Sabtu, 06 Juli 2013

Palembang, 22 Januari 2010 (saat itu aku ingin bertemu denganmu)


Dwika Anastasia
          “Awas, kalo brani ngamen di daerah ini lagi, gue pancung lo!”
          Selesai mengambil semua uang milik si bocah, para preman kampung itu langsung kabur. Huh, hampir setiap hari ada-ada saja ulah mereka. Dasar preman Kertapati!
            Bocah menyedihkan itu melihatku sambil meringis.
            “Eh, cengeng, kotor, ngapain kamu masih nangis?!” bentakku. “Pulang sana!”


            “Rumah aku jauh, Ayuk[1]. Aku gak punya duit buat pulang ke Baturaja,” rengek bocah itu. “Makanya tadi aku ngamen..”
            Menyebalkan. Sepertinya anak yang nampaknya nyasar ini akan menambah jumlah bocah di rumahku mulai malam ini.
***
            “Ayo semuanya, kita dengarkan anggota keluarga baru kita ini. Dia mau mengenalkan diri sebelum kita mulai makan malamnya!” seru Bunda Risa, Kepala Panti.
            Heboh dan berisik. Ya, beginilah suasana rumah keluargaku ketika ada anak baru, belum berubah.
            “Ayo, sayang. Mulai dari nama dan umur,” kata Bunda Risa pada si bocah.
            Bocah itu melempar pandangannya ke arahku. Melihatku melengos, dia nampak ketakutan dan langsung mengalihkan pandangannya lagi.
            “Nama saya Andro Saputra. Saya biasa dipanggil Andro,” kata si bocah yang rupanya bernama Andro itu, mulai memperkenalkan diri. “Umur saya 15 tahun..”
            “Ah, bohong. Mana ada anak kelas tiga SMP badannya unyil-kerempeng kayak kamu!”
            Teriakan Badrun dan tawa dari yang lain mewakili keterkejutanku. Kasihan sekali ya, kupikir si Andro ini masih bocah SD.
***
            Pulang sekolah, aku buru-buru mengambil buku gambarku dan menaiki tangga tali ke rumah pohon. Semoga tidak ada adik-adikku yang nakal ketika aku sudah tiba di atas sana.
            “Eh, bocah, ngapain kamu di sini?!”
            Aku langsung melemparkan buku gambar dan peralatan menggambarku ke dalam. Mulai merangkak masuk.
            “Ayuk ini, ngakunya umur 18 tahun tapi mainnya sama buku gambar dan rumah pohon. Kayak anak kecil!” seru Andro sambil memeletkan lidahnya.
            Mataku serasa mau keluar ketika melihat apa yang sedang dipegangnya. Itu buku diary-ku!
            “Ini buku diary ayuk?” tanya Andro sambil nyengir. “Sori yuk, tadinya aku pikir ini cuma coretan anak SD..”
            Aku langsung mendekat dan merebut diary-ku dari tangannya dengan kasar. Tanpa sadar, sebuah tamparan kudaratkan di pipinya.
            “Turun. Tinggalin aku sendirian!”
***
            “Dwika, bangun!”
            Aku membuka mata perlahan, terdengar suara Andro memanggilku. Sudah malam! Yang benar saja, aku tertidur lagi di rumah pohon.
            “Dwika, buruan bangun. Banyak bintang di luar!”
            “Eh, jangan langsung panggil nama, dong. Panggil ayuk!”
Penglihatanku masih samar-samar. Kukucek-kucek kedua mataku sambil bangkit bergerak mendekati Andro yang sedang duduk, melihat keluar melalui jendela kecil.
            “Barusan ada bintang jatuh loh..”
            Andro menoleh ke arahku sambil tersenyum lebar.
            Saat ini kami duduk sangat dekat. Ya, aku juga mau menikmati indahnya kerlipan bintang. Tak peduli sedang bersama bocah pendek menyebalkan ini.
            “Aku berdoa, tiga tahun lagi waktu aku datang ke sini, tinggi badan aku sudah jauh melebihi Dwika dan yang lain,” kata Andro sambil kembali menatap langit yang hitam.
            Aku terdiam sebentar.
            “Oke, kita liat nanti,” kataku. “Jadi, kapan kamu mau pulang?”
            “Besok aku pulang, Yuk. Bunda Neza bakal nganterin aku ke Baturaja, sekalian pulang kampung katanya.”
            Aku terdiam lagi.
            Terjadi lagi. Ya, ini bukan pertama kalinya aku kehilangan anggota keluargaku di panti ini sebelum aku mengenalnya lebih jauh.
            “Jadi anak SMA asik ya, Yuk?”
            Aku kaget karena Andro tiba-tiba menolehkan kepalanya lagi ke arahku.
            “Eh? Hmm, kata siapa asik?”
            “Aku baca diary Yuk Dwika sampe habis loh!” seru Andro. “Ayuk gak perlu nangisin mantan ayuk yang sombong itu, kalo mau pacaran sama aku boleh kok!”
            Apa-apaan sih ini? Tanganku bergerak, menuju perutnya, langsung kucubit sampai dia menjerit kesakitan.
            “Ampun, Dwika sayang, ampuuuunn…!!”
            Aku menarik tanganku lagi.
            “Bocah genit, pulang sana ke kandangmu!”
            Andro langsung merangkak menjauhiku. Menuruni tangga tali sambil tertawa cengengesan.
***
            “Dwika, kamu itu udah telat!” seru Bunda Risa. “Ngapain lagi mondar-mandir? Nyari apa sih kamu? Buruan berangkat sana!”
            Aku berhenti melangkah. Kutatap Bunda Risa.
            Aduh, aku terlambat. Dua hari dia menginap disini, tapi rasa penasaranku terhadap bocah nakal itu terlambat datang. Dia sudah berangkat pagi-pagi sekali dengan Bunda Neza.
            Ah, bocah bego yang terpisah dari keluarganya waktu di stasiun kereta itu, entah kapan aku bisa bertemu dia lagi?
            Oke, aku mesti berangkat ke sekolah sekarang!
***
            “Ayuk Dwika, tungguin kita dong!”
            Aku menoleh ke belakang.
Ternyata benar, dua anggota keluargaku itu, Badrun dan Soleh, mereka memang suka maksa buat pulang bareng. Padahal aku sudah buru-buru sekali keluar dari sekolah biar gak ketemu sama duo alay kelas X itu.
            “Ngomong-ngomong, bocah kingstone[2] itu udah ngilang aja dari rumah?” tanyaku pada Badrun dan Soleh yang kini berjalan di sisiku. “Jam brapa sih berangkatnya?”
            “Berangkat? Ke Baturaja maksudnya?” timpal Badrun, balik nanya.
            “Ya, iyalah. Secara kan dia emang orang Baturaja yang nyasar ke sini,” kataku kesal.
            “Belum,” sahut Soleh. “Bunda Neza emang berangkat hari ini. Kalo Andro, bocah bego itu katanya diantar ke rumah keluarganya di Palembang sini lah.”
            Waduh, aku tertipu kecemasanku sendiri!
            “Jadi masih di Palembang sini lah?”
            “Iya, Yuk. Di Perumnas,” jawab Badrun. “Dia kan nyasarnya di stasiun, waktu mau pulang ke Baturaja lagi.”
            Hmm, mungkin dia langsung pulang ke Baturaja? Ah, kenapa aku jadi ingin bertemu dia, ya?
            “Oia, Yuk Dwika lah liat belum?!” Badrun tiba-tiba berteriak nyaring. Membuat orang-orang di sekitar kami mendelik heran.
            “Liat apaan?” tanyaku.
            “Tadi pagi, waktu aku baru bangun, aku liat Andro nyelipin kertas diem-diem ke buku ayuk, trus dimasukin lagi ke dalem tas!”
            “Kayaknya sih, tuh bocah jatuh cinta sama bidadari yang udah nyelamatin dia waktu dia nyasar. Hehehehehe…”
***
            Tiba di panti, aku langsung ke belakang, naik tangga tali rumah pohon.
            Tanganku langsung menyergap tas di punggung dan menurunkannya. Langsung mengeluarkan semua buku di dalamnya. Mulai memeriksa.
            Ketemu! Sebuah kertas sobekan dari buku diary-ku terselip di dalam buku paket Matematika. Buku itu memang tidak kubuka sama sekali di sekolah tadi karena gurunya tidak datang.
            Dwika sayang, makasih ya.
                Aku pulang hari jumat, besok, tanggal 22. Hari ini nginep dulu di rumah keluargaku di Perumnas. Ya, kapan-kapan aku mau main lagi ke panti.
                Kamu jangan sedih dan kebanyakan bengong lagi di rumah pohon. Aku udah denger dari Bunda Neza, sebab rumahmu terbakar dan papa kamu tewas kan bukan karna kamu. Jadi, kalo ada waktu luang kamu jangan lupa berkunjung ke rumah ibu dan adik tiri kamu ya!
                Satu lagi, mantan kamu itu jangan dipikirin lagi lah. Kan ada aku yang bisa terima kamu yang bengis dan galak ini apa adanya. Liat aja nanti, aku bakal makan banyak biar bisa tinggi dan ganteng.
            Bocah bego, sok dewasa! Eh, biasanya juga di bagian akhir surat itu ada ucapan salam, nama, dan tanda tangan, ini malah gak ada.
Oke, aku penasaran bakal kayak gimana kamu nantinya pas kita ketemu lagi. Tapi jangan kelamaan ah, gimana kalau aku jalan-jalan ke Baturaja? Bosan di panti melulu.
***
Andro Saputra
            Palembang, 21 Januari 2013.
            Aku masih ingat tiga tahun yang lalu. Di rumah ini, di panti ini, di rumah pohon ini. Dulu, semua sudutnya tidak nampak tua dan usang seperti sekarang. Sekarang sudah berbeda sekali.
            Ini bukan hari libur ya, Dwika, tapi aku menyempatkan diri datang kesini. Ya, karna aku ingat harapanku malam itu. Sekarang sudah jadi kenyataan. Aku menyempatkan diri kesini. Padahal, ya, kau tau sendiri kan kalau anak kelas XII sedang sibuk-sibuknya saat ini.
            Tidak apa, kan untuk bertemu kamu. Lagipula kali ini aku sudah cukup berani, berangkat sendirian dan tidak akan nyasar lagi.
            “Andro?!”
            Nah, Bunda Risa muncul juga akhirnya. Menyenangkan sekali mengetahui ternyata dia masih ingat padaku.
            “Bagaimana kabar kamu, sehat?” tanya Bunda Risa sambil berjalan menghampiriku.
            “Syukur-syukur bisa sehat luar biasa kayak gini, Bunda. Bunda apa kabar?” Aku mendekat dan mencium tangan wanita itu.
            “Baik, semua keluargamu di sini baik-baik saja. Syukurlah,” jawab Bunda Risa sambil tersenyum.
            Bunda Neza muncul dari balik pintu. Begitu aku menoleh ke arahnya, wajahnya yang awalnya kelihatan sedih langsung berubah senyum.
Aku membalas senyumnya, lalu kembali memandangi rumah pohon yang ada di sebelah kananku.
            “Bunda, mana cewek galak yang suka menyendiri di atas situ?” tanyaku sambil nyengir.
            “Aduh, kamu sekarang tinggi sekali ya. Benar-benar ganteng. Gak kayak dulu, bocah pendek yang kerempeng. Hehe..”
            Aduh, malah dikacangin! Baiklah, tanya sekali lagi.
            “Bun, mana Dwika? Aku kangen!”
            Bunda Risa masih tersenyum. Aku jadi heran. Dia tetap tak menjawab pertanyaanku.
***
            22 Januari 2013, masih di Palembang.
            Aku duduk bersandar, sekarang di dalam kereta. Sedikit mengantuk menunggu kereta ini mulai melaju meninggalkan Palembang, tepatnya meninggalkan Kertapati. Meninggalkan semua kenangan di sini.
            Apa boleh buat? Aku tidak bisa menemui Dwika lagi di sini, di Kertapati, di Palembang. Ah, dia tega sekali meninggalkanku tanpa pamit.
            Hari ini, tanggal ini, tepat tiga tahun yang lalu, aku juga berada di kereta seperti ini. Ingin meninggalkan Palembang, pulang ke Baturaja. Aku masih ingat, saat itu hari jumat. Aku juga bilang pada Dwika kalau hari itu aku akan pulang.
            Waktu itu seharian aku teringat Dwika terus. Ya, aku baru tau sekarang kalau itu adalah firasat. Ternyata waktu itu Dwika ingin menyusulku? Bisa dilihat dari tiket yang sedang kupegang ini. Tanggalnya tertulis jelas, 22 Januari 2010.
            “Dwika mengantongi tiket ini waktu itu. Ini tiket mobil travel ke Baturaja..”
            Kata-kata Bunda Risa kemarin masih terngiang-ngiang di telingaku. Bahkan rasa heranku saat beliau memberikan tiket ini masih tersisa. Begitu juga rasa terkejutku, belum bisa hilang.
            Tidak apa. Meskipun aku tidak bisa menyatakan rasa sayang dan kangenku padanya sambil menikmati senyumnya yang indah, aku sudah puas menyatakannya sambil mengingat saat-saat bersamanya, di atas pusara itu.
Aku menyesal harus mengetahui bahwa dia tewas dalam kecelakaan.
Tak apa, Dwika sudah bahagia. Dia sudah bertemu dan berkumpul dengan ayah dan ibu kandungnya lagi, di surga.
Sekarang tinggal aku. Kapan aku menyusul mereka?
TAMAT




[1] Panggilan untuk kakak perempuan di Palembang. Di beberapa daerah sekitar Palembang juga menggunakan panggilan ini.
[2] King=raja, Stone=batu. Kingstone ini sebutan sebagai plesetannya dari Baturaja, biar kedengeran keren.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar