“Pulangnya
jangan kelewat malem sayang..”
Jonas tertegun sebentar. Tak
menjawab. Hatinya langsung leleh setiap Gissa mendekap tubuhnya erat, seolah
takut kehilangan dirinya. Tapi ia selalu memilih diam setiap merasakan itu.
Jonas hanya menjawab dengan anggukan
pelan.
Perlahan Gissa melepas dekapannya
dari Jonas dan turun dari mobil. Ia berdiri sebentar sebelum menutup pintu.
Tersenyum lebar.
Gissa menggeleng. “Hmm, I love you
sayang..”
Jonas tertawa. “Oke, oke. Gue
buru-buru nih,” jawabnya.
Gissa menutup pintu. Ia mulai
melambaikan tangannya pelan kepada Jonas yang mulai melajukan mobil.
Tiba
di rumah, Gissa langsung disambut dengan tatapan sinis dari ibu tirinya,
Pinkan.
“Dari
mana lagi?”
“Jalan
sama pacar lah,” jawab Gissa cuek sambil berlalu melewati Pinkan.
“Eh,
tunggu,” kata Pinkan, menghentikan langkah Gissa dengan menarik tangan gadis
itu. “Kunci mobil mana?”
“Mama
apa-apaan sih? Itu mobil juga dibeliin buat Gissa, kok mama yang sewot?”
“Iya,
memang buat kamu. Tapi bukan buat pacar kamu!”
Gissa
tak menjawab. Ia langsung melepaskan tangannya dari genggaman Pinkan dan
berlari menaiki tangga.
Pinkan
yang sudah naik pitam terus berteriak-teriak memanggil Gissa.
***
Gaduh,
begitulah keadaan kelas IX.A setiap gurunya tidak masuk. Gissa menidurkan
kepalanya ke meja, nampak lesu. Matanya jauh menerawang keluar melalui jendela
tepat disebelahnya.
“Mikirin
Jonas?”
Gissa
menyadari kehadiran Lola, namun ia malas untuk menengok.
“Udahlah,
banyak cowok lain yang ‘waw’ juga. Pacar lo gak harus Jonas kan?” Lola duduk
disamping Gissa. Ia menepuk-nepuk bahu gadis itu.
“Mesti
brapa kali lagi sih gue ngomong?” Gissa mulai bicara. “Gue capek, capek
berdebat sama lo. Capek berdebat sama orang rumah. Ini hidup gue, gue yang
jalanin.”
“BRAAKKK!”
Lola
menghantam meja dengan tinjunya. Semua yang ada diruangan itu langsung kaget
dan bertanya ada apa. Tidak Gissa, ia memilih diam.
“Tapi
buat cinta sama dia, lo gak pernah capek?!” Lola berteriak kali ini. Kecewa.
“Oke, kita juga gak akan pernah capek ngingetin lo untuk ninggalin dia. Sampe
lo bener-bener nyadar!”
Gissa
terdiam untuk beberapa saat.
“Udah
selesai lo ngomong?”
Lola
tak menjawab pertanyaan Gissa. Gadis itu langsung bangkit dari duduknya,
melangkah cepat menuju pintu dan keluar.
***
Gissa masuk ke mobil. “Hei sayang,
gimana kuliahnya?” sapanya lembut sambil memasang set-belt.
Jonas
yang sudah lama menunggu malah membalas senyumnya dengan tatapan kesal.
“Mana
duit buat hari ini?”
Gissa
terdiam sebentar. Menarik napas panjang, lalu mulai membuka tasnya.
“Aku
pinjem power bank sebentar ya sayang,” kata Gissa sambil menyerahkan dompetnya
pada Jonas.
Jonas
langsung merebut dompet itu dari tangan Gissa dan mulai memeriksa isinya.
Sedetik kemudian ia menyeringai lebar.
Gissa
mengambil BB dan power bank yang terguling manis di dasbor. Dulu semua itu miliknya,
namun ia hadiahkan pada Jonas.
Jonas
melirik Gissa yang mulai memeriksa BB-nya. “Udah paham kan, kalo liat foto-foto
disitu jangan banyak komentar?” serunya.
Gissa
mengangguk. Hatinya teriris. Ya, sakit sekali. Semakin lama semakin banyak saja
cewek-cewek yang dekat dengan Jonas. Melihat foto-foto mesra dan BBM disana,
cukup mengungkap semua yang tidak ia dapat dari penjelasan Jonas.
“Beginilah
gue. Kalo lo mau terima oke, kalo gak ya putus. End!”
***
Tiga
hari berlalu. Tidak, ini hari kelima sejak terakhir Gissa melihat Jonas. Kemana
dia? Gissa masih menunggu. Menunggu Jonas membalas BBM, SMS, bahkan ribuan
panggilan darinya.
“Halo..?”
“Sayang,
kamu dimana?!”
Gissa
tercekat. Ia yakin itu benar suara Jonas. Suara yang selalu ia tunggu-tunggu. Entah
kenapa suara itu terdengar nampak lelah sekali.
“Gue lagi di Rumah Sakit. Di Charitas..”
“Rumah
Sakit? Oke, aku kesana!”
Tak
perlu lama-lama menunggu. Gissa langsung menarik jaketnya dan berlalu keluar
kamar, bergegas mencari taxi.
***
“Kenapa
ngeliatin gue kayak gitu?”
Gissa
tak menjawab. Melangkah pelan mendekati Jonas yang terbaring lemah. Tubuhnya
mulai gemetaran. Mulai terisak.
“Menurut
lo, apa gue bisa hidup dengan satu kaki? Gue gak bisa jalan!”
Gissa
tak menjawab. Ia langsung menghambur ke tubuh Jonas. Menangis sekuat-kuatnya.
“Lo
ngapain nangis? Yang ilang kaki tuh gue! Gue!”
“Aku
gak tau gimana bisa hidup kalo kamu gak ada. Kamu masih hidup, dengan kaki atau
tanpa kaki aku gak peduli,” kata Gissa dengan getir. “Asal kamu masih mau hidup
dideket aku..”
“Gue
gak habis pikir,” kata Jonas. “Lo tuh jadi cewek kok bego banget ya?”
Gissa
tak menjawab. Masih sesenggukan. Ia sedikit kaget karena tangan Jonas mulai
bergerak kearahnya dengan lemah, mulai menyeka air mata yang membanjiri
pipinya. Belum pernah seperti ini saat ia menangis, Jonas tak pernah nampak
peduli seperti ini.
“Tapi
gue gak bakal bisa hidup tanpa lo. Mending gue mati, daripada harus kehilangan
lo yang bego ini,” kata Jonas sambil tersenyum. Mulai terisak. “Gue makasih
banget, makasih banget karna lo ada dihidup gue. Makasih.”
Diam untuk beberapa saat. Hanya
tangis yang terdengar. Mereka benar-benar satu. Saat ini mereka yakin mereka
benar-benar satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar