Hari
kedua liburan musim panas kujadikan momen tempat pelampiasan masa merdekaku.
Hari pertama kuhabiskan untuk menangisi Sasa Takeda, kakak kelas, pacar pertama
yang memutuskan begitu saja empat bulan kebersamaan kami. Dia bilang aku ini
egois, kelewat manja dan selalu membuatnya pusing. Dia tak pernah memikirkanku
yang selalu mengkhawatirkannya. Baiklah, aku merasa bodoh kalau terus
meratapinya.
Karena itu aku memutuskan untuk refreshing sendirian ke Shibuya. Disana sangat ramai, dan juga ada banyak hal yang menyenangkan.
Karena itu aku memutuskan untuk refreshing sendirian ke Shibuya. Disana sangat ramai, dan juga ada banyak hal yang menyenangkan.
Sekarang aku sedang berada di
kereta, melaju dari Asakusa menuju Shibuya. Entah mengapa terasa sepi sekali,
masih banyak bangku kosong. Disebelahku seorang pemuda sedang asyik membaca manga[1] dengan kabel headset
menggantung dari telinganya. Awalnya aku juga mau mendengarkan music, namun bodohnya aku lupa membawa headset-ku. Sepi sekali, hanya suara
laju kereta yang terdengar. Tiba-tiba sebuah manga
melayang kehadapanku. Pemuda itu sepertinya tau aku sedang bosan, ia mau
meminjamkannya padaku. Aku menatapnya bingung, namun ia hanya tersenyum sambil
menggerakkan manga itu didepan mataku.
“Arigatou.”
[2]Kataku
sambil menerima manga itu dan mulai membaca. Pemuda itu tak menjawab, ia
kembali menikmati music yang
didengarnya.
“Ngomong-ngomong, kau mau kemana?”
tanyaku berbasa-basi.
Pemuda itu menatapku, lalu
mengeluarkan notes dan pulpen kecil
dari saku jeans-nya. Ia mulai
menulis. Aku sedikit bingung, namun kutunggu saja apa maksudnya. Ia lalu
menyerahkan notes itu. Aku langsung
membaca tulisan tangannya.
Aku mau ke Shibuya. Senang bertemu denganmu.
Aku
Daisuke Hondo. Namamu siapa? Mau kemana?
Setelah membaca, aku kembali
menatapnya. Mungkinkah pemuda ini tak bisa bicara? Ia hanya tersenyum padaku
lalu mengulurkan tangannya. Terdiam sebentar, aku lalu menerima uluran
tangannya.
“Namaku Setsuna Ashiya. Sama, aku
juga mau ke Shibuya.” Kataku sambil tersenyum. Pemuda itu lalu melepas tanganku
dan mengambil notes dariku, kembali
menulis. Membaca tulisannya itu, aku langsung mengangguk-angguk.
Kalau begitu ayo kita pergi bersama, Setsuna-chan!
Beberapa saat kemudian, kami tiba di
Shibuya. Daisuke nampak senang sekali, ia menceritakan banyak hal lewat
tulisannya. Dia tinggal di Tomigaya yang letaknya sendiri berdekatan dengan
stasiun Shibuya. Dia sekarang duduk dibangku kelas 3 sma sedangkan aku baru
kelas 2. Aku hendak memanggilnya Onii-sama[3]
namun ia langsung menggeleng kuat, rupanya ia ingin aku memanggilnya Daisuke
saja.
“Daisuke, temani aku ke Shibuya 109[4], mau
tidak?”
Tanpa banyak berpikir, Daisuke
langsung tersenyum sambil mengangguk-angguk. Dia langsung mengulurkan tangan
kanannya. Aku terdiam sejenak tanpa menerima uluran tangannya. Lalu ia
menggeleng sebentar kemudian menarik tanganku dan memegangnya erat. Aku
menunduk malu. Akhirnya kami berjalan bergandengan layaknya sepasang kekasih.
Hampir sore di Shibuya, Daisuke
dengan senyum manisnya masih menemaniku berbelanja dengan sabar. Sungguh
berbeda dengan Sasa Takeda, yang selalu marah jika aku mulai kesetanan dan
mengajaknya kesana-kemari. Aku masih ingat betul bagaimana ekspresi wajahnya
ketika aku minta ditemani belanja, dan bagaimana suara ocehannya ketika
memarahiku. Dan bagaimana ekspresi malasnya saat kutanyai pakaian mana yang
seharusnya kubeli, benar-benar memuakkan.
“Daisuke, aku mau makan gyudon[5].
Temani aku ya!”
Seperti tadi, ia masih menanggapiku
dengan senyuman dan anggukan pelannya. Beberapa saat kemudian, kami tengah
asyik makan bersama. Aku mulai menceritakan tentang Sasa padanya. Aku memang
tipe gadis yang tidak bisa diam dan cenderung kasar dalam bicara. Aku mudah
bergaul dan ceplas-ceplos dalam bercerita. Lama memperhatikanku bercerita,
akhirnya Daisuke menulis lagi.
Aku juga punya pengalaman memuakkan dengan mantan pacarku, bagaimana kalau besok kita bertemu lagi? Aku mau
menceritakan semuanya. Sekarang sudah sore. Besok kita ketemu di depan patung hachiko [6]jam
1 J
Selesai membaca, aku langsung
mengangguk. “Ternyata kau juga pernah punya pacar? Baiklah, aku jadi tidak sabar mau mendengarkan
ceritamu!”
***
Keesokan harinya, jam 2 di stasiun
Shibuya. Aku langsung berlari menuju patung hachiko, dimana kami berjanji untuk
bertemu.
“Gomennasai..”[7]
kataku tidak keenakan. Nafasku masih tersengal. Daisuke pasti sudah lama sekali
menunggu.
Daisuke langsung menghampiriku
sambil tersenyum. Ia menepuk-nepuk pundakku sambil menggeleng, seperti
mengisyaratkan ‘tidak apa-apa, aku tidak marah.’ Saat itu juga aku jadi
teringat bagaimana Sasa memarahiku saat aku datang telat waktu kami janjian
untuk bertemu, waktu itu hari pertama kami nge-date, benar-benar berbeda
sekali.
Daisuke berjalan disisiku, aku
langsung mengikutinya.
“Kita mau kemana?”
Tak lama kemudian, kami tiba di
jembatan Inari, Sungai Shibuya, yang terletak di sisi lain stasiun Shibuya.
“Wah, ini kan tempat ditemukannya
hachiko yang sudah tewas ya?”
Daisuke mengangguk, lalu
mengeluarkan notes dari saku jeans-nya. Dia langsung menyerahkan notes itu padaku. Rupanya ia telah
menuliskan banyak hal dari rumah.
Sudah 1 tahun aku berpacaran dengan Shizuka Mishima.
Menurutku, dia gadis paling cantik di sekolah, matanya bulat, rambutnya hitam
panjang lurus sepinggang, gaya berpakaiannya persis sepertimu, sifatnya juga
persis sepertimu. Pertama kali aku bertemu dengannya juga didalam kereta menuju
Shibuya di liburan musim panas. Hampir sama suasananya saat kita bertemu, sepi,
aku pun meminjamkan manga-ku padanya.
Kami tidak tau, ternyata kami satu sekolah. Awalnya aku memilihnya karena
penampilan fisiknya yang feminine,
akhirnya aku benci sikapnya yang manja dan egois, cara bicaranya juga kasar.
Aku sering memarahinya, namun aku terlanjur menyayanginya makanya aku bertahan.
Namun ia terlanjur tak bisa menerima sikapku. Hari terakhir sebelum liburan
musim panas, ia memutuskan hubungan untuk melepaskan diri dariku. Semuanya
berakhir.
Aku terdiam sejenak. Sambil
mengembalikan lagi notes itu padanya,
aku berpikir. “Kau sadar tidak, terlalu banyak kesamaan dari cerita ini dengan
yang kuceritakan kemarin?”
Daisuke mengangguk, lalu menuliskan
sesuatu di notes.
Iya, tapi kau berada di posisi Shizuka. Namun dalam ceritamu,
pacarmu yang memutuskanmu,
bukan kau.
***
Setibanya dirumah, aku langsung
merebahkan tubuhku. Aneh sekali, aku terus teringat pada Daisuke. Pemuda itu mengaku
kalau sifatnya nyaris seperti Sasa. Kisah percintaan kami juga nyaris sama,
bahkan sama-sama berakhir di hari terakhir sebelum liburan musim panas. Namun
bedanya, Daisuke seorang pemuda yang cenderung mengalah dan mau memahami
pasangannya, tidak seperti Sasa.
Akhirnya tiba lagi hari esok, kami
berjanjian lagi di patung Hachiko.
“Hari ini temani aku ke Don Quixote [8]ya.
Tapi sebelumnya, kita minum kopi dulu di Excelcior
CafĂ©!”
Seperti biasa, Daisuke menanggapiku
dengan anggukan dan senyuman. Lalu kami mulai berjalan bersama. Aku
menceritakan banyak hal. Tidak seperti Sasa, Daisuke selalu nampak bersemangat
dan mendengarkan ceritaku. Malahan dengan keterbatasannya untuk berbicara, ia
mengomentari lewat tulisan-tulisannya. Ia terlihat penyabar dan penyayang, dan
yang paling kusuka adalah dia bisa menyemangatiku dan sekedar membuatku
tersenyum lewat kemampuannya membuat gambar-gambar lucu. Dia memang memiliki
keterbatasan, namun keinginannya untuk menyenangkan orang lain sangat besar,
bisa dilihat dari usahanya bertahan bersama pacarnya hingga setahun.
Hari itu kami bertukar nomor ponsel.
Dan esoknya aku malas sekali untuk keluar rumah, padahal Daisuke mengajakku
bertemu lagi. Pasti menyenangkan seandainya dia juga tinggal di Asakusa, atau
satu sekolah denganku.
Sedang apa di rumah?
Aku menatap ke layar ponsel,
tersenyum. Rupanya dia sedang memikirkanku juga? Aku langsung mengetikkan
balasan untuknya.
Tidak ada,
hanya berbaring di ranjang. Malas kemana-mana. Kau sendiri?
Tiga menit kemudian ia membalas.
Aku baru saja
dari Shibuya 109. Hehe..
Aku buru-buru membalas.
Sendirian?
Benarkah? Ngapain kau pergi kesana?
Dia membalas.
Baju yang kita
lihat bersama waktu itu. Kau tidak jadi membelinya karena uangmu kurang,
makanya aku membelikannya untukmu. Besok kita harus bertemu lagi, jam 1 di
patung Hachiko J
Aku langsung tersenyum sendiri.
Ingat waktu aku melihat baju itu di Shibuya 109.
Benarkah?
Terima kasih banyak ya!
Ia membalas.
Esok harinya, jam 1.30 di depan
patung hachiko.
“Maaf, agak terlambat!”
Daisuke langsung menghampiriku, ia
menggeleng pelan. Ia masih seperti biasa seperti diawal kami bertemu,
mengenakan topi, kaus lengan pendek dan jeans,
sepatu sneakers, dan tak lupa headset menggantung ditelinga.
Sambil tersenyum, ia menyerahkan notes-nya padaku.
Setsuna, kau mau tidak jadi pacarku?
Aku terkejut membaca tulisan itu.
Aku terdiam. Kutatap wajah Daisuke. Ia masih tersenyum. Tampak menunggu. Apa
lagi yang aku pikirkan? Keterbatasan yang ia miliki? Tidak, dia pemuda yang
kupercaya bisa mengerti aku. Dia bisa menerimaku apa adanya.
Aku langsung tersenyum dan
mengangguk. Ia memelukku.
***
Hari minggu di musim gugur, di taman
dekat stasiun Shibuya. Kami
bersantai berdua, mengelilingi taman sambil bergandengan tangan. Beberapa bulan
kami lewati bersama sebagai sepasang kekasih. Rasanya nyaman, bahagia, meskipun
sederhana, tanpa suara. Shibuya adalah tempat yang sempurna untukku, bisa
bersamanya menghabiskan waktu seharian tanpa rasa jenuh sedikitpun.
“Daisuke! Daisuke!”
Aku langsung menoleh, Daisuke pun
ikut membalikkan badannya.
“Pacar barumu kah?”
Siapa gadis cantik ini? Ia menatap
kami bergantian, nampak murung. Rambutnya hitam panjang sepinggang, gaya
berpakaiannya nyaris sepertiku, jangan-jangan dia adalah…
“Kumohon sekali lagi.” Kata gadis
itu. “Maafkan aku. Kembalillah lagi padaku, Daisuke.”
Aku terdiam. Ternyata benar, dia
Shizuka Mishima. Daisuke tidak mau menengok, ia membuang
tatapannya kesamping.
“Aku sangat menyesal, Daisuke.”
Shizuka mulai memegangi kedua tangan Daisuke, tapi Daisuke masih pura-pura
tidak mendengar. “Kumohon, aku tidak mau kita berakhir seperti ini. Kau tau kan
kita sudah menjalaninya selama setahun?”
Kali ini, Daisuke menoleh. Menatap
gadis itu, namun dari sorot matanya nampak jelas ia membenci gadis itu. Langsung
saja ia melepaskan tangannya dan menarikku, membawaku berjalan disisinya. Aku
menoleh, masih kulihat gadis yang mulai sesenggukan itu. Sorot mataku
menjelaskan ‘tolong maafkan Daisuke’ padanya.
“Bahkan berbicara kepadaku pun tak
mau?” Shizuka berseru, lalu mengejar dan memeluk Daisuke dari belakang. Daisuke
mendesis, lalu berbalik dan mendorong tubuh gadis itu.
“Cukup. Berhentilah berlaku seperti
kau terluka karena aku!”
Aku terkaget. Ada apa ini, pemuda
yang sedang berbicara ini?
“Kau yang sudah bilang kalau kau
tidak tahan terus bersamaku. Kau yang lebih dulu bersama lelaki lain, kau
ingat? Kita masih berhubungan tapi kau mencari laki-laki lain lalu
meninggalkanku begitu saja, kau ingat?”
Suasana hening. Dedaunan kering
berjatuhan mengelilingi kami. Tanpa suara untuk sejenak, di tengah-tengah
ramainya suasana Shibuya. Orang-orang berlalu lalang, tak sedikit yang mendelik
ingin tahu kearah kami. Sementara Shizuka, ia masih menangis terisak, menunduk.
“Kumohon, berhentilah berlaku
seolah-olah kau yang kusakiti. Kau tidak tau bagaimana rasanya seperti aku,
mencoba bertahan tapi malah kau duakan. Sekarang semuanya sudah tak berarti
lagi untuk kita bicarakan.”
Aku menghampiri Daisuke. Kugenggam
erat tangannya lalu kubawa dia berjalan disisiku. Dan suara tangisan itu
perlahan-lahan menjauh. Kembali sunyi, tanpa suara. Hanya kami berdua ditengah
ramainya Shibuya yang bertaburan dedaunan musim
gugur. Daun-daun berguguran pada waktunya, begitupun masa
lalu, pasti akan berganti dengan yang baru.
Aku bergelayut dilengan Daisuke,
nyaman sekali. Setiap saat bersamanya adalah hal yang paling nyaman. Tidak ada
rasa takut, rasa takut untuk tidak melakukan kesalahan, seperti saat aku
bersama Sasa dulu.
“Maafkan aku, Setsuna.”
“Maaf untuk apa?”
“Aku.. Bisa berbicara. Aku telah
membohongimu.”
“Tidak apa-apa kan?”
“Kau tidak marah?”
“Aku malah berterima kasih, setelah
sekian lama, akhirnya aku bisa mendengarkan suaramu.”
Aku menatap Daisuke sambil
tersenyum. Ia langsung merangkulku dengan erat. “Terima kasih ya.” Katanya
sambil tersenyum.
“Aku hanya mencoba untuk menerimamu apa
adanya, seperti yang telah kau lakukan kepadaku selama ini.”
Kami berjalan bersama menyusuri
Shibuya.
“Ya, itulah yang seharusnya kita
lakukan. Selamanya.”
TAMAT
[1] Komik jepang
helo helo semua :D
ini cerpen kedua yang deli kirim buat ikutan lomba cerpen japan in love yang diadakan diva press.
baru berani diposting disini karena pengumuman udah keluar.
kebetulan cerpen ini nggak bawa kemenangan, tapi justru cerpen satunya yang dipilih buat diterbitkan.
nanti kalau sudah diterbitin, cerpen satunya juga bakal deli posting kok. tunggu yaa :D
ini cerpen kedua yang deli kirim buat ikutan lomba cerpen japan in love yang diadakan diva press.
baru berani diposting disini karena pengumuman udah keluar.
kebetulan cerpen ini nggak bawa kemenangan, tapi justru cerpen satunya yang dipilih buat diterbitkan.
nanti kalau sudah diterbitin, cerpen satunya juga bakal deli posting kok. tunggu yaa :D
Kito sebuku di Snow in the Heart :D
BalasHapusSalam kenal sesamo wong kito galo ;)
Ohhh..
BalasHapusYupz, ak inget namo dirimu, hhihi
salam kenal jg ye ;)