit menyesal. Namun sabarku memang terus dipermainkannya. Terus!
"Lama banget, Non? Kayak beranak aja kamu di dalem situ!" cetusku penuh emosi.
"Lah bukannya kalo aku gak pasang softlense, malah gak cocok sama gaunnya kan? Ntar malah kamu yang malu sama temen-temen kamu!" sahutnya sambil sekuat tenaga melepas tangannya dariku. Langsung saja kulemahkan peganganku itu.
Gadis konyol ini, bukankah kacamata dariku itu hadiah yang berharga?
Lalu bukannya yang memaksa agar aku menghadiri undangan ini juga dia? Aneh.

Tergesa-gesa kami menuju lift. Setibanya di lantai dua mall tempat pesta ulang tahun itu digelar, bisa kutebak pasti kamilah yang menjadi pasangan klasik terfavorit. Melewati beberapa tahun berdua, pasangan tanpa status yang belum jelas kapan akan mencari persimpangan masing-masing.

"Kayaknya ini pesta ulang tahun terakhir yang kita datengin berdua!"
Aku langsung menoleh. Heran. Mata gadis itu seperti menyiratkan bahwa pemikiran kami sama.
"Oke. Besok kamu harus kasih aku kenalan cewek ya!" seruku mantap. Dan jawaban yang hanya dengan anggukan kuat itu membuatku semakin ragu. Ya, ragu dengan persepsiku sendiri.

***

Kulirik sebentar capuccino di gelas, tinggal beberapa teguk lagi dan habislah sudah. Lalu kusapukan pandangan, merayapi segala juru cafe ini, tempat favorit kami setiap pulang sekolah. Semua pasangan yang ada di sini betul-betul membuatku iri. Setiap datang ke sini, selalu ada pasangan yang bahagia, duduk bercengkrama, menikmati tegukan dan gigitan menu bersama. Namun kami, setiap datang ke sini, masih, selalu dengan keadaan yang sama. Hanya seorang pemuda penggila bola dan gadis penyuka seni lukis. Dengan pesanan menu yang nyaris tak berganti. Sepasang teman akrab. Tak lebih. Sangat membosankan.

Mengobrol, lalu diam. Hening untuk waktu yang lama. Karena dia, selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Sibuk dengan buku gambar dan pensilnya. Sedangkan aku, hanya sibuk dengan pemikiranku sendiri. Perasaanku ini semakin hari semakin kacau. Tapi setidaknya, aku pasti bisa lepas darinya. Perlahan. Karena kami sudah menemukan satu persimpangan yang berbeda. Dan aku bersyukur karena Tuhan telah menakdirkan solusi yang seperti ini sebelum aku benar-benar gila.
Tapi yang ada, aku malah mengkhawatirkan dia juga..

"Nona, kalau kamu gak kuliah gini kamu mau kerja di mana coba?" tanyaku lumayan nyaring, membuat ekspresinya berubah sedikit kaget.
Cukup lama gadis itu terdiam. Tak bisa kutebak apa yang sedang ia pikirkan.

"Ngapain lagi mikirin aku? Urusin aja keperluan kuliah kamu ya, selamat yang udah jadi mahasiswa!"
Hah? Rupanya dia berpikir lama hanya untuk mengucapkan kalimat seperti itu?

"Nona, mestinya waktu itu kudaftarin juga kamu di situ, biar aku bisa jahilin kamu juga di kampus," tukasku sambil mulai menyalakan api dan menyulut rokok.

"Gak, ah. Mending kerja, nyari duit!" tegasnya sambil memfokuskan kedua matanya lagi ke buku gambar.

Ya ampun, gadis ini! Apa dia tidak tahu kalau aku sadar bahwa dia sedang asyik melukisku? Dia tak tahu leherku mulai terasa kram?
Namun dia pasti tetaplah dia, gadis yang sibuk dengan dunianya dan terus menyiksaku.
Terus menyiksaku. Tanpa sadar.
Apa karena dia selalu saja mengartikan tatapan tajamku ke hasil lukisnya sebagai ketidakpuasan? Padahal aku selalu menyukai setiap goresan di sana?


***

Nona yang menyebalkan, kenapa kau lama sekali pulang? Apa karena kau telah menemukan objek lukis yang lebih indah di sana?
Ah, aku yang bodoh karena telah berdoa agar Tuhan segera memisahkan kita karena aku sudah terlalu lelah. Mungkin kali ini kita benar-benar akan dipisahkan. Aku senang karena bisa berhenti jadi pecundang yang setia dengan hubungan tanpa status.
Tapi kenapa aku selalu ingat kata 'seminggu' yang kau ucapkan saat itu dan aku sangat senang? Kau sudah seminggu di sana, dan besok kau pasti akan muncul di hadapanku lagi. Lalu bagaimana aku bisa lepas darimu?

"Nindi, besok Nona pulang?"

Ah, kenapa malah aku menanyakan gadis lain pada Anindita? Jelas-jelas gadis yang merupakan teman kursus lukisnya ini adalah pelarianku darinya. Dan ia mengenalkanku pada gadis ini adalah bukti bahwa persepsiku selama ini salah.
Aku terpaku melihat layar smartphone di tangan. 'D' berubah jadi 'R' namun belum juga Nindi mengetikkan balasan.
Gawat. Bisa-bisa Nindi menyadari bahwa sebenarnya aku menyukai Nona!

"Nggak. Nona langsung ke Bandung kan?"
"Hah? Ke Bandung ngapain coba?"

Baiklah, rupanya aku belum siap ditinggal lama oleh gadis menyebalkan itu.
Aku pun mencari kontaknya dan mulai mengetikkan pesan. Gusar. Ya, dia harus tahu betapa gusarnya aku kali ini.
Dan tiba-tiba saja, aku berniat menyatakan saja perasaanku yang sebenarnya tanpa memikirkan kesalahan persepsiku...

***

Ah, ini rupanya?
Masih tak bisa kupercaya.
Rupanya perasaanku kepadanya sudah tumbuh perlahan hingga sangat besar dan hanya begini jadinya?

Aku kembali ke cafe ini setiap hari dan selalu ada perubahan di sini, selain perasaanku. Di sudut ruangan berinterior klasik yang merupakan kesukaannya ini, aku selalu bisa melihat sosoknya dengan buku gambar. Tepat di sana, dekat jendela, di bangku yang sedang diduduki oleh temannya itu.
Dulu, Nona juga suka menggeser bangkunya mepet ke jendela seperti yang dilakukan Anindita sekarang.
Hampir setahun yang lalu, hanya sosoknya yang bisa melakukan itu.

"Sampai kapan kamu mau diem gini, Gio?"
Nindi tersenyum setelah berseru nyaring seperti itu. Membuatku semakin geli.
"Kamu mau aku gimana lagi, Nin?" sahutku. Kemudian tertawa lepas.

Nindi mencibir pelan. Wajah cantiknya itu jadi sangat menggemaskan. Nah, untuk Nindi, dia sangat cocok bergaya ala gadis Korea. Dia pun tidak risih dengan softlense di kedua matanya seperti kamu, Nona.

"Malah ketawa? Aku ingetin lagi lho, jangan curang kayak gini ntar kamu nyesel!"
"Nyesel gimana, Nin? Setidaknya aku kan udah punya kamu!"
Mendengar kalimatku itu, Nindi menaikkan alis sejenak, lalu ikut meleburkan tawanya dengan tawaku.

Nindi memang pilihan yang tepat jika aku harus melupakan Nona. Tapi gadis ini, tidak seperti Nona yang selalu memenuhi buku gambarnya dengan sosokku. Lukisan Nindi memang lebih indah dari yang Nona punya, Nindi juga lebih pintar merias diri. Nindi tipeku, dan Nona sudah berusaha keras menjauhkan dirinya dariku dengan mengirim gadis ini ke hidupku dan meninggalkanku tanpa menjelaskan yang sesungguhnya.
Nona mendustaiku, dia kuliah seni rupa di Bandung sana.
Terakhir hal menyakitkan lain yang dilakukannya, menghapus kontak BBM-ku.

Apa yang sebenarnya kau rencanakan, Nona?
Tapi aku tahu, di sana kau menderita.
Kau mengirimiku buku gambar berisi semua sosokku tanpa pesan? Membuatku semakin yakin bahwa sebenarnya kau ingin mengucapkan sesuatu kan? Kau merindukanku?
Adikmu meneleponku sambil menangis, anak sekecil itu mengejutkanku dengan ceritanya bahwa sebenarnya kau juga menyukaiku. Nindi juga mati-matian mengingatkanku bahwa sesungguhnya persepsiku selama ini benar.
Lalu kenapa kau meninggalkanku yang hampir gila ini?
Kau mencintaiku ya?
Tapi Nona, kau tidak tahu betapa menderitanya aku di sini.
Karena itu aku tidak mau membalas kirimanmu dengan apapun.
Dan kuharap surat dari Nindi akan mengejutkanmu.
Bukan aku yang membalas kirimanmu, tapi Anindita.

***

Agustus 2014

Hari ini tiba juga. Momen yang sudah lama kurencanakan. Aku dan Anindita tiba di rumahnya kemarin, masih kuingat bagaimana ekspresi Nona begitu melihat kami yang datang tiba-tiba tanpa sepengetahuannya.
Dan kini, gadis yang dulu membuangku dari hidupnya itu hanya diam.
Kami duduk berhadapan sekarang, dimana aku bisa dengan leluasa memperhatikan setiap perubahan ekspresinya dengan jelas.
Dia hanya menunduk, menyibukkan diri dengan mengaduk adonan kue hasil instruksi Nindi sementara Nindi sendiri sedang menyiapkan loyang di ujung dapur.

Kepada kamu yang telah diam-diam menyimpan sejuta harap, aku ingin tanya apakah perasaan seperti itu masih ada?
Seperti kacamata dariku yang ternyata masih kau pakai?
Nona, apa benar kau mencintaiku?
Jika memang begitu, aku akan sangat menikmati pertunjukkan setelah ini.

"Nona, coba lihat sini..." bisikku sambil mendekati gadis itu pelan. Nona nampak kaget dengan peganganku di bahunya, padahal dulu ini sangat sering kulakukan.
"Aku mau bantuan kamu.." bisikku lagi sambil mengeluarkan sesuatu dari saku celanaku. Kubawa benda kecil itu ke depan wajah Nona.
Gadis itu memelototkan matanya, alisnya langsung naik.
"Sini, coba kamu buka sebentar.." bisikku lagi sambil meletakkan kotak berwarna merah itu dengan paksa ke kedua telapak tangannya. Lalu kubuka kotak itu tepat di depan matanya sambil terus memperhatikan perubahan mimik wajahnya.
"Bagus nggak cincinnya?" tanyaku pelan. Nona masih terdiam, tertegun memperhatikan cincin di tangannya.
"Nah, sekarang aku mau kamu bantu kasih ini ke Nindi.."

Ah, Tuhan, dia kini berani mendongakkan wajahnya. Ia menatapku lekat-lekat. Tidak jelas apa yang ingin ia sampaikan kepadaku lewat mata itu.
Aku tidak tahan melihatnya seperti ini, tapi sudah terlanjur sakit yang kurasakan.
Aku hanya ingin tahu, apakah benar ia mencintaku?
Walau mungkin, aku terlalu bodoh hingga begini jadinya.

Gadis itu membalikkan tubuhnya sambil menutup lagi kotak cincin merahku. Aku langsung mengikutinya dari belakang dengan nafas memburu. Jantungku pun bergejolak dengan kuat.
"Nindi.."
Terdengar suara Nona lirih.
Nindi menoleh sedikit kebingungan.
Nona, ia masih mencoba tersenyum. Disodorkannya kotak kecil merahku kepada Nindi, dipaksanya gadis itu menggenggam kotaknya.
Nindi langsung melirikku sambil menaikkan alis.
"Apa-apaan ini?" sergahnya.
Terdengar napas Nona memburu. Lama ia terdiam. Bahunya bergetar hebat sembari tangannya bergerak membuka kotak kecil itu di tangan Nindi.
"Ini dari Gio buat kamu.. Selamat ya!"
Mata Nindi kembali bergerak memandangiku. Perlahan, gadis berpotongan rambut bob itu menyunggingkan senyum. Sumringah.

Akhirnya.. Aku berhasil menyakiti kamu, Nona..
Maaf, tapi sudah lama sekali aku merencanakan ini.

Anindita tertawa pelan. Tangannya langsung meraih cincin perak itu dari tempatnya. Ditatapnya lekat-lekat tanpa senyum terlepas, lalu menunjukkannya kepada Nona.
"Non, coba kamu liat di bagian dalem cincin ini, ada ukiran namanya.." ujarnya sambil memaksa tangan Nona untuk memegang cincin itu.
Sudah kuduga, gadis ini akan sangat lincah memainkan perannya.

Senyum Nona tertahan. Kelu. Kudekati ia perlahan.
Gadis itu mendekatkan cincin di tangan ke matanya.
Belum sekian detik, alisnya langsung menaik. Ia nampak sangat kaget hingga aku langsung meraih tubuhnya dan mendekapnya erat.
"Giooo..!!!" sentak Nona.

Akhirnya tawa kami melebur kembali. Menyatu seperti sedia kala.
Aku tahu Tuhan, Nona akan sangat kaget mendapati ukiran itu tersembunyi di sana.
Namanya dan namaku, hanya dipisahkan oleh tanda hati.
Sederhana, namun aku yakin sekali itu sanggup membuat Nona tersenyum lagi.
Harusnya Nona sadar hanya namanya yang akan terukir di sana, dan di hatiku.

"Kamu pikir ngapain aku enam tahun terus-terusan di samping kamu?" cetusku sambil mengeratkan dekapanku padanya.
Ia malah tertawa keras. Oh, tak sanggup berkata-kata rupanya ya?
"Hmm.. Terus kamu pikir, di dunia ini gak ada objek lukis lain selain kamu?"
"Lho? Jadi selama ini kamu terus-terusan ngelukis aku karena ada maksud lain?"
"Iya. Biar kamu sadar kalau kamu harus mikirin alasannya!"
"Oke. Maaf ya, aku sama Nindi udah bohongin kamu.."
"Jadi sekarang, kamu baru mau status kita berubah?"

Nah. Begini lebih dari cukup.
Bukti bahwa selama ini persepsiku benar.
Bukti bahwa aku harus menyerahkan seluruh hidupku kepada kamu, yang diam-diam menyimpan sejuta harap.
Mulai saat ini kita harus berjanji, tidak akan menyimpan semuanya sendiri lagi.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar