Sabtu, 17 November 2012

My Sister


Semua orang terlihat bahagia dan terharu, ini adalah hari bahagia untuk kedua mempelai yang baru saja bersatu katanya. Tapi aku tidak bahagia sama sekali, dari awal sebenarnya aku tidak mau hadir. Tapi demi menjaga penglihatan orang lain terhadapku, aku harus menahan diri hingga semua orang beranjak dari tempat ini.
"Kamu bahagia?"
"Tentu saja, akhirnya mereka bersatu juga setelah sekian lama menunggu.."
"Menjijikkan....!"

"Tahan ucapanmu, semua mata sedang memperhatikan kita. Jika tidak, ayahmu yang akan kau permalukan.."
Lussy menatapku sambil tersenyum, kuakui dia memang gadis yang menakutkan, sama seperti ibunya.

Ayah menghampiriku sambil mengulurkan kedua tangannya, ia nampak tersenyum bangga. Sambil balas tersenyum aku pun langsung mendekatkan tubuhku padanya, ia pun memelukku erat.
"Selamat ayah..," bisikku lirih.
"Terima kasih sayang, jangan lupa ucapkan selamat juga pada ibumu.."
Mendengar jawabannya itu hatiku terasa ditusuk, sakit sekali.
Tidak ada ibu selain ibuku ayah....

***

"Dia cantik sekali ya..."
Aku menoleh ke arah yang dilihat Dennis. Dia nampaknya sangat mengagumi Lussy.
"Memang begitu kelihatannya, persis seperti ibunya.." kataku.
"Apa mungkin dia juga akan merebut suami orang lain?"
Dennis menatapku, ia mulai tertawa.
"Sungguh sangat disayangkan jika dia juga akan begitu.."
Aku pun ikut tertawa.
"Harta memang bisa membuat wanita cantik berubah menakutkan..."
Aku tertegun sejenak mendengar kata-kata Dennis itu.
Harta, mungkin jika ibu bukan pewaris tunggal, jika ibu bukan dari keluarga bangsawan, aku pasti memiliki ayah yang tulus...
Bukan ayah yang berkhianat..

"Bagaimana setelah tiga hari tinggal serumah dengan Lussy dan ibunya?"
"Setidaknya aku tidak repot untuk mengajak ayah makan bersama, ayah bahkan melupakanku.."
Aku tersenyum pada Dennis, namun air muka sahabatku itu langsung berubah.
Ia menepuk pundakku.
"Ingat Danni, kau tidak perlu menganggap ini semua mimpi buruk. Meskipun kenyataannya begini, aku tahu ayahmu tulus mencintaimu..."
"Mungkin benar, tapi ia tidak pernah tulus mencintai ibu...."
Aku menunduk dan mulai menyeka mataku yang mulai berair.
Aku ingat kata-kata ayah, "Jika ayah bisa bertahan hidup sendiri, ayah tidak akan menikahi ibumu, ini cuma masalah bagaimana kau akan melanjutkan hidupmu disaat kau tidak punya apa-apa.."

***

"Besok malam Tuan Paul akan datang.."
Aku dan Lussy mendongak bersamaan.
"Siapa dia?" tanyaku.
Ayah menatapku, "Dia orang besar, mungkin kalian belum tahu siapa dia. Tapi yang jelas, dia bisa membantu perusahaan kita jika kita berhasil mengambil hatinya.."
Nyonya Bennet tertawa kecil, "Dia sedang mencari istri ketiga, ibu pikir dia pasti tidak akan menyukai Danni yang kaku.."
Aku tak berkomentar, aku langsung memperhatikan ekspresi wajah Lussy yang nampak kaget.
"Ibu harap Lussy akan menyukainya, jangan melihat dari berapa umurnya tapi pikirkanlah masa depanmu nanti.."
Lussy hanya diam, ia melanjutkan melahap makan malamnya dengan pelan dan anggun.
Apa mungkin gadis cantik ini, akan mempersingkat masa bebasnya demi harta? Jika aku adalah dia, aku akan menolak dengan alasan kuliahku.
"Ibu, besok sepulang Lussy kuliah, ajaklah dia membeli gaun yang baru. Dia harus terlihat sempurna.."
"Jangan khawatir suamiku, semua bisa kuatur...."
Mereka tersenyum, tapi mereka tidak menyadari sama sekali ekspresi gadis kesayangannya itu?
Menjual anak sendiri, sungguh menyedihkan....!

***

Bertemu di meja makan lagi, suasana malam ini sama seperti biasanya.
Suasana yang dingin dan menakutkan.
Perhatianku tertuju pada seorang yang bernama Paul, aku merasa pernah bertemu dia.
"Cantik sekali..."
Semua tersenyum kecuali aku. Aku heran apakah ekspresi yang semalam hanya keterkejutan atau apa, ataukah malam ini Lussy hanya bersandiwara dibalik senyum indahnya?
"Terima kasih, Tuan Paul yang terhormat..."
Lelaki tua itu nampak bahagia sekali, begitu menjijikkan.
"Bagaimana menurutmu Tuan, apakah kau puas dengan makan malammu ini?"
Nyonya Bennet melempar senyumnya.
"Tentu saja, tidak ada penyesalan sama sekali membatalkan rapatku demi datang kesini.."
"Benarkah? Sangat menyesal mendengar Tuan membatalkan rapat penting.." sahut ayah.
"Tidak usah begitu, hanya rapat yang tidak begitu penting.."
Tuan Paul menatap ayah sambil tersenyum.
"Tawaran darimulah yang membuatku datang kesini dan memastikan, sekarang aku tidak ragu lagi..."
Semua tertawa, kecuali aku.

***

Dennis tertawa aneh.
Aku langsung mendaratkan pukulan kecilku ke wajahnya.
"Diamlah....!"
Seperti biasa, kami berdua berdiri di depan kelas, tepat di seberang Fakultas Hukum. Dari sinilah kami bisa melihat Lussy dan teman-temannya di seberang sana. Sejak dulu Dennis sangat mengagumi saudara tiriku itu, tapi dia tidak pernah berniat untuk berkenalan dengannya.
"Aku tidak menyangka mereka akan sekejam itu.."
Aku menatap Dennis.
"Aku juga begitu, kupikir mereka tidak akan sampai hati menjual gadis kesayangannya..."
"Kamu pasti semakin membenci ayahmu, bisa saja nanti dia akan menjualmu juga?"
Aku tertawa.
"Jika itu terjadi, lebih baik aku mati seperti ibu..."
Lussy keluar dari dalam kelas. Ia lalu berdiri menghadap kearah kami berdua.
"Kau lihat? Apa mungkin ia menyadari bahwa kita berdiri disini setiap hari?"
"Kau khawatir dia tahu kau memperhatikannya?"
Dennis hanya tertawa.
"Jika dia tahu pun, dia pasti lebih memilih Tuan Paul.."

***

Pernikahan lagi, rasanya baru kemarin ayahku menikah.
Aku sedari tadi memperhatikan semua orang sibuk kesana-kemari, tapi bagian yang menarik adalah sang putri yang sedang dirias oleh dayang-dayangnya.
Lussy memang terlihat cantik setiap hari, namun kali ini ia nampak sangat cantik sekali.
Sekarang sudah selesai, akhirnya tinggalah aku berdua dengannya didalam ruangan ini.
"Kamu bahagia?"
Lussy melihatku dari kaca riasnya, ia masih membetulkan antingnya.
"Rasanya baru kemarin kau menanyaiku begitu, apa setiap acara pernikahan kau selalu bertanya begitu?"
Aku tidak beranjak sedikit pun dari posisiku, masih bersandar ke dinding.
"Aku hanya memastikan bahwa kau bahagia melepas masa lajangmu, dan bersedia menjadi istri ketiga bangsawan.."
"Kau sendiri, apa kau bahagia menjadi anak bangsawan?"
Lussy lalu beranjak dari duduknya dan berjalan pelan ke arahku.
Ia menyeret gaunnya yang panjang.
"Kenapa kau tidak menjawab?"
Lussy menatapku sambil tersenyum.
"Apa kau bahagia menjadi anak bangsawan?"
Ia mengulangi pertanyaannya.
Aku balas tersenyum. "Tidak bahagia disaat tahu ibuku mengetahui perselingkuhan ayahku.."
Lussy tertawa.
"Ia pantas dapatkan itu, ia yang merebut kekasih ibuku dengan mengiminginya harta.."
"Jaga mulutmu anak haram.."
Lussy tertawa lagi.
"Meskipun kenyataannya begitu, kami tidak membenci ayah. Karena kami tahu ia menikahi ibumu untuk menafkahi kami.."
"Menjijikkan..."
"Aku selalu suka caramu yang kaku ini Danni..."
Ia tak melepaskan senyumnya sama sekali. Aku mencoba menyelami sorot matanya, aku hanya ingin perkiraanku benar, aku ingin memastikan ia tidak bahagia dengan pernikahan ini.
Lussy menepuk pundakku.
"Mungkin aku akan jarang melihatmu lagi setelah ini.."
Sambil berkata Lussy menarik nafas dalam-dalam.
"Sebelum aku lupa mengatakan ini padamu, tolong sampaikan salamku kepada Dennis...."
Aku mendongakkan kepala, sedikit bingung dengan kalimat terakhirnya ini.
Aku tidak punya keberanian untuk menanyakan apa maksudnya berkata seperti itu. Ia malah berjalan ke luar meninggalkanku sendirian.
Meninggalkan tanda tanya besar di kepalaku.
Dan sejak saat itu, aku belum pernah berbicara dengannya lagi.

***

"Sudah masuk bulan ketiga, kita tidak pernah melihatnya lagi..."
Aku hanya tersenyum sambil menepuk pundak Dennis.
"Mungkin kamu harus mulai mengagumi gadis lain.."
Dennis tertawa.
"Aku ingin dia ada dihadapanku, sangat dekat, dan aku akan menanyakan maksud dari pesannya itu.."
"Ternyata kau masih penasaran dengan salamnya untukmu?"
"Iya, aku tidak pernah tahu dari mana ia bisa tahu namaku.."
Begitu juga aku, rasanya menyesal tidak segera menanyakan itu saat itu.

Sudah lama sekali aku tidak melihat saudara tiriku yang cantik. Kedua orang tua kandungnya tidak pernah membicarakan ia di rumah. Rasanya kedua orang itu memang aneh dan mengerikan. Dulu mereka nampak sangat menyayangi anak mereka satu-satunya itu, tapi sekarang mereka malah melupakannya. Aku berpikir apakah pernah mereka mempertimbangkan apakah anaknya itu bahagia atau tidak disana. Sedangkan aku yang selalu terlihat membencinya saja selalu terpikirkan dan merindukannya.

Kami masih berjalan pelan beriringan menyusuri jalan.
Aku berjalan sambil menunduk, dengan kedua tangan kumasukkan ke dalam saku mantelku. Sesekali kubetulkan scraft yang melingkar di leherku.
Tiba-tiba Dennis berlari.
Aku tidak tahu siapa yang sedang ia hampiri dengan panik, sampai ia meneriakkan nama Lussy.

Cukup lama tertegun.
Ku lihat Dennis dari kejauhan sedang bersama seorang wanita bertopi, dari atas ke bawah semua yang dipakainya serba hitam.
Aku menghampiri mereka dengan pelan.

"Lussy...?"
Lussy tersenyum.
"Senang bertemu denganmu Danni, bagaimana kabarmu?"
Aku tidak mau buru-buru menjawab. Ku perhatikan gadis itu dari atas ke bawah. Entah kenapa ia nampak menyedihkan. Wajah cantiknya, ternodai dengan banyak bekas luka. Lehernya membiru, begitu juga kakinya, kukunya yang dulu selalu ia rawat nampak pecah dan pucat.
"Bagaimana kabar ibu dan ayahku?"
"Kamu bahagia?"
Lussy tertawa.
"Memangnya hari ini pernikahan siapa, kamu kembali bertanya seperti itu?"
"Aku tanya apakah kamu bahagia? Apakah kamu bahagia hidup seperti ini?!"
Aku mulai menangis.
Lussy masih tersenyum, namun matanya mulai berkaca-kaca.
"Apa kamu masih bisa bahagia hidup seperti ini?"
Lussy tak menjawab, ia langsung merangkulku dan menangis sekeras-kerasnya.


TAMAT



Mencoba memasukkan unsur klasik di cerita satu ini, kerasa gak? Hehe....









Tidak ada komentar:

Posting Komentar