Sekitar bulan September
tahun 2010, semua terlihat gembira begitu peresmian mahasiswa baru dan
pembagian kelas telah selesai. Aku tidak peduli di mana aku ditempatkan, yang
jelas aku datang ke sini untuk menimba ilmu. Aku tertegun sejenak sebelum masuk
ke kelasku, entah orang-orang seperti apa yang akan kutemui di sini setiap hari.
“Zoya…?”
Aku menoleh ke belakang.
“Kita ketemu lagi di bangku kuliah…!!”
Gadis itu langsung memelukku, ia tampak senang sekali.
Aku mengenalinya, dulu dia juga kutemui setiap hari di SMA Negeri 1 Palembang.
Anggi melepas pelukannya. Ia tertawa.
Aku lalu bergegas menempati bangku paling depan. Anggi
mengikutiku, ia langsung menempati bangku di belakangku.
“Gak nyangka kita bakal satu kelas lagi?”
Aku menoleh ke belakang.
Anggi lalu mendekatkan wajahnya ke telingaku.
“Ini takdir namanya. Mungkin dengan ketemu lagi di sini
kita bisa lebih deket dibanding sebelumnya?”
Sambil menjauhkan wajahnya lagi, ia kembali tertawa.
“Anggiiiii……!!!”
Kami berdua menoleh. Seorang gadis berlari mendekati
kami.
Anggi langsung bersorak sambil bangkit dari duduknya.
Gadis tadi langsung merangkul Anggi.
“Kita ketemu lagi, kamu apa kabar?!”
“Baek, Nggi…”
Mereka saling melepaskan pelukan. Anggi lalu melihat
ke arahku.
“Eh, kenalin. Ini teman SMA, namanya Zoya..”
Gadis itu langsung mengulurkan tangan padaku.
“Windy, mari berteman….!!”
Aku berdiri dan menjabat tangannya.
“Zoya..,” jawabku sambil tersenyum.
“Zoya, Windy ini teman sekelasku waktu SMP. Orangnya asik
banget…!!”
Anggi dan Windy tertawa.
Rasanya senang sekali. Di hari pertama perkuliahan di Politeknik
Negeri Sriwijaya, aku langsung mendapatkan teman. Tapi entah kenapa, aku masih
merasa sendiri….
***
“Zoya, kamu nggak apa-apa kan…?”
“Rin…”
“Luka kamu gak parah kan, kenapa
kamu nangis…?”
Ini hari terakhir
aku melihat Rinka,
hari terakhir aku bisa bersama
Rinka….
“Bangun….!!”
Aku membuka mata perlahan.
Aku masih memimpikan hal itu…
“Mama, sekarang
jam berapa?”
“Masih nanya? Lekas mandi sana…!!!”
Aku langsung bangkit dan turun dari ranjang.
Aku rindu menyetir sendiri. Sebenarnya bisa saja aku
meminta supirku agar aku yang menyetir, tapi dia pasti tidak memperbolehkan.
Pak Bayu menyayangiku, ia pasti takut kecelakaan itu terulang lagi. Meskipun
aku tidak mendapat luka yang serius, setidaknya kecelakaan yang kuperbuat sudah
memakan korban.
“Neng Zoya, kita sudah sampai di kampus..”
Aku membuka mataku.
“Neng tidur jam berapa semalam? Jangan dibiasakan tidur
larut biar paginya gak ngantuk…”
“Zoya barusan bukannya tidur kok Pak, cuma merem aja..”
Aku tertawa, lalu langsung keluar dari mobil.
“Zoya….!!!”
Tiba-tiba Windy datang dan berlari ke arahku.
Aku langsung menggamit tangannya, lalu kami berjalan
berdua menuju kelas.
Sampai hari ini, mungkin sudah masuk bulan ketiga sejak
pertama kali aku mengenal Windy. Kami berdua sudah cukup akrab. Begitu pula dengan
Anggi, meskipun saat SMA kami tidak begitu dekat, sekarang kami sangat dekat.
Aku bahagia bisa menemukan sahabat lagi, tapi tentu saja sahabat yang telah
pergi meninggalkanku, adalah orang yang paling kusayangi dan tak akan pernah
terganti.
Setiap
istirahat, aku selalu mengajak mereka ke kantin kampus dan makan bersama.
“Asyik, hari ini ditraktir Zoya lagi….!!”
“Bukannya tiap hari kita ditraktir?” seloroh Anggi.
Windy tertawa.
“Zoya,
kamu mau kenalan dengan temanku nggak?”
Aku
menatap Anggi.
“Teman
kamu? Siapa?”
“Bukan
anak sini, dia kuliah di MDP. Mau nggak?”
Anggi
lalu mengambil ponsel dari sakunya.
“Orangnya
lumayanlah, nih ada fotonya kalo mau liat…”
“Aku
juga mau liat dong…!” seru Windy.
Anggi
lalu menyerahkan ponselnya kepadaku. Windy langsung mendekatkan tubuhnya. Aku
lihat wajah pemuda yang sedang tersenyum di layar, di sebelahnya Anggi tersenyum
sambil mengacungkan kedua jempol.
“Kenapa
kalian bisa kenal?” tanyaku.
“Dari
facebook lah, tapi dia juga temen kakakku. Temen satu kampus..”
“Aku
juga mau dong. Ada lagi gak kenalan kamu yang keren?”
Windy
langsung menarik ponsel Anggi dari tanganku.
“Kalo
kamu mau, aku bisa minta dia datang ke sini pulang nanti. Gimana?”
***
“Yang
mana?”
“Itu
dia…!!”
Anggi
langsung menarik dan membawaku lari. Windy mengejar kami dari belakang.
“Zian,
ini Zoya…!!”
Pemuda
yang sedang bersandar di mobil
sedannya,
tersenyum kepadaku. Rasanya baru kali ini jantungku berdegup sangat kencang,
sangat kencang….
Tiga
bulan berlalu.
“Lain
kali kita jalan-jalan keluar kota yuk?”
“Wah,
pasti asyik tuh…”
“Enaknya
kemana?”
“Ke
hatimu, hehehe...”
Zian
langsung mengacak rambutku. Ini memang seringkali ia lakukan kalau sedang
merasa gemas padaku. Aku bahagia sekali bisa bersama Zian, bisa bersama
sahabatku, mereka kado terindah yang Tuhan kirimkan untukku.
Jalanan
yang ramai dan berisik dengan suara kendaraan berlalu-lalang, debu yang
beterbangan, asap kendaraan, tidak satupun mengganggu kebersamaan kami disini. Setiap
hari kami selalu datang ke tempat ini, Jembatan Ampera.
“Kamu
gak dimarah orangtua kamu, jam segini belum pulang?”
Aku
melirik jam di tanganku.
“Gak
apa kan, hampir tiap hari kita pulang sore?”
Zian
tersenyum.
“Iya,
tapi aku khawatir kamu bakal dimarah..”
Aku
meraih sesuatu dari dalam tasku.
“Kamu
tau ini tanggal berapa?”
Zian
menggeleng.
Agak
kecewa, dia rupanya tidak ingat hari ini tepat tiga bulan kami jadian.
“Beneran
gak tau?”
Zian
mendekatkan wajahnya.
“Memangnya
kenapa? Ada yang ulang tahun hari ini?”
“Gak
apa, coba kamu ulurin tangan kamu..”
Zian
menatapku heran, kemudian mengulurkan tangan.
Aku
mengeluarkan benda yang tadi kuraih dari dalam tas, lalu kuletakkan di atas
telapak tangan Zian.
“Ini
apaan?”
“Hadiah
buat kamu,” jawabku.
Zian
langsung membuka kotak kecil yang kuletakkan di tangannya.
“Itu
kalung buat kita berdua, ada inisial Z. Untuk Zian, dan Zoya..”
Zian
mengeluarkan kalung itu. Aku langsung mengambil satu dari kalung itu dan
memakaikannya ke leher Zian.
Zian
nampak bingung.
“Happy
anniversary, Sayang…” kataku sambil tersenyum.
***
“Pagi Zoya….”
“Pagi..”
Seseorang menyapaku ketika aku memasuki kelas. Aku tidak
menemukan Anggi dan Windy di sana.
“Ada yang lihat Windy sama Anggi?”
“Gak
tau, tapi mereka tadi udah dateng kok..”
Aku langsung mencari. Ternyata mereka berdua sedang asyik
ngobrol.
“Dari dulu dia itu tipe orang yang loyal, keliatannya sih
yang mau temenan sama dia paling cuma mau manfaatin aja. Soalnya dia tuh
orangnya pendiem banget kan, gak asik..”
“Dimanfaatin? Itu bukannya bodoh namanya?”
“Memang bodoh, dia juga gak nyadar kalau kita ngebodohin dia..”
“Itu bagus kan? Kita bisa pinjem duitnya kalau kita bilang
lagi kepepet, rasanya dia gak bakal minta kita balikin..”
“Bener banget. Dia kan keliatan banget susah dapet temen
jadi dia bakal ngelakuin apapun demi temennya..”
“Kamu inget dia bilang kalau nanti bakal dibeliin mobil? Kita jadiin supir aja yuk...”
“Iya, tapi mungkin dia takut untuk nyetir lagi. Soalnya
dulu dia‘kan pernah sengaja nabrak sahabatnya sendiri dengan mobil? Tau gak kejadian kecelakaan
di Ampera tahun 2008 dulu?”
Windy menggeleng. “Masa sih?”
“Gosip yang beredar, dia sengaja bawa korban ke situ trus
nyuruh dia turun lalu ditabrak. Tapi setelahnya dia malah nabrak salah satu
menara jembatan..”
“Iya
juga sih, banyak yang bilang kita mesti hati-hati sama orang yang terlalu
pendiem..”
“Ya, tapi kabarnya sih dia dibebasin karna kurang cukup
bukti dan saksi. Jadi dianggap itu kecelakaan tunggal dan si korban sebenarnya
ada di dalam mobil yang sama tapi kepental keluar mobil karna nabrak..”
“Aku bukan pembunuh..”
Anggi dan Windy menoleh kebelakang secara bersamaan.
“Siapa yang bilang aku pembunuh? Aku bukan pembunuh…!!”
“Zoya…?”
Keduanya nampak kaget.
Windy nampak ketakutan. Ia langsung menyembunyikan
tubuhnya di balik tubuh Anggi.
“Semua orang juga bilang kalau kamu sendiri yang sengaja nabrak
dia pas dia keluar dari mobil. Kamu udah bunuh Rinka, sahabat kamu sendiri..!!!”
Anggi sedikit berteriak.
“Kalian tuh
gak
tau apa yang terjadi, jadi jangan ngomong
sembarangan..!!!”
Entah kenapa Anggi terlihat sangat emosi, sementara Windy
hanya terdiam ketakutan.
“Aku denger
semua yang kalian omongin
barusan, ternyata kalian tuh
selama
ini cuma
mau
manfaatin aku?!!”
“Maafin
aku, Zoya..”
Sambil berkata begitu, kulihat Windy mencoba tersenyum.
Senyum Windy dan tatapan sinis Anggi, membuatku mual dan
tak ingin melihat mereka lagi.
***
“Kamu kok dari tadi diem?”
Aku menggeleng.
“Ada apa, kok gak mau cerita?”
Aku hanya melihat ke depan. Sungai musi yang membentang
luas, dan langit yang mulai menghitam. Saat kulirik jam tanganku, rupanya sudah
hampir jam enam.
“Bentar lagi kayaknya hujan, kita pulang aja yuk?”
“Zian, kamu bakal ninggalin aku juga?”
Zian menepuk pundakku.
“Ada masalah apa? Kok
tiba-tiba nanya gitu?”
“Anggi dan Windy, ternyata mereka cuma mau manfaatin aku.
Mereka bukan sahabat aku..”
Zian terdiam sejenak, lalu memelukku dari belakang.
“Jadi akhirnya kamu tau sendiri?”
Aku melepaskan diri dari pelukan Zian.
“Akhirnya kamu tau juga kalo mereka cuma manfaatin kamu?”
Aku menatap Zian.
“Kamu.., tau apa tentang masalah ini?”
Cukup lama kami berdiaman, kami hanya saling tatap. Aku
bingung, bingung dengan apa maksud Zian bertanya seperti tadi.
“Kamu tau apa? Kenapa kamu nanya seolah sudah tau masalah ini?”
“Maafin
aku, Zoya..”
“Kenapa? Buat apa minta maaf?”
“Sebenernya
aku juga waktu itu pura-pura
cinta sama
kamu…”
Dua jam berlalu tanpa suara, Zian sibuk menyetir
sementara aku hanya melihat keluar jendela. Jalanan basah, hujan mengguyur
deras menambah dinginnya suasana di antara kami, pasangan yang ternyata melalui kebersamaan di atas
kemunafikan. Namun sekarang semuanya sudah berakhir, meskipun kuakui aku tidak
mau kehilangan Zian.
“Bentar lagi kita nyampe..”
Terdengar Zian mulai mengajakku bicara, tapi aku hanya
diam. Rasanya aku harus mulai membencinya, aku tidak mau banyak bicara lagi
dengannya.
“Udah malem, aku takut kamu dimarah orang rumah baru
pulang jam segini..”
Zian menepikan mobil tepat di depan rumahku. Aku langsung
keluar dari mobil tanpa bicara sedikitpun, namun ia langsung ikut turun dan
menghampiriku.
Ia meraih lenganku dengan kuat dan memaksaku berbalik
menghadapnya. Di bawah derasnya hujan ia mulai berkata.
Aku tertunduk sambil mendengar ucapannya, aku tidak mau
menatapnya. Ia mulai menggenggam kedua lenganku.
“Maafin aku, aku memang udah ngebohongin kamu. Awalnya
tugas aku cuma ngebantu buat balas dendam karna Anggi dan Rinka itu memang
sepupu aku, Anggi malah punya
rencana jahat, tapi jujur aja aku empati sama kamu..”
Aku tersenyum mendengar ucapannya, kalimat itu sangat
manis terdengar di telingaku.
“Zoya, yang aku rasain sekarang aku tuh sayang sama kamu.
Aku gak bakal tega jahatin kamu..”
Aku langsung melepas genggamannya dari tanganku. Aku
mulai mendongak menatapnya.
“Aku tuh sayang sama kamu, Zian. Semenjak kamu ada
di hidup aku, aku tuh ngerasain lagi rasanya bahagia. Sayangnya, sekarang gak
ada lagi yang mau aku percaya di dunia ini..”
Tatapan mata Zian tak berubah, masih nampak tulus seperti
biasanya. Rasanya sulit sekali untuk mengakui bahwa semua yang dilakukannya
kepadaku selama ini adalah dusta.
Aku langsung berbalik dan berjalan meninggalkannya. Namun
ia langsung mengejar dan menarikku ke hadapannya lagi.
“Aku beneran sayang sama kamu. Aku gak mau hubungan kita
berakhir, justru aku maunya kita mulai dari awal lagi..”
“Lepasin. Aku gak mau gara-gara kehujanan dengerin
omongan kamu besok aku jadi gak bisa kuliah..”
Zian cukup lama diam. Namun tiba-tiba ia langsung
mendekap tubuhku dari belakang.
Aku tidak mendengar apapun kali ini, selain suara
derasnya hujan.
Aku tidak merasa kedinginan sama sekali. Dekapan itu
membuatku merasa hangat dan damai, rasanya aku tidak mau lepas dari dekapan
itu. Namun aku tahu aku tidak perlu merasa seperti itu, aku tidak bisa lagi
bersamanya karena aku tidak harus mempercayainya lagi. Sekarang aku hanya bisa
menangis, aku harus mengakhirinya sampai disini.
“Zoya….!!!”
Zian langsung melepaskanku.
Aku tahu betul suara itu, yang barusan memanggilku adalah
ayah angkatku.
Aku menoleh, papa
kelihatan sangat marah. Ia langsung menghampiri kami.
“Zoya, masuk…!!”
Papa
menatap Zian dengan marah.
“Papa,
dia cuma ngenterin aku pulang aja..”
Kelihatan sekali papa
tidak mau mendengar omonganku sama sekali, ia langsung mendorongku. Lalu kembali menatap Zian.
“Pasti kamu yang sudah membawa dampak buruk ke anak saya,
pantesan dia tiap hari pulang telat. Kamu ajak keluyuran kemana dia sampai
malam begini…?!!”
“Maafin saya, Om. Sebenernya, saya ini pacarnya Zoya..”
“Omong kosong. Pokoknya mulai detik ini, kamu jauhin anak
saya..!!”
***
Pagi ini, rasanya aku kembali ke dunia nyata lagi. Rasanya kemarin adalah akhir dari semua
mimpi, mimpi untuk hidup bahagia dengan memiliki sahabat, keluarga dan kekasih.
Seharusnya aku sudah terbiasa lagi dengan keadaan seperti
sekarang. Dari awal aku memiliki hidup yang tidak beruntung seperti orang lain.
Ketika masih bayi, aku diadopsi oleh keluarga pejabat yang tidak bisa memiliki
keturunan. Aku
akan mewarisi seluruh hartanya, tapi aku merasa tidak akan pernah mendapat
kebahagiaan diatas itu semua. Aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari
mereka seutuhnya, mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Meskipun dari
awal semua orang di rumah bilang bahwa orangtuaku kandungku sudah meninggal, aku
merasa desas-desus yang mengatakan bahwa
aku cuma anak yang sengaja dijual oleh orangtua kandungku adalah faktanya.
Hari ini aku mengikuti pelajaran di kelas tanpa gairah sama sekali. Sedari tadi
aku menunggu waktunya pulang. Seperti hari Rabu biasanya, kelas kami pulang paling telat dari kelas-kelas lain.
Aku langsung berjalan diantara yang lain keluar dari
kelas. Kulihat di depan, Windy dengan takut-takut mencuri pandang kearahku.
Begitu kulihat, ia langsung membalikkan wajahnya dan menggamit lengan Anggi
dengan kuat.
Di luar kelas, suasana nampak lebih ramai dari biasanya.
“Semua,
coba lihat di mading ada berita heboh…!!!!”
Aku melihat kesana-kemari dengan bingung. Semua orang
nampak sibuk bergosip sambil berbisik-bisik, dan yang paling mengherankan lagi
mereka semua mendelik aneh kearahku.
“Kamu kan yang namanya Zoya?”
Seorang gadis yang tak kukenal menghampiriku.
“Kamu pasti belum lihat mading ya? Sana buruan,
konfirmasi kebenarannya..”
Tentu saja yang di pikiranku saat ini adalah ada orang
yang menulis tentangku di mading. Tanpa buang waktu aku langsung berlari menuju
mading kampus.
Disana ramai sekali, begitu aku datang semuanya langsung
menatapku dengan tatapan yang sangat tak bersahabat. Namun saat aku melihat
ke arah mading, Zian sedang berdiri di sana sambil merobek-robek karton.
“Apa yang mereka tulis tentang aku?”
Aku langsung menghampiri Zian.
Zian langsung berbalik, ia nampak kaget.
“Mereka nulis apa tentang aku?”
Zian menatapku.
“Syukurlah kalo kamu belum baca, ini cuma gossip gak
penting yang gak jelas siapa sumbernya dan kamu gak perlu baca..”
Aku langsung merebut dan mengumpulkan sobekan-sobekan karton
yang tergeletak di lantai. Zian langsung saja mendekapku dengan paksa, mencoba
menghalangiku untuk melihat apa yang baru saja ia sobek.
“Lepasin.
Kamu
pikir aku gadis bodoh yang akan ngebiarin aja semua orang ngeliatin aku dengan tatapan kayak
itu..??!!”
Aku berusaha melepaskan diri, namun ia semakin menahanku dengan keras.
Langsung saja terdengar banyak suara menyorakiku. Apa
yang mereka bicarakan sangat tidak jelas. Yang
kudengar adalah sebutan pembunuh, ada
yang bilang aku pembunuh.
“Kamu gak perlu dengerin mereka, tolong jangan dengerin
apa kata mereka…”
Zian tak mau melepasku. Hatiku benar-benar terasa sakit luar
biasa saat ini. Air mataku tak tertahankan lagi untuk keluar. Aku menangis, aku
menangis di dalam dekapan Zian.
Dua jam berlalu tanpa suara.Yang terdengar hanyalah derasnya hujan. Kami berdua berada di tempat biasa, di atas Jembatan Ampera. Zian berdiri sambil memayungiku, padahal tubuhnya sendiri
kebasahan.
“Kenapa
kamu pura-pura ngebelain aku kayak gini?”
Aku memutuskan untuk mengajaknya bicara.
“Aku gak keberatan kalo kamu masih belum mau percaya sama
aku..”
Aku mengalihkan pandanganku dari luasnya Sungai Musi. Aku tatap Zian sambil tersenyum.
“Kenapa tadi kamu ada di kampus aku? Bukannya hari ini
kamu kuliah sampe sore”
Zian menunduk.
“Aku bolos kuliah, sejak kejadian kemaren aku kepikiran
kamu terus. Aku gak bisa tidur nyenyak, aku gak bisa fokus ngelakuin apapun
seperti biasa..”
“Kamu mau aku percaya? Bukannya kamu yang ngelakuin, trus
kamu nunggu di sana sampe aku liat kamu ngerobek-robek?”
Zian langsung mendongak lagi, ia menatapku. Kemudian ia
menggeleng dengan tatapan kecewa.
“Buat apa aku ngelakuin itu?”
“Buat apa dari awal kamu nutupin kalo kalian bertiga itu
sepupuan? Buat apa lagi kalo bukan karna punya niat jahat pengen balas dendam?”
“Zoya, aku tuh sayang sama kamu..”
“Buat apa lagi kalo bukan mau merubah hidup aku jadi
mimpi buruk, yang lebih buruk lagi dari sebelumnya?”
Air mataku mengalir lagi.
“Maafin aku, Zoya..”
“Dari awal harusnya kamu tau kalo di sini kecelakaan itu
terjadi, tapi kamu selalu bawa aku ke sini?”
Mendengar itu, Zian menunduk lagi.
Cukup
lama kami berdiaman.
“Aku
tau di sini kalian kecelakaan. Aku sengaja supaya kamu cerita ke aku kejadian
kecelakaan yang sebenarnya terjadi saat itu, tapi sampai saat ini aku gak
denger kamu cerita..”
“Oke.
Kejadian itu terjadi lewat tengah malam waktu hujan deras tanpa ada saksi yang
jelas, dan aku stress berat karna orangtua aku bertengkar. Aku nabrak menara
jembatan. Setelah kecelakaan tunggal itu terjadi barulah ada mobil yang lewat.
Kalo seandainya malam itu aku gak maksa Rinka nginep di rumah aku, kami gak
kabur dari rumah, mungkin Rinka gak bakal ninggalin aku kayak gini…”
Zian menggerakkan lengannya, kemudian mengusap-usap
punggungku.
“Aku percaya kamu kok..” ucapnya sambil tersenyum.
Air mataku tak berhenti menetes. Aku jadi merasakan lagi
rasa ketakutanku malam itu. Darah yang berlumuran, tubuh Rinka yang tergeletak sekarat, dan rintihannya memanggil namaku di bawah derasnya
hujan...
“Kalian gak pernah tau gimana rasanya jadi aku. Aku tuh
gak mungkin bunuh sahabat aku sendiri...”
Seketika itu juga air hujan langsung menghujamku dengan
deras. Zian melepaskan payungnya, ia kini mendekapku dengan erat. Ia dekap
tubuhku yang mulai gemetar. Aku menangis terisak-isak dalam dekapannya.
“Seandainya hujan bisa bicara, dialah satu-satunya saksi
kecelakaan malam itu..”
“Aku percaya kamu, Zoya. Maafin aku karna kamu jadi
teringet lagi kejadian itu. Maafin aku..”
“Kalian tuh gak tau sama sekali tapi cuma menghakimi. Aku
mau kok dipenjara karna memang aku yang udah buat Rinka meninggal, tapi kenapa polisi
gak nahan aku? Seharusnya aku dihukum biar kalian puas..”
“Lupain itu semua, Zoya. Aku mohon, lupain itu semua
karena aku gak mau kamu terus-terusan terluka kayak gini..”
Mendengar kalimat yang diucapkan Zian itu membuatku tak
bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya terdiam, terhanyut akan suasana. Langit
yang begitu gelap, menelan suasana sore ini. Semua suara menghilang dikalahkan
hujan. Yang bisa kudengar saat ini hanyalah suara jatuhan hujan menghujam bumi.
Tiba-tiba tubuhku terlepas dari Zian. Seseorang menarik
tubuh Zian dengan paksa dan langsung mendorongnya hingga jatuh.
“Sudah saya peringatkan kamu untuk tidak mendekati Zoya
lagi, tapi apa yang kamu lakukan?!!”
Aku langsung menghampiri Zian.
“Papa, apa-apaan sih ini?!!!”
“Zoya, ikut Pak Bayu sekarang ke mobil. Biar papa kasih
pelajaran dulu ke anak brengsek ini..!!”
Aku sangat kaget dengan kedatangan papa dan supirku
dengan tiba-tiba. Bagaimana bisa mereka tahu kami sedang berada disini?
Aku mencoba menghentikan papa, ia nampak kesetanan dan
terus memukuli Zian sementara Zian tak membalas sama sekali. Beberapa kendaraan
yang lewat nampak ingin berhenti dan menyaksikan kami lebih lama. Arus lalu
lintas mulai macet karena kekacauan ini.
“Papa, stop. Tolong jangan pukul Zian pa, tolong jangan
pukul dia..!!”
Papa tak mendengarkanku sama sekali sementara Pak Bayu
langsung menghampiri dan menarikku.
“Neng Zoya, ayo ikut bapak ke mobil. Kalo lama-lama
kehujanan begini nanti neng bisa sakit..”
Aku meronta-ronta mencoba melepaskan diri.
“Pak Bayu tolong hentikan papa. Kita gak perlu ‘kan
bertindak kasar kayak gini?!!”
Akhirnya berhasil melepaskan diri, aku langsung
menghampiri papa. Kuberanikan diri untuk menarik-narik tangannya dan memaksanya
berhenti.
Papa akhirnya berhenti. Aku langsung menghambur dan
memeluk Zian.
Zian menyeka wajahnya yang mulai berdarah. Ia menatapku
sambil tersenyum.
“Hari ini terakhir saya peringatkan kamu. Kalau sampai
terjadi lagi, kamu bawa kabur lagi anak saya, akan saya tuntut kamu..!!”
Mendengar itu, aku langsung berdiri menghadap papa.
“Papa tuh keterlaluan ya. Buat apa sih
ngebesar-besarin masalah kayak gini?”
“Kamu berani melawan papa?!”
“Iya. Aku berani untuk bilang kalau aku sudah muak dengan
tingkah papa dan mama selama ini, kalian gak pernah
memperlakukan aku sebagai anak tapi selalu ngekang aku..!!!”
“Zoya, saya ini orang yang sudah memungut dan membesarkan
kamu. Begini cara kamu membalas dengan berani melawan saya?!!”
Aku tersenyum mendengar kalimat itu, namun air mataku
mengalir.
“Aku gak pernah minta itu semua. Yang selalu aku pinta
pada Tuhan, aku ingin cepat-cepat mengakhiri ini semua..”
Selesai berpesan seperti itu, aku berbalik dan
melangkahkan kaki ke tepi jembatan.Aku tahu mereka kaget melihat apa yang aku
lakukan. Mereka berlari menghampiriku, namun terlambat menghentikanku.
Sebelum tubuhku menghujam dan bercampur dengan air, aku
masih bisa mendengar teriakan-teriakan mereka. Mereka memanggil-manggil namaku.
Mereka terus berteriak, hingga aku tidak bisa mendengar suara mereka lagi.
Hingga aku tidak tahu air akan membawaku kemana dan aku mulai tidak bisa
bernafas.
Sebelum benar-benar melakukannya, aku pernah menghayal
untuk melompat dan menjatuhkan tubuhku ke air seperti ini. Aku
ingin air menenggelamkanku. Aku
selalu ingin, sampai aku benar-benar bisa merasakan berhenti bernafas seperti
yang dirasakan Rinka saat itu. Aku ingin merasakan penderitaan
yang ia rasakan.
***
“Zoya..?”
Aku mulai membuka mataku lebar-lebar, rasanya
badanku pegal sekali. Nampaknya aku baru terbangun dari tidur yang cukup
panjang. Kulihat sekeliling
nampaknya aku sedang berada di kamarku yang rupanya telah dilengkapi dengan
infus dan peralatan Rumah Sakit. Kurasa aku tidak perlu bertanya aku sedang
dimana seperti yang dilakukan di sinetron-sinetron televisi saat terbangun dari
koma.
“Zoya, syukurlah kamu sudah sadar nak..”
Rupanya mama yang sedang menungguiku. Nampaknya ia
barusan sedang menangis, ya siapa lagi karena hanya dia yang sekarang ada
bersamaku disini. Aku terbangun karena mendengar suara tangisannya.
“Aku pikir aku sudah mati tenggelam..”
“Kamu bicara apa? Mama gak mau kehilangan anak
satu-satunya...”
Entah kenapa, rasanya baru kali ini aku merasa
dikhawatirkan seperti ini. Rasanya aneh, tapi aku bahagia.
Tiba-tiba saja pintu terbuka.
“Zoya sudah sadar?”
Aku terkaget.
Anggi dan Windy masuk, mereka juga nampak kaget melihatku menatap
mereka.
Windy langsung berlari dan menghambur memelukku.
“Zoya, tolong maafin aku. Maafin aku Zoya..”
Aku terdiam. Rasanya ini berlebihan sekali.
Anggi ikut-ikutan menghampiriku. Ia langsung menyodorkan
tangan.
“Maafin aku. Aku yang ngelakuin itu
semua, aku nyuruh Zian buat ngecewain kamu, nyuruh orang buat nyebarin gossip
itu di mading. Aku udah punya rencana yang jahat buat balas dendam. Tapi
sekarang aku udah sadar kalo itu gak ada gunanya, aku cuma ngerasain emosi yang
berlebihan..”
Aku menatapnya cukup lama. Lalu sambil tersenyum, aku
menerima uluran tangannya.
“Aku pikir, Rinka gak akan tenang kalo liat sahabatnya dijahatin. Maafin aku, yang udah ngelakuin ini semua ke kamu..”
Tragedi dibawah derasnya hujan tinggallah masa lalu.
Mulai detik inilah babak baru kehidupanku dimulai. Aku
memiliki sahabat, keluarga, dan kekasih yang menyayangiku. Dan kali ini bukan
mimpi, tapi kenyataan.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar