“Sudah, jangan
diotak-atik terus, nanti rusak...!”
Bonnie memperingatkan adiknya
sedikit berteriak. Tapi tangan Clara masih juga aktif memencet-mencet tombol
pada dashboard mobil kesayangan gadis berambut cokelat itu.
“Clara, stop…!!”
Akhirnya Bonnie memukul lengan gadis
kecil berumur 10
tahun itu.
Clara menarik tangannya sambil
meringis.
Clara mendengus keras.
Bonnie melirik kesana-kemari, ia
nampak bingung.
“Eh, kemana bus tadi?”
Clara langsung menatap Bonnie. Wajah
Bonnie mulai kelihatan cemas.
“Fokus dong kalau nyetir, kalau
busnya ilang terus kita mesti gimana nih?”
Clara mulai ikut melihat
kesana-kemari.
“Eh, seriusan Bon. Busnya gak
keliatan lagi…”
Bonnie memukul setirnya dengan
kesal, ia mulai berteriak.
“Ahhhh.., ini semua gara-gara
lo…!!!”
“Kok gue yang salah, ‘kan lo yang
nyetir?”
“Busnya ilang nih, trus kita mesti
ambil jalan mana coba???”
***
“Caknyo hari ini idak ujan lagi…”
(kayaknya
hari ini gak hujan lagi…)
Ijan berdiri sambil melihat ke
langit. Siang ini nampak begitu terik.
“Yo lagi nasibnyo tukang es keliling
pecaknyo…”
(iya
lagi nasibnya tukang es keliling kayaknya…)
Eki menyahut dari atas pohon dimana
ia bersantai.
“Jadi cak manolah ini? La dak biso
ngojek, dak biso ngamen pulo?”
(jadi
gimana ini? Udah gak bisa ngojek, gak bisa ngamen juga?)
Eki memandangi kakaknya itu yang
terlihat cemas.
“Ngapo pulo oi gitar aku rusak cak
itu?”
(kenapa juga gitarku rusak kayak gitu?)
“Yo sudahla, kak. Kito mancing be ke
KI..”
(ya
udahlah, kak. Kita mancing aja ke KI..)
Beberapa jam kemudian…
“Kalau tau bakalan kayak gini,
mending dari awal gue pergi diem-diem..”
“Lo tega liat gue mati kelaperan?”
“Alahhh, lo ‘kan bisa masak apa-apa
yang ada di dapur. Lebay banget sih lo…!!”
“Songong lo Bon. Kalo gitu kenapa lo
bela-belain nyusul nyokap kesini?”
Gadis berusia 16 tahun itu tak menjawab, ia hanya melihat kearah kanan lalu
mulai menepikan mobilnya.
“Gue mau turun bentar…”
Clara memperhatikan kakaknya yang
mulai melepas sabuk pengaman.
“Mau ngapain?”
“Banyak bacot. Kalau mau lo turun
juga deh..”
Akhirnya kedua gadis cantik itu
turun dari mobil.
“Apo dio la, nyuel-nyuel?”
(apaan
sih, nyolek-nyolek?)
Ijan menepis lengan adiknya dari
bahunya.
“Kak, cubo jingok kesano..”
(kak,
coba liat kesana..)
Eki berseru sambil menggerakkan bola
matanya.
Pemuda berusia 16 tahun itu melihat kearah yang dimaksud adiknya.
“Mati kau, seksinyo...??”
(gila,
seksi banget..??)
“Eh, ada yang lagi mancing tuh.
Gimana kalau kita tanya ke mereka aja?”
Bonnie dan Clara berjalan
menghampiri Ijan dan Eki yang sedang asyik memancing.
“Misi mas, boleh numpang tanya?”
Ijan dan Eki saling pandang untuk
beberapa saat. Kemudian Ijan menatap Bonnie dan Clara yang sedang berdiri
dihadapannya kini.
“Tanya apa ya mbak?” tanya Ijan.
“Kita dari Jakarta nih, kalau boleh
tau ini daerah apa ya?” tanya Bonnie sambil memainkan rambutnya.
“Dari Jakarta apa dari kolam renang
mbak?” sahut anak laki-laki berumur 11 tahun itu, Ijan buru-buru
menimpuknya.
“Maksudnya?”
Bonnie agak tersinggung.
“Eh, maaf mbak. Adik saya kurang
sopan..”
Clara menyahut, “Ya udah deh. Ini
daerah mana sih?”
“Ini Kambang Iwak..” jawab Ijan.
“Trus ini dimana? Palembang bukan?”
timpal Bonnie.
“Ya iyalah..” sahut Eki.
Bonnie tertawa, lalu ia melirik
Clara.
“Yeeee…. Berhasil….!!!!”
Kedua gadis itu melompat-lompat
kegirangan.
***
“Halo Mama…?”
“Iya,
kenapa sayang..?”
“Mama dimana? Kita sekarang di Palembang…”
“Apaaaa..???!”
“Serius, kita
ngikutin bus sampai ke Palembang. Sekarang mama dimana?”
“Tuuuuutt…..
Tuuuuuutt….”
Bonnie masih menyetir, sesekali dia
menoleh kearah Clara.
“Eh, jadi mama dimana katanya?” seru
Bonnie.
“Boro-boro, telponnya putus…!!”
Bonnie merebut ponselnya dari Clara.
“Buset, pulsa gue abis nih..”
“Kita tau tempat jual pulsa di deket
sini mbak..” sahut Ijan.
Clara melihat ke jok belakang.
Ijan dan Eki sedari tadi duduk diam
menunggu untuk menunjukkan lagi kearah mana Bonnie harus menjalankan mobil.
“Tolong ambilin tas gue
dibelakang..” seru Bonnie.
Ijan langsung mengambil tas motif
bunga-bunga yang tergeletak disampingnya lalu menyerahkannya kepada Clara.
Clara langsung mengobrak-abrik isi
tas itu.
“Lo bawa gak sih dompetnya?”
Bonnie menoleh, dilihatnya wajah
Clara nampak bingung.
“Masa sih?”
Gadis itu langsung merebut tasnya
dari tangan Clara dan mulai mencari.
Sedetik kemudian wajahnya juga
berubah panik.
“Gila, dompet gue pasti ketinggalan
di minimarket tadi….”
Ijan dan Eki yang melihat semua itu
cukup lama saling pandang.
“Masa iya jauh-jauh dari Jakarta
dateng kesini cuma pake celana pendek dan gak bawa dompet?” seru Eki.
Ijan langsung menimpuk adiknya itu.
Malam mulai larut..
Dua orang gadis cantik sedang duduk
di atas jembatan kayu yang nyaris roboh.
“Bon, kita masuk yuk? Disini banyak
nyamuk….”
Clara menyikut Bonnie yang terus
diam semenjak mereka tiba di rumah.
“Kita tidur di mobil aja yuk…”
Bonnie menggeleng. Ia hanya menunduk
melihat sekitar tempat mereka duduk, sebuah DAM dengan air yang nyaris kering.
“Jadi lo mau tidur di rumah itu?
Mereka ‘kan tadi bilang isinya cowok semua?”
Bonnie menggeleng lagi.
“Trus lo mau disini sampe pagi?”
Bonnie berteriak kali ini.
“Mamaaaaaa….. Bego banget
sihhhhh……!!!!!”
Clara langsung menutup mulut Bonnie.
“Lo gimana sih, entar semua orang
pada bangun lagi. Lo gak liat rumahnya pada rapet-rapet gini?” seru Clara sambil mulai melepaskan tangannya lagi dari
wajah Bonnie.
“Lo baca sendiri ‘kan SMS dari mama?
Dia bilang dia bohongin kita, dia bukannya ke Palembang tapi ke Singapura….!!!”
***
Pagi pun tiba, Bonnie dan Clara ikut
sarapan dengan keluarga kecil yang terdiri dari seorang ayah dan dua orang anak
laki-laki itu dengan sedikit perasaan jijik. Bagaimana tidak? Rumahnya nampak
jorok karena memang tidak ada wanita yang mengurus, bahkan rumah itu nyaris
roboh. Namun, mereka cukup menikmati menu sarapan yang disebut ‘nasi gemuk’,
nasi yang dimasak dengan santan dan disajikan dengan bihun tumis, kacang
goreng, potongan tempe goreng, dan kerupuk merah.
“Jadi kalian datang kesini menyusul
mama? Ada dimana beliau?”
Bonnie dan Clara mendongak menatap
Mang Yar, kepala keluarga tersebut.
“Iya, tapi mama rupanya bohongin
kami. Dia bukannya ada kerjaan di Palembang, tapi liburan sendirian ke
Singapura..” jawab Bonnie.
“Liburan kok gak ngajak anaknya?”
sahut Ijan.
“Soalnya Bonnie hobi shopping, kalo
dia ikut pasti duit mama ludes buat belanja..” jawab Clara.
Bonnie mendelik kesal ke adiknya,
Clara hanya menjawab dengan tatapan angkuh.
“Hobi jogging, apa hubungannya
dengan belanja?” Eki ikut-ikutan.
“Bukan jogging, tapi shopping.
Artinya belanja…!!” jawab Bonnie.
Eki manggut-manggut. Mang Yar dan
Ijan tertawa.
“Ngomong-ngomong, kalian gak
sekolah?” tanya Clara sambil menatap kedua anak lelaki dihadapannya.
Ijan, Eki, dan ayahnya saling tatap
sambil diam sejenak.
“Maklumlah, saya cuma buruh bangunan
serabutan. Mereka sendiri mau berhenti sekolah dan ikutan cari uang..” Mang Yar
menjelaskan.
Bonnie dan Clara nampak iba.
“Kalian nanti mau tinggal di rumah
atau ikut mereka cari duit? Soalnya rumah kosong sampe malem...”
Sekitar jam 10.00…
“Yang itu namanya Hotel Aryaduta, di
sebelah itu Palembang Square, di sebelahnya lagi Rumah Sakit Siloam…”
Ijan menjelaskan dengan semangat.
“Yang di sebelah kita ini, Lapangan
Tembak. Didepannya itu kolam Lumban Tirta, di sebelah sananya ada kantor DPR yang letaknya di
belakang rumah kami tadi…”
“Hebat juga ya, meskipun
perumahannya nampak kumuh, tapi sebenarnya kalian ada di pusat kota…” seru
Bonnie.
“Jadi kalian bisa kapan aja
jalan-jalan kesini soalnya dekat rumah?” Clara menimpali.
“Iyalah, kami juga sesekali suka
main game di Amazone, Fun City, dan berenang di Lumban Tirta ini..” sahut Eki.
“Nah, gimana kalau kita berenang
aja? Lumban Tirta yang ada di samping kita ini ‘kan?” tanya Bonnie sambil
tersenyum.
“Gilo, kami mano ado duet. Wong kamu
be dompetnyo entah kemano…!!” seru Eki.
(Gila, kami mana ada uang. Orang
kalian aja dompetnya gak tau kemana…!!)
Ijan langsung menimpuk adiknya
dengan ujung payung yang sedari tadi ia pegang.
“Payo kak, kau kiro idak saket apo
kau cak ituke?”
(Apaan sih kak, kamu kira gak sakit
apa kamu pukul kayak itu?)
Eki mulai mengelus bahunya.
Ijan hanya memonyongkan bibir.
“Emm, maksudnya kalian lagi gak
punya duit?” tanya Bonnie. “Iya, ya. Dompet aku juga ilang..”
“Ya udah deh, sekarang kita mau ke
mall itu?”
Ijan mengangguk.
“Kami biasanya main kesini, dulu
kami ngamen tapi karna gitarnya rusak kami jadi ngojek payung kesini..” jawab
Ijan.
Clara manggut-manggut.
“Sekali ngojek payung dikasih
berapa?”
“Biasa lima ribu atau sepuluh ribu,
tapi kalau ada yang baik suka kasih lima puluh ribu..” jawab Eki. Pemuda
berumur sembilan tahun itu berjalan sambil mengayun-ayunkan payung yang ia
bawa.
“Wah, lumayan juga tuh…!!” seru
Clara.
“Iya, doain aja hari ini hujan. Kalo
gak hujan ya kita mancing lagi di tempat kemaren..”
Bonnie
berseru dengan semangat.
“Oke, kami doain hari ini hujan
lebat supaya kalian dapet duit banyak. Kalau mancing ‘kan belum tentu dapat
ikan…!”
Ijan dan Eki tertawa.
Mereka berempat pun menyeberang
jalan. Sebuah bangunan hotel yang tinggi menjulang dan komplek mall yang megah
berdiri di hadapan mereka.
Sekitar jam dua
siang…
Langit tampak mendung dan hujan
mulai turun.
“Hujan nih…” seru Bonnie.
“Kalian tunggu disini aja, kami mau
jalan dulu cari pelanggan..”
Ijan dan Eki pun berlari dengan
membawa payungnya menerobos hujan yang semakin deras. Bonnie dan Clara hanya
melihat keduanya berlari. Mereka kini berteduh di depan mall.
***
“Besok
mama ke Palembang, kalian gak usah kemana-mana lagi. Apalagi nyoba-nyoba nyusul
mama ke Singapur…”
“Halaaaa..
Boro-boro mau ke Singapur, dompet Bonnie aja ketinggalan di minimarket yang
lupa letaknya dimana..”
“Jadi
kartu kredit kamu juga ilang? Trus gimana kalian makan?”
“Beruntungnya
kami ketemu sama orang baik, jadi kami numpang di rumahnya..”
“Ya
udah, besok mama telpon lagi. Kalian di daerah mana?”
Bonnie menoleh
ke arah Ijan, Eki, dan Clara yang sedang asyik ngobrol.
Ia langsung menutupi ponselnya
dengan tangan dan berseru.
“Ijaaaaaan, rumah kamu di jalan apa
namanyaaaa….?!”
Ijan menoleh.
“Jalan Kapten. A. Rivai….!!” Jawab
Ijan.
Bonnie mengangguk. Lalu kembali
meletakkan ponsel ke telinganya.
“Halo, ma.. Namanya jalan Kapten. A.
Rivai..”
“Oke,
oke. Ngomong-ngomong kalian sekarang lagi dimana? Kok berisik banget?”
Bonnie tertawa.
“Kami lagi diatas Jembatan Ampera,
ma. Kami diajak jalan-jalan terus sama mereka, hehehehe….”
“Awas
ya, jangan terlalu ngerepotin orang…!!!”
“Okeeee… Sip
bos…..!!”
Bonnie lalu menyimpan ponselnya ke
saku.
Hari ini mereka bahagia sekali,
karena tadi pagi selesai sarapan Mang Yar memberikan uang yang cukup banyak.
Alhasil seharian ini mereka bisa jalan-jalan keliling Palembang. Mereka naik
‘ketek’ mengarungi sungai musi mengunjungi Pulau Kemaro, jalan-jalan ke
Jakabaring mengunjungi lokasi Sea Games tahun 2011 lalu, ke Danau Opi, Monpera,
Patra jaya, Komplek Penenun Songket dan tempat wisata lainnya di
Palembang.
Kini mereka berada di seberang
Masjid Agung, meraka tengah makan malam di sebuah Rumah Makan yang bernama ‘Martabak HAR’.
“Hmm, enak banget…” seru Clara.
Ijan dan Eki tertawa.
“Ngomong-ngomong, besok ‘kan kalian
udah mau pulang ke Jakarta. Gimana kalau setelah ini kita beli pempek yang
paling enak buat mama kalian?” tanya Ijan.
“Paling enak? Berarti mahal dong?”
sahut Clara.
“Iya, iya. Rasanya beda dengan
pempek yang kita beli kemarin di jalanan, harganya lumayan mahal. Gak apalah,
untuk mama kalian..” kata Ijan.
“Ooo.. iyo, kamu ‘kan
belom pernah jugo ye nyubo yang namonyo pempek kapal selem, pempek panggang,
roket, model, tekwan, burgo, celimpungan... Payo kito cari biar kamu tau
rasonyo...!!!”
(ooo.. iya, kalian ‘kan
belum pernah juga mencicip yang namanya pempek kapal selam, pempek panggang,
roket, model, tekwan, burgo, celimpungan... Ayo kita cari biar kalian tahu
gimana rasanya...!!!)
Eki berkata dengan penuh semangat.
Bonnie dan Clara saling tatap untuk
sejenak, kemudian tertawa.
Bonnie lalu tersenyum sambil menatap
Ijan dan Eki.
“Makasih banget ya, dan maaf kalau
kita udah ngerepotin kalian..” kata Bonnie.
Ijan dan Eki ikut tersenyum.
“Oooh, dak apola. Santai bae dengan
kami ni, seneng kami biso kenal kamu beduo….!!”
(Oooh, gak apa kok. Santai saja
dengan kami, kami senang kok bisa kenal dengan kalian berdua….!!)
Clara tertawa.
“Ngerti dikit sih arti omongannya,
tapi sumpah lucu banget cara ngomong dan bahasanya….” Seru Clara.
Mereka semua kini tertawa.
“Alangke cantiknyo ayuk ini, rambutnyo
coklat, matonyo biru pulo. Wong mano nian ini buk?”
(Sungguh cantik kakak ini, rambutnya
cokelat, matanya juga biru. Orang mana ini bu?)
Mereka berempat menoleh, rupanya
seorang anak kecil yang sedang makan bersama ibunya di meja samping sedang
memperhatikan mereka. Ibunya hanya tertawa melihat tingkah anaknya itu.
Mereka berempat pun ikut tertawa.
***
“Maafkan anak saya kalau mereka
telah merepotkan kalian….”
“Ah, tidak sama sekali nyonya.
Mereka anak yang baik dan cantik, tidak merepotkan sama sekali…”
Bu Yolan tersenyum, lalu
menyerahkan dua kantong berisi banyak bingkisan kepada Mang Yar.
“Ini, sebagai tanda terima
kasih karena bapak sudah berbaik hati menerima anak-anak saya untuk tinggal di
rumah bapak. Mungkin tidak seberapa tapi saya mohon anda untuk menerimanya...”
“Wah... Terima kasih,
nyoya...”
Mang Yar nampak senang
menerima bingkisan itu.
“Saya yang berterima
kasih, pak..”
Bonnie, Ijan, Eki dan Clara sedang
duduk di jembatan kayu di depan rumah. Cukup lama mereka berdiaman, hanya saja
terdengar Clara mulai menangis.
“Rasanya gak pengen pulang…”
Bonnie merangkul adiknya itu. “Kita
‘kan kapan-kapan bisa kesini lagi, kita harus sekolah lagi…”
Clara mengangguk.
“Iya, kalian bisa kapan aja kesini…”
sahut Ijan.
“Ayo, Bonnie, Clara, kita pulang
sekarang…..!!”
Mereka berempat pun menghampiri Mang
Yar dan Bu Yolan.
Dengan wajah sedih,
keduanya mengulurkan tangan, kemudian mencium tangan Mang Yar.
“Mang, kami pamit dulu
ya.. Makasih udah mau nerima kami disini..” kata Bonnie.
“Sama-sama..” jawab Mang
Yar sambil tersenyum hangat.
“Clara juga pamit, makasih
karena kemarin kasih kami uang jajan. Kami jadi bisa jalan-jalan dan wisata
kuliner di Palembang..”
Mang Yar berjongkok dan
mengusap pipi Clara yang masih basah.
“Sama-sama, anak cantik.
Sekolah yang rajin ya, trus lain kali jangan lupa main-main lagi ke
Palembang..”
Clara manggut-manggut.
“Hati-hati di jalan ya..”
Ijan dan Eki pun menjabat
tangan mereka bertiga satu-persatu. Mereka semua nampak sedih karena ingin berpisah.
“Ijan, Eki, makasih ya.
Berkat kalian, kami gak luntang-lantung di kota orang..”
Bonnie tersenyum manis
sekali.
Kali ini malah Eki yang
terlihat mengusap kedua matanya.
“Datengla kesini lagi,
kagek ku kasih kursus bahaso Palembang..”
(datanglah kesini lagi,
nanti kuajari bicara dengan bahasa Palembang)
“Jangan sampai lupa ya,
namaku Reizan, adikku Rezki, dan bapakku Yarzeni, tinggal di Jalan Kapten. A.
Rivai..”
Bonnie manggut-manggut.
“Jangan lupa juga, Bonnie,
Clara, dan Yolanda...”
Sampai mereka masuk ke mobil dan
mulai bergerak menjauh, kepala Bonnie dan Clara masih nongol dari jendela.
Mereka melambai-lambai dengan tatapan sedih. Begitu juga Ijan, Eki, dan Mang
Yar, mereka pun masih melambaikan tangan hingga mobil itu tidak terlihat lagi
dari pandangan mereka.
TAMAT
(cerpen yang baru diposting setelah pengumuman lomba keluar *kalah :D )
11 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar