Minggu, 16 Desember 2012
Friendship?
Seorang gadis berjalan dengan sangat hati-hati sambil membawa banyak buku di tangannya, ia takut akan menjatuhkan buku-buku itu.
Dari arah belakang, seorang pemuda mengikutinya dengan berjalan cepat. Pemuda itu langsung mengambil posisi di sisi gadis itu, lalu berjalan sambil mengimbangi langkah gadis itu.
"Berat? Mau dibantu nggak?"
Gadis itu melihat pemuda itu sejenak, lalu menggelengkan kepalanya.
"Serius?"
Gadis itu tak menjawab. Seperti biasa ketika ia mulai salah tingkah, ia langsung memegangi kacamatanya. Namun kali ini karena ia sedang membawa buku, satu tangannya tidak sanggup menopang semua buku itu. Langsung saja buku-buku itu jatuh berserakan ke lantai.
Ketiga teman yang sedari tadi berjalan santai tanpa menghiraukannya langsung menoleh.
"Ya ampun, kenapa jatuh semua bukunya? Ceroboh banget sih..!!"
Ketiganya langsung menghampiri.
"Maaf, gak sengaja...."
"Aduuuuuhh, dasar gadis ceroboh....!!"
Beberapa menit kemudian...
Seorang gadis dan seorang pemuda berjalan berdampingan.
Tapi kali ini, yang membawa banyak buku di tangannya bukan gadis itu, tapi sang pemuda.
"Kenapa kamu mau disuruh bawa buku-buku ini?"
"Kalau kamu, kenapa mau bawakan buku itu untukku?"
Sang gadis malah balik bertanya.
"Malah nanya, aku 'kan kasian liat cewek bawa buku-buku berat gini?"
"Kalau aku, alasannya karena teman-temanku yang minta. Jadi ya ku turuti saja.."
Sang pemuda lalu tersenyum.
"Temanmu? Yang berjalan di depan itu?"
Gadis itu mengangguk.
"Iya lah, semua orang juga tau. Kami selalu bersama..."
"Oh ya? Benar juga, kalian selalu bersama.."
Mata gadis itu terlihat berbinar.
"Kami selalu berempat, dan tidak ada yang bisa memisahkan persahabatan kami.."
Pemuda itu mengangguk.
"Oke, oke. Tapi, kamu selalu terlihat berjalan di belakang?"
Gadis itu tidak menjawab.
"Imma... Cepetan bawa bukunya kesini...!!!"
Sang gadis langsung merebut buku-buku dari tangan pemuda itu.
"Oke makasih ya, aku mau masuk dulu.."
Gadis itu berjalan cepat meninggalkan pemuda tadi dan langsung masuk ke dalam kelas.
***
"Pagi Imma...!"
Imma hanya membalas sapaan Renal dengan senyuman.
Gadis itu melihat kesana-kemari, seperti mencari sesuatu.
Pemuda yang sedang bersantai sambil membaca buku itu memperhatikannya.
"Nyari apa sih?"
"Kamu liat Gladis, Gissel, sama Galuh?"
"Ohhh, itu mereka...!"
Imma langsung menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Renal.
"Thanks.."
Renal melirik, ia terus memperhatikan punggung gadis itu yang mulai menjauh.
"Gila, sakit banget rasanya.."
"Ah, lebay lo. Kalo leher lo yang diiris mungkin aja sakit.."
Galuh tertawa melihat kedua temannya masing-masing meringis sambil memegangi tangannya.
"Kalian lagi ngapain?"
Ketiganya menoleh begitu melihat Imma datang.
"Pagi Imma.."
Imma hanya tersenyum mendengar Galuh menyapanya.
"Kok tangan kalian berdarah?"
Imma mengambil posisi di samping Gissel dan Gladis.
Gadis itu heran, tangan ketiga sahabatnya itu berdarah.
"Kami lagi ngumpulin darah.." jawab Galuh.
Imma menatap Galuh dengan heran.
"Maksudnya?"
Tidak ada yang menjawab, ketiganya malah tertawa.
"Ngumpulin darah? Kayak mau donorin darah aja.." seloroh Gissel.
Galuh langsung berseru.
"Ayo sini, kita satuin darah kita....!!!"
Imma semakin bingung, tapi ia hanya bisa menyaksikan itu semua.
Mereka bertiga seperti sedang berada di dunia mereka sendiri.
Ketiganya menyatukan tangan mereka, tepatnya ujung jari yang sedang mengalirkan darah.
Mereka nampak tertawa, namun sesekali meringis kesakitan.
Imma hanya diam.
Kehadiran gadis itu seperti tidak disadari oleh ketiga sahabatnya itu.
Tiga hari kemudian...
"Gimana, bagus juga 'kan cincinnya?"
Galuh nampak puas melihat kedua gadis itu takjub dengan cincin yang ia beri.
"Ini kalo udah lama bisa berubah warna gak?" tanya Gissel.
"Ya bisa dong, mungkin juga jadi item nantinya, namanya juga darah.." jawab Galuh.
Gissel tertawa.
"Terus kita mesti bayar berapa nih buat cincinnya?"
Gladis menatap Galuh.
"Ya ela, 'kan kalian sahabat gue. Ngapain gue mesti minta bayaran sama kalian? Lagian ini cincin tanda persahabatan kita, ada darah kita semua disitu..." jawab Galuh.
Gladis manggut-manggut.
Imma hanya memperhatikan ketiganya.
"Jadi, kakak kamu yang bikin cincin itu?" tanya Imma.
Galuh menggeleng.
"Aduh Imma...., 'kan udah brapa kali gue bilang. Kakak gue cuma pemilik usaha, bukan yang ngebikin. Kalo lo mau bikin cincin ya nanti dateng aja ke tempatnya..."
Imma tak berkomentar, ia langsung bangkit dari tempat duduknya.
"Eh, mau kemana lo?"
Imma tak menjawab, ia meneruskan langkahnya keluar kelas.
Setengah jam kemudian...
Renal melihat Imma duduk sendirian.
Biasanya bangku itu menjadi tempat ia biasa bersantai.
Renal langsung menghampiri gadis itu.
"Hayo, lagi ngapain?"
Imma langsung menoleh.
Renal duduk di samping gadis itu.
"Tumben sendirian? Biasanya ngumpul sama 3G?"
Imma hanya tertawa kecil.
"Kok ketawa?"
Imma melempar pandangan ke arah lapangan bola di depannya, anak tehnik sipil yang sedang tidak ada kelas nampak bermain dengan semangat.
Cukup lama keduanya berdiaman.
"Kamu tau artinya sahabat?"
Renal langsung menatap gadis itu.
"Kok nanya itu?"
Imma tak menjawab.
"Kenapa, ada masalah diantara kamu dengan mereka yang kamu sebut sahabatmu itu?"
Imma menggeleng.
"Udah, ngaku aja.."
Imma masih diam.
Renal juga diam untuk beberapa saat.
"Immagesa, kamu tau tidak umurku berapa?"
Imma menggeleng.
"Memangnya berapa?"
"Tiga puluh..."
Renal menjawab sambil mulai mengisap batang rokoknya.
Imma menatap Renal.
"Lalu, sebelum masuk kuliah kamu kemana saja?"
Renal tertawa.
"Kok langsung nanya itu sih? Biasanya yang lain langsung gak percaya gitu kalau aku ngaku tiga puluh tahun..."
"Yee, trus umur yang benar berapa?"
Renal tertawa lagi.
"Memang tiga puluh kok..."
"Kalo gitu jawaban untuk pertanyaanku tadi?"
Renal diam sejenak, lalu menghembuskan nafas panjang.
"Aku ini mantan narapidana.."
Pemuda itu lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
"Kamu harus rahasiakan ini..."
Ia menyerahkan pisau lipatnya kepada Imma yang masih terlihat kaget.
"Kamu serius dengan kata-kata itu?"
Renal tersenyum, namun tatapannya tampak serius.
"Immagesa, kita tidak boleh selamanya diam jika kita merasa orang lain merendahkan kita.."
Imma mencoba menyelami tatapan mata pemuda itu, lalu berpindah memandangi pisau lipat ditangannya.
"Simpan saja pisau itu, dan jangan lupa untuk merahasiakan apa yang sudah kamu dengar..."
***
"Aku baru tau kalau kamu adalah gadis yang menakutkan..."
Imma tak menjawab, ia masih menikmati isapan demi isapan dengan rokoknya.
"Kamu lakukan ini, merokok didepanku seperti itu, kamu pikir aku akan takut?"
Imma diam sejenak, lalu tertawa.
"Aku tidak takut sama sekali denganmu...!!!"
Imma berdiri, dihampirinya gadis itu.
Langsung saja ia tendang-tendang wajah gadis yang tergeletak sambil menahan sakit itu.
"Kau bilang tidak takut? Berdiri saja kalau mau melawan.."
Gissel mencengkeram kaki Imma sekuat tenaga.
Imma langsung menepis dan menendangi gadis itu bertubi-tubi.
Wajah gadis itu mulai berdarah. Dan baju gadis itu sudah basah sekali karena darah.
"Kau tidak pernah menganggapku sahabat? Kau tidak mau darahku menyatu dengan darahmu?"
"Dasar sampah..!! Kau itu cuma sampah yang selalu mengikuti kami kemana-mana...!!"
Imma langsung saja menendang tubuh gadis itu dengan sangat keras.
"Kau tau tidak? Aku tidak boleh selamanya diam jika orang lain merendahkanku..."
Gadis itu menginjak lengan Gissel dengan tanpa ampun.
"Sekarang kau diam saja disini dan tunggu kedua sahabatmu datang.."
Beberapa jam kemudian...
"Gissel.... Gissel.... Buka mata kamu..."
Gladis meraih lengan Gissel.
Gadis itu menangis ketakutan.
Mata Gissel perlahan-lahan membuka.
Gadis itu mulai terbatuk-batuk.
"Gladis..? Kamu gak apa-apa....?"
Gladis tak menjawab, ia masih menangis.
Imma tertawa melihat kedua gadis yang kini tergeletak penuh darah di hadapannya.
"Hei Gladis, siapa yang suruh kamu menangis?"
Gladis tak menjawab, ia masih terisak-isak.
"Kamu menangis karena takut padaku?"
Gissel menggenggam tangan Gladis.
"Kami tidak takut padamu, gadis brengsek..." jawab Gissel.
Imma berjalan mendekat, lalu menendang kepala Gladis.
"Kamu mau bilang kalau dia menangis karena melihatmu tak berdaya seperti ini?"
Gissel mendongakkan kepalanya.
Ia menatap Imma dengan penuh kebencian.
"Kamu gadis yang menyedihkan, selalu mengikuti kami dan rela dijadikan budak..."
Imma langsung menendang kepala gadis itu.
Ia menendangi kepala keduanya dengan bergantian.
Ia tidak memikirkan apapun.
Ia seperti hilang kendali.
Dengan tangan kanan memegang pisau lipat, sambil mengisap rokoknya, gadis itu terus menendang kedua gadis dengan tubuh berlumuran darah itu.
"Gladis, kamu tidak pernah mengganggapku sahabat? Kamu tidak sudi darahku menyatu dengan darahmu?"
***
"Kemana mereka, kenapa bisa hilang bersamaan?"
Imma memasuki kelas.
Semua mata langsung tertuju kepadanya.
Imma melihat ke seluruh penjuru, ke semua orang yang sedang berada di dalam kelas.
"Bukankah terakhir mereka berdua bersamamu?"
Seseorang berseru.
"Mereka berdua? Siapa? Ada apa ini?"
Semua mata masih melihat kearahnya, semuanya tampak menyelidik.
Galuh langsung menghampiri.
"Gissel sama Gladis ilang, kamu tau gak mereka kemana? Mereka gak pulang ke rumah...!!!"
Galuh mulai menggoncang bahu Imma.
Imma menepis kedua tangan Galuh dari bahunya.
"Hilang? Bukannya kamu sahabatnya? Kok bisa gak tau?"
Galuh menatap Imma dengan tatapan cemas.
"Oke. Banyak yang bilang kalau terakhir mereka terlihat, mereka lagi sama kamu..!!"
Satu jam kemudian...
"Galuh, Galuh... Ngakunya sahabat, tapi kenapa malah aku yang tau mereka dimana..?"
Galuh nampak heran dengan sikap Imma hari ini.
Tatapan gadis itu, caranya bicara, dan gadis itu jadi sering tertawa sendiri.
Mereka berdua kini tiba di sebuah rumah kosong.
"Kenapa kita malah kesini?" tanya Galuh.
Imma mendorong pemuda itu.
"Masuk aja, mereka ada di dalem..."
Galuh mulai curiga, tapi diikutinya saja gadis itu memasuki rumah itu.
"Kamu jalan duluan aja.."
Imma menutup lagi pintu rumah itu.
Galuh mulai berjalan.
Keduanya lalu menaiki tangga menuju lantai dua.
"Ruangan yang di depan itu, mereka berdua ada di dalam. Mereka sudah lama nungguin kamu.."
Sesekali Galuh melihat ke belakang.
Galuh membuka pintu dengan perlahan.
Di depan matanya, dua sahabatnya tergeletak di lantai dengan berlumuran darah.
"Kamu sudah menemukan apa yang kamu cari?"
Galuh nampak kaget, ia langsung berbalik.
Namun terlambat, Imma langsung menyerangnya dengan tusukan yang bertubi-tubi.
Galuh mengerang kesakitan, tapi gadis itu terus menghujaminya dengan tanpa ampun.
"Kalian bertiga adalah sahabat sejati, jadi karena mereka berdua sudah mati, kau juga harus ikut mati...!!!"
***
Tiga hari kemudian....
"Pelakunya sudah mati?"
"Iya, Pak. Dia ditemukan gantung diri di sel..."
"Kalau begitu, kasus ini berakhir sampai disini..."
"Pak, meskipun kita belum menemukan apa motif dia membunuh, tim penyidik menemukan sesuatu.."
"Apa yang kau maksud itu?"
"Tiga korban terbunuh, memakai cincin yang sama..."
"Cincin..?"
"Cincin itu, berisikan darah yang menghitam..."
TAMAT
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar