Kamis, 27 Juni 2013

Yang kusebut 'cinta'


“Pulangnya jangan kelewat malem sayang..”
            Jonas tertegun sebentar. Tak menjawab. Hatinya langsung leleh setiap Gissa mendekap tubuhnya erat, seolah takut kehilangan dirinya. Tapi ia selalu memilih diam setiap merasakan itu.
            “BB jangan dimatiin. Sebelum tidur, aku mau telpon dulu,” kata Gissa manja.
            Jonas hanya menjawab dengan anggukan pelan.
            Perlahan Gissa melepas dekapannya dari Jonas dan turun dari mobil. Ia berdiri sebentar sebelum menutup pintu. Tersenyum lebar.
            “Apa lagi?” tanya Jonas.


            Gissa menggeleng. “Hmm, I love you sayang..”
            Jonas tertawa. “Oke, oke. Gue buru-buru nih,” jawabnya.
            Gissa menutup pintu. Ia mulai melambaikan tangannya pelan kepada Jonas yang mulai melajukan mobil.
Tiba di rumah, Gissa langsung disambut dengan tatapan sinis dari ibu tirinya, Pinkan.
“Dari mana lagi?”
“Jalan sama pacar lah,” jawab Gissa cuek sambil berlalu melewati Pinkan.
“Eh, tunggu,” kata Pinkan, menghentikan langkah Gissa dengan menarik tangan gadis itu. “Kunci mobil mana?”
“Mama apa-apaan sih? Itu mobil juga dibeliin buat Gissa, kok mama yang sewot?”
“Iya, memang buat kamu. Tapi bukan buat pacar kamu!”
Gissa tak menjawab. Ia langsung melepaskan tangannya dari genggaman Pinkan dan berlari menaiki tangga.
Pinkan yang sudah naik pitam terus berteriak-teriak memanggil Gissa.
***
Gaduh, begitulah keadaan kelas IX.A setiap gurunya tidak masuk. Gissa menidurkan kepalanya ke meja, nampak lesu. Matanya jauh menerawang keluar melalui jendela tepat disebelahnya.
“Mikirin Jonas?”
Gissa menyadari kehadiran Lola, namun ia malas untuk menengok.
“Udahlah, banyak cowok lain yang ‘waw’ juga. Pacar lo gak harus Jonas kan?” Lola duduk disamping Gissa. Ia menepuk-nepuk bahu gadis itu.
“Mesti brapa kali lagi sih gue ngomong?” Gissa mulai bicara. “Gue capek, capek berdebat sama lo. Capek berdebat sama orang rumah. Ini hidup gue, gue yang jalanin.”
“BRAAKKK!”
Lola menghantam meja dengan tinjunya. Semua yang ada diruangan itu langsung kaget dan bertanya ada apa. Tidak Gissa, ia memilih diam.
“Tapi buat cinta sama dia, lo gak pernah capek?!” Lola berteriak kali ini. Kecewa. “Oke, kita juga gak akan pernah capek ngingetin lo untuk ninggalin dia. Sampe lo bener-bener nyadar!”
Gissa terdiam untuk beberapa saat.
“Udah selesai lo ngomong?”
Lola tak menjawab pertanyaan Gissa. Gadis itu langsung bangkit dari duduknya, melangkah cepat menuju pintu dan keluar.
***
            Gissa masuk ke mobil. “Hei sayang, gimana kuliahnya?” sapanya lembut sambil memasang set-belt.
Jonas yang sudah lama menunggu malah membalas senyumnya dengan tatapan kesal.
“Mana duit buat hari ini?”
Gissa terdiam sebentar. Menarik napas panjang, lalu mulai membuka tasnya.
“Aku pinjem power bank sebentar ya sayang,” kata Gissa sambil menyerahkan dompetnya pada Jonas.
Jonas langsung merebut dompet itu dari tangan Gissa dan mulai memeriksa isinya. Sedetik kemudian ia menyeringai lebar.
Gissa mengambil BB dan power bank yang terguling manis di dasbor. Dulu semua itu miliknya, namun ia hadiahkan pada Jonas.
Jonas melirik Gissa yang mulai memeriksa BB-nya. “Udah paham kan, kalo liat foto-foto disitu jangan banyak komentar?” serunya.
Gissa mengangguk. Hatinya teriris. Ya, sakit sekali. Semakin lama semakin banyak saja cewek-cewek yang dekat dengan Jonas. Melihat foto-foto mesra dan BBM disana, cukup mengungkap semua yang tidak ia dapat dari penjelasan Jonas.
“Beginilah gue. Kalo lo mau terima oke, kalo gak ya putus. End!”
***
Tiga hari berlalu. Tidak, ini hari kelima sejak terakhir Gissa melihat Jonas. Kemana dia? Gissa masih menunggu. Menunggu Jonas membalas BBM, SMS, bahkan ribuan panggilan darinya.
“Halo..?”
“Sayang, kamu dimana?!”
Gissa tercekat. Ia yakin itu benar suara Jonas. Suara yang selalu ia tunggu-tunggu. Entah kenapa suara itu terdengar nampak lelah sekali.
 “Gue lagi di Rumah Sakit. Di Charitas..”
“Rumah Sakit? Oke, aku kesana!”
Tak perlu lama-lama menunggu. Gissa langsung menarik jaketnya dan berlalu keluar kamar, bergegas mencari taxi.
***
“Kenapa ngeliatin gue kayak gitu?”
Gissa tak menjawab. Melangkah pelan mendekati Jonas yang terbaring lemah. Tubuhnya mulai gemetaran. Mulai terisak.
“Menurut lo, apa gue bisa hidup dengan satu kaki? Gue gak bisa jalan!”
Gissa tak menjawab. Ia langsung menghambur ke tubuh Jonas. Menangis sekuat-kuatnya.
“Lo ngapain nangis? Yang ilang kaki tuh gue! Gue!”
“Aku gak tau gimana bisa hidup kalo kamu gak ada. Kamu masih hidup, dengan kaki atau tanpa kaki aku gak peduli,” kata Gissa dengan getir. “Asal kamu masih mau hidup dideket aku..”
“Gue gak habis pikir,” kata Jonas. “Lo tuh jadi cewek kok bego banget ya?”
Gissa tak menjawab. Masih sesenggukan. Ia sedikit kaget karena tangan Jonas mulai bergerak kearahnya dengan lemah, mulai menyeka air mata yang membanjiri pipinya. Belum pernah seperti ini saat ia menangis, Jonas tak pernah nampak peduli seperti ini.
“Tapi gue gak bakal bisa hidup tanpa lo. Mending gue mati, daripada harus kehilangan lo yang bego ini,” kata Jonas sambil tersenyum. Mulai terisak. “Gue makasih banget, makasih banget karna lo ada dihidup gue. Makasih.”
            Diam untuk beberapa saat. Hanya tangis yang terdengar. Mereka benar-benar satu. Saat ini mereka yakin mereka benar-benar satu.

END

pictures from: www.dididado.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar