"Loh, sudah pulang?"
"Iyalah, memang kenapa?"
Aku berpapasan dengan ibu di dapur, aku melewatinya setelah melempar seragam kerjaku di tumpukan pakaian kotor.
"Nyolot. Kadang aku merasa percuma kamu sekolah belajar Budi Pekerti," kata ibu ketus.
"Whatever," kataku malas sambil berjalan ke kamar.
Aku mulai mencari pakaianku di lemari, kubongkar habis sampai bajuku jatuh berserakan diatas lantai papan rumahku.
"Woiiiiiiiiiiiiii, kemana baju piyamaku?!" teriakku, "Tiap mau ganti baju pasti mesti teriak-teriak dulu, gimana sih?!"
Kakak perempuanku menghampiriku dengan muka yang cemas, "Gak tahu, kemaren udah ditaruh di lemari," katanya sambil mulai memeriksa baju-bajuku yang berserakan.
Dengan kesal aku menarik salah satu dari baju itu dan memakainya. Aku langsung meninggalkannya, berjalan ke dapur.
Kubuka semua panci, dan terakhir memeriksa magic jar diatas meja.
"Ya ampun, kalian ini sepertinya gak mau kalau aku makan ya tiap malam? Ckckckck," kataku malas sambil berbalik kembali kekamar.
Aku membuka tasku dan mengambil selembar uang dua ribu rupiah lalu segera pergi ke warung.
Angin malam, aku ingin kamu mendengar cerita hidupku yang membuatku tak bermimpi indah setiap malam. Namaku Deyna, umurku sekarang sembilan belas tahun. Beberapa hari kemudian malah aku akan berumur dua puluh tahun, dan aku masih belum bisa menemukan jalan kemana yang harus aku pilih.
Entah kenapa aku selalu gelisah, apa mungkin setiap orang yang mulai tahu bagaimana hidup itu sesungguhnya, akan merasakan hal yang sama seperti aku?
Aku punya keluarga yang lengkap, aku punya ayah dan ibu, dua orang kakak laki-laki dan seorang kakak perempuan.
Seharusnya kami hidup bahagia di dalam rumah kami yang begitu sederhana, yah meskipun anak tetangga sering mengejek bahwa rumahku sudah tak layak huni.
Semrawut, kuakui itu yang paling cocok untuk keluarga kami. Tidak tahu siapa yang harus disalahkan? Tidak mungkin aku harus memprotes kepada Tuhan yang memberi kami takdir seperti ini.
Kakak pertamaku belum mendapat pekerjaan yang tepat, umurnya sudah tiga puluh tahunan dan masih membujang. Kakak keduaku perempuan, lulusan perguruan tinggi swasta tapi entahlah mungkin ia bisa disebut sebagai orang cacat sekarang. Ia pengangguran, setiap hari ia di rumah, setidaknya dia berguna membantu ibuku memasak dan mencuci piring.
Kakak ketigaku, lelaki yang umurnya sudah setengah dari lima puluh tahun. Dia seorang pekerja keras yang jarang bicara, ia memiliki cacat mental. Namun kuakui dia banyak berjasa untuk keluargaku.
Ayahku sekarang mulai menganggur di usianya yang mulai senja. Begitu juga ibu yang mulai malas mengerjakan segala urusan rumah karna usianya yang mulai menua.
Sedangkan aku, seorang mahasiswa yang sibuk pergi pagi-pulang malam. Bisa dibilang aku berkutat untuk diriku sendiri, aku bekerja untuk biaya kuliah.
Sesampainya di rumah, aku langsung menyantap roti yang kubeli dari warung. Selagi makan kudengar suara adzan menggema dari langgar yang tak jauh dari rumah, dan dari masjid-masjid lain, suara-suara adzan menggema memecah malam.
Disela suara itu, suara kakak perempuanku yang tertawa karna menonton acara komedi di televisi. Kudengar juga suara musik dari handphone kakakku.
Kutengok ke belakang, ayah mulai menggelar sajadahnya di samping ranjang kakak. Sementara ibu, ia masih duduk didepan televisi bersama kakak perempuanku. Ia biasa sholat saat ia hendak tidur.
Seperti itulah keadaan di rumah kami.
Aku berjalan ke belakang dan mulai mengambil air wudhu.
Setelah usai aku menunaikan sholatku, aku kembali bercerita batin dengan Tuhan.
Sebelumnya air mata sudah mendahuluiku bicara.
Tuhan, sesungguhnya hamba tahu kami bersalah. Tidak akan mungkin kami selalu begini.
Setiap membiarkan orang lain melakukan dosa itu berarti kami juga mendapat dosa. Aku sadar betul setiap membiarkan diri ini tidak terlalu hirau dengan suara adzan dan sedekah. Aku sadar betul setiap melihat anggota keluargaku bertindak salah, hatiku juga terasa miris.
Aku selalu berkata kepadamu Tuhan, aku bukannya memaksamu mengembalikan aku ke masa itu.
Aku hanya merindukan keluargaku yang bahagia seperti dulu.
Ayah yang semangat bekerja dan tidak mengeluh, ibu yang semangat berjualan sambil melempar senyum ke semua orang, kami yang anak-anak bermain bersama, berkumpul, tertawa, dan bersenda gurau. Kapan? Kapan akan ku temui lagi masa-masa yang indah seperti itu?
Semua yang ada saat ini sudah berbalik, kata orang kita tidak akan pernah bisa mengulang masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar