Jumat, 07 Juni 2013

In, and after the rain


Sekitar bulan September tahun 2010, semua terlihat gembira begitu peresmian mahasiswa baru dan pembagian kelas telah selesai. Aku tidak peduli di mana aku ditempatkan, yang jelas aku datang ke sini untuk menimba ilmu. Aku tertegun sejenak sebelum masuk ke kelasku, entah orang-orang seperti apa yang akan kutemui di sini setiap hari.
            “Zoya…?”
            Aku menoleh ke belakang.
            “Kita ketemu lagi di bangku kuliah…!!”
         Gadis itu langsung memelukku, ia tampak senang sekali. Aku mengenalinya, dulu dia juga kutemui setiap hari di SMA Negeri 1 Palembang.
            “Anggi, lebay banget…”


            Anggi melepas pelukannya. Ia tertawa.
          Aku lalu bergegas menempati bangku paling depan. Anggi mengikutiku, ia langsung menempati bangku di belakangku.
            “Gak nyangka kita bakal satu kelas lagi?”
            Aku menoleh ke belakang.
            Anggi lalu mendekatkan wajahnya ke telingaku.
            “Ini takdir namanya. Mungkin dengan ketemu lagi di sini kita bisa lebih deket dibanding sebelumnya?”
            Sambil menjauhkan wajahnya lagi, ia kembali tertawa.
            “Anggiiiii……!!!”
            Kami berdua menoleh. Seorang gadis berlari mendekati kami.
            Anggi langsung bersorak sambil bangkit dari duduknya.
            Gadis tadi langsung merangkul Anggi.
            “Kita ketemu lagi, kamu apa kabar?!”
            “Baek, Nggi…”
            Mereka saling melepaskan pelukan. Anggi lalu melihat ke arahku.
            “Eh, kenalin. Ini teman SMA, namanya Zoya..”
            Gadis itu langsung mengulurkan tangan padaku.
            “Windy, mari berteman….!!”
            Aku berdiri dan menjabat tangannya.
            “Zoya..,” jawabku sambil tersenyum.
            “Zoya, Windy ini teman sekelasku waktu SMP. Orangnya asik banget…!!”
            Anggi dan Windy tertawa.
            Rasanya senang sekali. Di hari pertama perkuliahan di Politeknik Negeri Sriwijaya, aku langsung mendapatkan teman. Tapi entah kenapa, aku masih merasa sendiri….

***
“Zoya, kamu nggak apa-apa kan…?”
            “Rin…”
            “Luka kamu gak parah kan, kenapa kamu nangis…?”
            Ini hari terakhir aku melihat Rinka, hari terakhir aku bisa bersama Rinka….

            “Bangun….!!”
            Aku membuka mata perlahan.
            Aku masih memimpikan hal itu…
            “Mama, sekarang jam berapa?”
            “Masih nanya? Lekas mandi sana…!!!”
            Aku langsung bangkit dan turun dari ranjang.
            
Aku rindu menyetir sendiri. Sebenarnya bisa saja aku meminta supirku agar aku yang menyetir, tapi dia pasti tidak memperbolehkan. Pak Bayu menyayangiku, ia pasti takut kecelakaan itu terulang lagi. Meskipun aku tidak mendapat luka yang serius, setidaknya kecelakaan yang kuperbuat sudah memakan korban.
            “Neng Zoya, kita sudah sampai di kampus..”
            Aku membuka mataku.
            “Neng tidur jam berapa semalam? Jangan dibiasakan tidur larut biar paginya gak ngantuk…”
            “Zoya barusan bukannya tidur kok Pak, cuma merem aja..”
            Aku tertawa, lalu langsung keluar dari mobil.
            “Zoya….!!!”
            Tiba-tiba Windy datang dan berlari ke arahku.
            Aku langsung menggamit tangannya, lalu kami berjalan berdua menuju kelas.
            Sampai hari ini, mungkin sudah masuk bulan ketiga sejak pertama kali aku mengenal Windy. Kami berdua sudah cukup akrab. Begitu pula dengan Anggi, meskipun saat SMA kami tidak begitu dekat, sekarang kami sangat dekat. Aku bahagia bisa menemukan sahabat lagi, tapi tentu saja sahabat yang telah pergi meninggalkanku, adalah orang yang paling kusayangi dan tak akan pernah terganti.
Setiap istirahat, aku selalu mengajak mereka ke kantin kampus dan makan bersama.
            “Asyik, hari ini ditraktir Zoya lagi….!!”
            “Bukannya tiap hari kita ditraktir?” seloroh Anggi.
            Windy tertawa.
“Zoya, kamu mau kenalan dengan temanku nggak?”
Aku menatap Anggi.
“Teman kamu? Siapa?”
“Bukan anak sini, dia kuliah di MDP. Mau nggak?”
Anggi lalu mengambil ponsel dari sakunya.
“Orangnya lumayanlah, nih ada fotonya kalo mau liat…”
“Aku juga mau liat dong…!” seru Windy.
Anggi lalu menyerahkan ponselnya kepadaku. Windy langsung mendekatkan tubuhnya. Aku lihat wajah pemuda yang sedang tersenyum di layar, di sebelahnya Anggi tersenyum sambil mengacungkan kedua jempol.
“Kenapa kalian bisa kenal?” tanyaku.
“Dari facebook lah, tapi dia juga temen kakakku. Temen satu kampus..”
“Aku juga mau dong. Ada lagi gak kenalan kamu yang keren?”
Windy langsung menarik ponsel Anggi dari tanganku.
“Kalo kamu mau, aku bisa minta dia datang ke sini pulang nanti. Gimana?”

***
“Yang mana?”
“Itu dia…!!”
Anggi langsung menarik dan membawaku lari. Windy mengejar kami dari belakang.
“Zian, ini Zoya…!!”
Pemuda yang sedang bersandar di mobil sedannya, tersenyum kepadaku. Rasanya baru kali ini jantungku berdegup sangat kencang, sangat kencang….

Tiga bulan berlalu.
“Lain kali kita jalan-jalan keluar kota yuk?”
“Wah, pasti asyik tuh…”
“Enaknya kemana?”
“Ke hatimu, hehehe...”
Zian langsung mengacak rambutku. Ini memang seringkali ia lakukan kalau sedang merasa gemas padaku. Aku bahagia sekali bisa bersama Zian, bisa bersama sahabatku, mereka kado terindah yang Tuhan kirimkan untukku.
Jalanan yang ramai dan berisik dengan suara kendaraan berlalu-lalang, debu yang beterbangan, asap kendaraan, tidak satupun mengganggu kebersamaan kami disini. Setiap hari kami selalu datang ke tempat ini, Jembatan Ampera.
“Kamu gak dimarah orangtua kamu, jam segini belum pulang?”
Aku melirik jam di tanganku.
“Gak apa kan, hampir tiap hari kita pulang sore?”
Zian tersenyum.
“Iya, tapi aku khawatir kamu bakal dimarah..”
Aku meraih sesuatu dari dalam tasku.
“Kamu tau ini tanggal berapa?”
Zian menggeleng.
Agak kecewa, dia rupanya tidak ingat hari ini tepat tiga bulan kami jadian.
“Beneran gak tau?”
Zian mendekatkan wajahnya.
“Memangnya kenapa? Ada yang ulang tahun hari ini?”
“Gak apa, coba kamu ulurin tangan kamu..”
Zian menatapku heran, kemudian mengulurkan tangan.
Aku mengeluarkan benda yang tadi kuraih dari dalam tas, lalu kuletakkan di atas telapak tangan Zian.
“Ini apaan?”
“Hadiah buat kamu,” jawabku.
Zian langsung membuka kotak kecil yang kuletakkan di tangannya.
“Itu kalung buat kita berdua, ada inisial Z. Untuk Zian, dan Zoya..”
Zian mengeluarkan kalung itu. Aku langsung mengambil satu dari kalung itu dan memakaikannya ke leher Zian.
Zian nampak bingung.
Happy anniversary, Sayang…” kataku sambil tersenyum.

***
            “Pagi Zoya….”
            “Pagi..”
            Seseorang menyapaku ketika aku memasuki kelas. Aku tidak menemukan Anggi dan Windy di sana.
            “Ada yang lihat Windy sama Anggi?”
“Gak tau, tapi mereka tadi udah dateng kok..”
            Aku langsung mencari. Ternyata mereka berdua sedang asyik ngobrol.
            “Dari dulu dia itu tipe orang yang loyal, keliatannya sih yang mau temenan sama dia paling cuma mau manfaatin aja. Soalnya dia tuh orangnya pendiem banget kan, gak asik..”
            “Dimanfaatin? Itu bukannya bodoh namanya?”
            “Memang bodoh, dia juga gak nyadar kalau kita ngebodohin dia..”
            “Itu bagus kan? Kita bisa pinjem duitnya kalau kita bilang lagi kepepet, rasanya dia gak bakal minta kita balikin..”
            “Bener banget. Dia kan keliatan banget susah dapet temen jadi dia bakal ngelakuin apapun demi temennya..”
            “Kamu inget dia bilang kalau nanti bakal dibeliin mobil? Kita jadiin supir aja yuk...
           “Iya, tapi mungkin dia takut untuk nyetir lagi. Soalnya dulu dia‘kan pernah sengaja nabrak sahabatnya sendiri dengan mobil? Tau gak kejadian kecelakaan di Ampera tahun 2008 dulu?”
            Windy menggeleng. “Masa sih?”
            “Gosip yang beredar, dia sengaja bawa korban ke situ trus nyuruh dia turun lalu ditabrak. Tapi setelahnya dia malah nabrak salah satu menara jembatan..”
“Iya juga sih, banyak yang bilang kita mesti hati-hati sama orang yang terlalu pendiem..”
         “Ya, tapi kabarnya sih dia dibebasin karna kurang cukup bukti dan saksi. Jadi dianggap itu kecelakaan tunggal dan si korban sebenarnya ada di dalam mobil yang sama tapi kepental keluar mobil karna nabrak..”
            “Aku bukan pembunuh..”
            Anggi dan Windy menoleh kebelakang secara bersamaan.
            “Siapa yang bilang aku pembunuh? Aku bukan pembunuh…!!”
            “Zoya…?”
            Keduanya nampak kaget.
            Windy nampak ketakutan. Ia langsung menyembunyikan tubuhnya di balik tubuh Anggi.
            “Semua orang juga bilang kalau kamu sendiri yang sengaja nabrak dia pas dia keluar dari mobil. Kamu udah bunuh Rinka, sahabat kamu sendiri..!!!” Anggi sedikit berteriak.
            “Kalian tuh gak tau apa yang terjadi, jadi jangan ngomong sembarangan..!!!”
            Entah kenapa Anggi terlihat sangat emosi, sementara Windy hanya terdiam ketakutan.
            “Aku denger semua yang kalian omongin barusan, ternyata kalian tuh selama ini cuma mau manfaatin aku?!!”
            “Maafin aku, Zoya..”
            Sambil berkata begitu, kulihat Windy mencoba tersenyum.
            Senyum Windy dan tatapan sinis Anggi, membuatku mual dan tak ingin melihat mereka lagi.

***
            “Kamu kok dari tadi diem?”
            Aku menggeleng.
            “Ada apa, kok gak mau cerita?”
            Aku hanya melihat ke depan. Sungai musi yang membentang luas, dan langit yang mulai menghitam. Saat kulirik jam tanganku, rupanya sudah hampir jam enam.
            “Bentar lagi kayaknya hujan, kita pulang aja yuk?”
            “Zian, kamu bakal ninggalin aku juga?”
            Zian menepuk pundakku.
            “Ada masalah apa? Kok tiba-tiba nanya gitu?”
            “Anggi dan Windy, ternyata mereka cuma mau manfaatin aku. Mereka bukan sahabat aku..”
            Zian terdiam sejenak, lalu memelukku dari belakang.
            “Jadi akhirnya kamu tau sendiri?”
            Aku melepaskan diri dari pelukan Zian.
            “Akhirnya kamu tau juga kalo mereka cuma manfaatin kamu?”
            Aku menatap Zian.
            “Kamu.., tau apa tentang masalah ini?”
            Cukup lama kami berdiaman, kami hanya saling tatap. Aku bingung, bingung dengan apa maksud Zian bertanya seperti tadi.
            “Kamu tau apa? Kenapa kamu nanya seolah sudah tau masalah ini?”
            “Maafin aku, Zoya..”
            “Kenapa? Buat apa minta maaf?”
            “Sebenernya aku juga waktu itu pura-pura cinta sama kamu…”
            
Dua jam berlalu tanpa suara, Zian sibuk menyetir sementara aku hanya melihat keluar jendela. Jalanan basah, hujan mengguyur deras menambah dinginnya suasana di antara kami, pasangan yang ternyata melalui kebersamaan di atas kemunafikan. Namun sekarang semuanya sudah berakhir, meskipun kuakui aku tidak mau kehilangan Zian.
            “Bentar lagi kita nyampe..”
            Terdengar Zian mulai mengajakku bicara, tapi aku hanya diam. Rasanya aku harus mulai membencinya, aku tidak mau banyak bicara lagi dengannya.
            “Udah malem, aku takut kamu dimarah orang rumah baru pulang jam segini..”
            Zian menepikan mobil tepat di depan rumahku. Aku langsung keluar dari mobil tanpa bicara sedikitpun, namun ia langsung ikut turun dan menghampiriku.
            Ia meraih lenganku dengan kuat dan memaksaku berbalik menghadapnya. Di bawah derasnya hujan ia mulai berkata.
            Aku tertunduk sambil mendengar ucapannya, aku tidak mau menatapnya. Ia mulai menggenggam kedua lenganku.
            “Maafin aku, aku memang udah ngebohongin kamu. Awalnya tugas aku cuma ngebantu buat balas dendam karna Anggi dan Rinka itu memang sepupu aku, Anggi malah punya rencana jahat, tapi jujur aja aku empati sama kamu..”
            Aku tersenyum mendengar ucapannya, kalimat itu sangat manis terdengar di telingaku.
            “Zoya, yang aku rasain sekarang aku tuh sayang sama kamu. Aku gak bakal tega jahatin kamu..”
            Aku langsung melepas genggamannya dari tanganku. Aku mulai mendongak menatapnya.
            “Aku tuh sayang sama kamu, Zian. Semenjak kamu ada di hidup aku, aku tuh ngerasain lagi rasanya bahagia. Sayangnya, sekarang gak ada lagi yang mau aku percaya di dunia ini..”
            Tatapan mata Zian tak berubah, masih nampak tulus seperti biasanya. Rasanya sulit sekali untuk mengakui bahwa semua yang dilakukannya kepadaku selama ini adalah dusta.
            Aku langsung berbalik dan berjalan meninggalkannya. Namun ia langsung mengejar dan menarikku ke hadapannya lagi.
            “Aku beneran sayang sama kamu. Aku gak mau hubungan kita berakhir, justru aku maunya kita mulai dari awal lagi..”
            “Lepasin. Aku gak mau gara-gara kehujanan dengerin omongan kamu besok aku jadi gak bisa kuliah..”
            Zian cukup lama diam. Namun tiba-tiba ia langsung mendekap tubuhku dari belakang.
            Aku tidak mendengar apapun kali ini, selain suara derasnya hujan.
            Aku tidak merasa kedinginan sama sekali. Dekapan itu membuatku merasa hangat dan damai, rasanya aku tidak mau lepas dari dekapan itu. Namun aku tahu aku tidak perlu merasa seperti itu, aku tidak bisa lagi bersamanya karena aku tidak harus mempercayainya lagi. Sekarang aku hanya bisa menangis, aku harus mengakhirinya sampai disini.
            “Zoya….!!!”
            Zian langsung melepaskanku.
            Aku tahu betul suara itu, yang barusan memanggilku adalah ayah angkatku.
            Aku menoleh, papa kelihatan sangat marah. Ia langsung menghampiri kami.
            “Zoya, masuk…!!”
            Papa menatap Zian dengan marah.
            “Papa, dia cuma ngenterin aku pulang aja..”
            Kelihatan sekali papa tidak mau mendengar omonganku sama sekali, ia langsung mendorongku. Lalu kembali menatap Zian.
            “Pasti kamu yang sudah membawa dampak buruk ke anak saya, pantesan dia tiap hari pulang telat. Kamu ajak keluyuran kemana dia sampai malam begini…?!!”
            “Maafin saya, Om. Sebenernya, saya ini pacarnya Zoya..”
            “Omong kosong. Pokoknya mulai detik ini, kamu jauhin anak saya..!!”

***
            Pagi ini, rasanya aku kembali ke dunia nyata lagi. Rasanya kemarin adalah akhir dari semua mimpi, mimpi untuk hidup bahagia dengan memiliki sahabat, keluarga dan kekasih.
            Seharusnya aku sudah terbiasa lagi dengan keadaan seperti sekarang. Dari awal aku memiliki hidup yang tidak beruntung seperti orang lain. Ketika masih bayi, aku diadopsi oleh keluarga pejabat yang tidak bisa memiliki keturunan. Aku akan mewarisi seluruh hartanya, tapi aku merasa tidak akan pernah mendapat kebahagiaan diatas itu semua. Aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari mereka seutuhnya, mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Meskipun dari awal semua orang di rumah bilang bahwa orangtuaku kandungku sudah meninggal, aku merasa desas-desus yang mengatakan  bahwa aku cuma anak yang sengaja dijual oleh orangtua kandungku adalah faktanya.
            Hari ini aku mengikuti pelajaran di kelas tanpa gairah sama sekali. Sedari tadi aku menunggu waktunya pulang. Seperti hari Rabu biasanya, kelas kami pulang paling telat dari kelas-kelas lain.
            Aku langsung berjalan diantara yang lain keluar dari kelas. Kulihat di depan, Windy dengan takut-takut mencuri pandang kearahku. Begitu kulihat, ia langsung membalikkan wajahnya dan menggamit lengan Anggi dengan kuat.
            Di luar kelas, suasana nampak lebih ramai dari biasanya.           
“Semua, coba lihat di mading ada berita heboh…!!!!”
            Aku melihat kesana-kemari dengan bingung. Semua orang nampak sibuk bergosip sambil berbisik-bisik, dan yang paling mengherankan lagi mereka semua mendelik aneh kearahku.
            “Kamu kan yang namanya Zoya?”
            Seorang gadis yang tak kukenal menghampiriku.
            “Kamu pasti belum lihat mading ya? Sana buruan, konfirmasi kebenarannya..”
            Tentu saja yang di pikiranku saat ini adalah ada orang yang menulis tentangku di mading. Tanpa buang waktu aku langsung berlari menuju mading kampus.
            Disana ramai sekali, begitu aku datang semuanya langsung menatapku dengan tatapan yang sangat tak bersahabat. Namun saat aku melihat ke arah mading, Zian sedang berdiri di sana sambil merobek-robek karton.
            “Apa yang mereka tulis tentang aku?”
            Aku langsung menghampiri Zian.
            Zian langsung berbalik, ia nampak kaget.
            “Mereka nulis apa tentang aku?”
            Zian menatapku.
            “Syukurlah kalo kamu belum baca, ini cuma gossip gak penting yang gak jelas siapa sumbernya dan kamu gak perlu baca..”
            Aku langsung merebut dan mengumpulkan sobekan-sobekan karton yang tergeletak di lantai. Zian langsung saja mendekapku dengan paksa, mencoba menghalangiku untuk melihat apa yang baru saja ia sobek.
            “Lepasin. Kamu pikir aku gadis bodoh yang akan ngebiarin aja semua orang ngeliatin aku dengan tatapan kayak itu..??!!”
            Aku berusaha melepaskan diri, namun ia semakin menahanku dengan keras.
            Langsung saja terdengar banyak suara menyorakiku. Apa yang mereka bicarakan sangat tidak jelas. Yang kudengar adalah sebutan pembunuh, ada yang bilang aku pembunuh.
            “Kamu gak perlu dengerin mereka, tolong jangan dengerin apa kata mereka…”
            Zian tak mau melepasku. Hatiku benar-benar terasa sakit luar biasa saat ini. Air mataku tak tertahankan lagi untuk keluar. Aku menangis, aku menangis di dalam dekapan Zian.
           
            Dua jam berlalu tanpa suara.Yang terdengar hanyalah derasnya hujan. Kami berdua berada di tempat biasa, di atas Jembatan Ampera. Zian berdiri sambil memayungiku, padahal tubuhnya sendiri kebasahan.
            “Kenapa kamu pura-pura ngebelain aku kayak gini?”
            Aku memutuskan untuk mengajaknya bicara.
            “Aku gak keberatan kalo kamu masih belum mau percaya sama aku..”
            Aku mengalihkan pandanganku dari luasnya Sungai Musi. Aku tatap Zian sambil tersenyum.
            “Kenapa tadi kamu ada di kampus aku? Bukannya hari ini kamu kuliah sampe sore”
            Zian menunduk.
            “Aku bolos kuliah, sejak kejadian kemaren aku kepikiran kamu terus. Aku gak bisa tidur nyenyak, aku gak bisa fokus ngelakuin apapun seperti biasa..”
            “Kamu mau aku percaya? Bukannya kamu yang ngelakuin, trus kamu nunggu di sana sampe aku liat kamu ngerobek-robek?”
            Zian langsung mendongak lagi, ia menatapku. Kemudian ia menggeleng dengan tatapan kecewa.
            “Buat apa aku ngelakuin itu?”
            “Buat apa dari awal kamu nutupin kalo kalian bertiga itu sepupuan? Buat apa lagi kalo bukan karna punya niat jahat pengen balas dendam?”
            “Zoya, aku tuh sayang sama kamu..”
            “Buat apa lagi kalo bukan mau merubah hidup aku jadi mimpi buruk, yang lebih buruk lagi dari sebelumnya?”
            Air mataku mengalir lagi.
            “Maafin aku, Zoya..”
            “Dari awal harusnya kamu tau kalo di sini kecelakaan itu terjadi, tapi kamu selalu bawa aku ke sini?”
            Mendengar itu, Zian menunduk lagi.
Cukup lama kami berdiaman.
“Aku tau di sini kalian kecelakaan. Aku sengaja supaya kamu cerita ke aku kejadian kecelakaan yang sebenarnya terjadi saat itu, tapi sampai saat ini aku gak denger kamu cerita..”
“Oke. Kejadian itu terjadi lewat tengah malam waktu hujan deras tanpa ada saksi yang jelas, dan aku stress berat karna orangtua aku bertengkar. Aku nabrak menara jembatan. Setelah kecelakaan tunggal itu terjadi barulah ada mobil yang lewat. Kalo seandainya malam itu aku gak maksa Rinka nginep di rumah aku, kami gak kabur dari rumah, mungkin Rinka gak bakal ninggalin aku kayak gini…”
Zian menggerakkan lengannya, kemudian mengusap-usap punggungku.
“Aku percaya kamu kok..” ucapnya sambil tersenyum.
Air mataku tak berhenti menetes. Aku jadi merasakan lagi rasa ketakutanku malam itu. Darah yang berlumuran, tubuh Rinka yang tergeletak sekarat, dan rintihannya memanggil namaku di bawah derasnya hujan...
“Kalian gak pernah tau gimana rasanya jadi aku. Aku tuh gak mungkin bunuh sahabat aku sendiri...”
Seketika itu juga air hujan langsung menghujamku dengan deras. Zian melepaskan payungnya, ia kini mendekapku dengan erat. Ia dekap tubuhku yang mulai gemetar. Aku menangis terisak-isak dalam dekapannya.
“Seandainya hujan bisa bicara, dialah satu-satunya saksi kecelakaan malam itu..”
“Aku percaya kamu, Zoya. Maafin aku karna kamu jadi teringet lagi kejadian itu. Maafin aku..”
“Kalian tuh gak tau sama sekali tapi cuma menghakimi. Aku mau kok dipenjara karna memang aku yang udah buat Rinka meninggal, tapi kenapa polisi gak nahan aku? Seharusnya aku dihukum biar kalian puas..
“Lupain itu semua, Zoya. Aku mohon, lupain itu semua karena aku gak mau kamu terus-terusan terluka kayak gini..”
Mendengar kalimat yang diucapkan Zian itu membuatku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya terdiam, terhanyut akan suasana. Langit yang begitu gelap, menelan suasana sore ini. Semua suara menghilang dikalahkan hujan. Yang bisa kudengar saat ini hanyalah suara jatuhan hujan menghujam bumi.
Tiba-tiba tubuhku terlepas dari Zian. Seseorang menarik tubuh Zian dengan paksa dan langsung mendorongnya hingga jatuh.
“Sudah saya peringatkan kamu untuk tidak mendekati Zoya lagi, tapi apa yang kamu lakukan?!!”
Aku langsung menghampiri Zian.
“Papa, apa-apaan sih ini?!!!”
“Zoya, ikut Pak Bayu sekarang ke mobil. Biar papa kasih pelajaran dulu ke anak brengsek ini..!!”
Aku sangat kaget dengan kedatangan papa dan supirku dengan tiba-tiba. Bagaimana bisa mereka tahu kami sedang berada disini?
Aku mencoba menghentikan papa, ia nampak kesetanan dan terus memukuli Zian sementara Zian tak membalas sama sekali. Beberapa kendaraan yang lewat nampak ingin berhenti dan menyaksikan kami lebih lama. Arus lalu lintas mulai macet karena kekacauan ini.
“Papa, stop. Tolong jangan pukul Zian pa, tolong jangan pukul dia..!!”
Papa tak mendengarkanku sama sekali sementara Pak Bayu langsung menghampiri dan menarikku.
“Neng Zoya, ayo ikut bapak ke mobil. Kalo lama-lama kehujanan begini nanti neng bisa sakit..”
Aku meronta-ronta mencoba melepaskan diri.
“Pak Bayu tolong hentikan papa. Kita gak perlu ‘kan bertindak kasar kayak gini?!!”
Akhirnya berhasil melepaskan diri, aku langsung menghampiri papa. Kuberanikan diri untuk menarik-narik tangannya dan memaksanya berhenti.
Papa akhirnya berhenti. Aku langsung menghambur dan memeluk Zian.
Zian menyeka wajahnya yang mulai berdarah. Ia menatapku sambil tersenyum.
“Hari ini terakhir saya peringatkan kamu. Kalau sampai terjadi lagi, kamu bawa kabur lagi anak saya, akan saya tuntut kamu..!!”
Mendengar itu, aku langsung berdiri menghadap papa.
“Papa tuh keterlaluan ya. Buat apa sih ngebesar-besarin masalah kayak gini?”
“Kamu berani melawan papa?!”
“Iya. Aku berani untuk bilang kalau aku sudah muak dengan tingkah papa dan mama selama ini, kalian gak pernah memperlakukan aku sebagai anak tapi selalu ngekang aku..!!!”
“Zoya, saya ini orang yang sudah memungut dan membesarkan kamu. Begini cara kamu membalas dengan berani melawan saya?!!”
Aku tersenyum mendengar kalimat itu, namun air mataku mengalir.
“Aku gak pernah minta itu semua. Yang selalu aku pinta pada Tuhan, aku ingin cepat-cepat mengakhiri ini semua..”
Selesai berpesan seperti itu, aku berbalik dan melangkahkan kaki ke tepi jembatan.Aku tahu mereka kaget melihat apa yang aku lakukan. Mereka berlari menghampiriku, namun terlambat menghentikanku.
Sebelum tubuhku menghujam dan bercampur dengan air, aku masih bisa mendengar teriakan-teriakan mereka. Mereka memanggil-manggil namaku. Mereka terus berteriak, hingga aku tidak bisa mendengar suara mereka lagi. Hingga aku tidak tahu air akan membawaku kemana dan aku mulai tidak bisa bernafas.
Sebelum benar-benar melakukannya, aku pernah menghayal untuk melompat dan menjatuhkan tubuhku ke air seperti ini. Aku ingin air menenggelamkanku. Aku selalu ingin, sampai aku benar-benar bisa merasakan berhenti bernafas seperti yang dirasakan Rinka saat itu. Aku ingin merasakan penderitaan yang ia rasakan.

***
“Zoya..?”
Aku mulai membuka mataku lebar-lebar, rasanya badanku pegal sekali. Nampaknya aku baru terbangun dari tidur yang cukup panjang. Kulihat sekeliling nampaknya aku sedang berada di kamarku yang rupanya telah dilengkapi dengan infus dan peralatan Rumah Sakit. Kurasa aku tidak perlu bertanya aku sedang dimana seperti yang dilakukan di sinetron-sinetron televisi saat terbangun dari koma.
“Zoya, syukurlah kamu sudah sadar nak..”
Rupanya mama yang sedang menungguiku. Nampaknya ia barusan sedang menangis, ya siapa lagi karena hanya dia yang sekarang ada bersamaku disini. Aku terbangun karena mendengar suara tangisannya.
“Aku pikir aku sudah mati tenggelam..”
“Kamu bicara apa? Mama gak mau kehilangan anak satu-satunya...”
Entah kenapa, rasanya baru kali ini aku merasa dikhawatirkan seperti ini. Rasanya aneh, tapi aku bahagia.
Tiba-tiba saja pintu terbuka.
“Zoya sudah sadar?”
Aku terkaget.
Anggi dan Windy masuk, mereka juga nampak kaget melihatku menatap mereka.
Windy langsung berlari dan menghambur memelukku.
“Zoya, tolong maafin aku. Maafin aku Zoya..”
Aku terdiam. Rasanya ini berlebihan sekali.
Anggi ikut-ikutan menghampiriku. Ia langsung menyodorkan tangan.
“Maafin aku. Aku yang ngelakuin itu semua, aku nyuruh Zian buat ngecewain kamu, nyuruh orang buat nyebarin gossip itu di mading. Aku udah punya rencana yang jahat buat balas dendam. Tapi sekarang aku udah sadar kalo itu gak ada gunanya, aku cuma ngerasain emosi yang berlebihan..
Aku menatapnya cukup lama. Lalu sambil tersenyum, aku menerima uluran tangannya.
“Aku pikir, Rinka gak akan tenang kalo liat sahabatnya dijahatin. Maafin aku, yang udah ngelakuin ini semua ke kamu..”
Tragedi dibawah derasnya hujan tinggallah masa lalu.
Mulai detik inilah babak baru kehidupanku dimulai. Aku memiliki sahabat, keluarga, dan kekasih yang menyayangiku. Dan kali ini bukan mimpi, tapi kenyataan.

TAMAT        



           
           


            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar