Selesai
mengambil semua uang milik si bocah, para preman kampung itu langsung kabur.
Huh, hampir setiap hari ada-ada saja ulah mereka. Dasar preman Kertapati!
Bocah
menyedihkan itu melihatku sambil meringis.
“Rumah aku jauh, Ayuk[1].
Aku gak punya duit buat pulang ke Baturaja,” rengek bocah itu. “Makanya tadi
aku ngamen..”
Menyebalkan. Sepertinya anak yang nampaknya
nyasar ini akan menambah jumlah bocah di rumahku mulai malam ini.
***
“Ayo semuanya, kita dengarkan
anggota keluarga baru kita ini. Dia mau mengenalkan diri sebelum kita mulai
makan malamnya!” seru Bunda Risa, Kepala Panti.
Heboh dan berisik. Ya, beginilah
suasana rumah keluargaku ketika ada anak baru, belum berubah.
“Ayo, sayang. Mulai dari nama dan
umur,” kata Bunda Risa pada si bocah.
Bocah itu melempar pandangannya ke
arahku. Melihatku melengos, dia nampak ketakutan dan langsung mengalihkan
pandangannya lagi.
“Nama saya Andro Saputra. Saya biasa
dipanggil Andro,” kata si bocah yang rupanya bernama Andro itu, mulai memperkenalkan
diri. “Umur saya 15 tahun..”
“Ah, bohong. Mana ada anak kelas
tiga SMP badannya unyil-kerempeng kayak kamu!”
Teriakan Badrun dan tawa dari yang
lain mewakili keterkejutanku. Kasihan sekali ya, kupikir si Andro ini masih
bocah SD.
***
Pulang sekolah, aku buru-buru
mengambil buku gambarku dan menaiki tangga tali ke rumah pohon. Semoga tidak
ada adik-adikku yang nakal ketika aku sudah tiba di atas sana.
“Eh, bocah, ngapain kamu di sini?!”
Aku langsung melemparkan buku gambar
dan peralatan menggambarku ke dalam. Mulai merangkak masuk.
“Ayuk
ini, ngakunya umur 18 tahun tapi mainnya sama buku gambar dan rumah pohon.
Kayak anak kecil!” seru Andro sambil memeletkan lidahnya.
Mataku serasa mau keluar ketika
melihat apa yang sedang dipegangnya. Itu buku diary-ku!
“Ini buku diary ayuk?” tanya Andro sambil nyengir. “Sori yuk, tadinya aku pikir ini cuma coretan anak SD..”
Aku langsung mendekat dan merebut
diary-ku dari tangannya dengan kasar. Tanpa sadar, sebuah tamparan kudaratkan
di pipinya.
“Turun. Tinggalin aku sendirian!”
***
“Dwika, bangun!”
Aku membuka mata perlahan, terdengar
suara Andro memanggilku. Sudah malam! Yang benar saja, aku tertidur lagi di
rumah pohon.
“Dwika, buruan bangun. Banyak
bintang di luar!”
“Eh, jangan langsung panggil nama,
dong. Panggil ayuk!”
Penglihatanku masih samar-samar. Kukucek-kucek kedua
mataku sambil bangkit bergerak mendekati Andro yang sedang duduk, melihat
keluar melalui jendela kecil.
“Barusan ada bintang jatuh loh..”
Andro menoleh ke arahku sambil
tersenyum lebar.
Saat ini kami duduk sangat dekat.
Ya, aku juga mau menikmati indahnya kerlipan bintang. Tak peduli sedang bersama
bocah pendek menyebalkan ini.
“Aku berdoa, tiga tahun lagi waktu
aku datang ke sini, tinggi badan aku sudah jauh melebihi Dwika dan yang lain,”
kata Andro sambil kembali menatap langit yang hitam.
Aku terdiam sebentar.
“Oke, kita liat nanti,” kataku. “Jadi,
kapan kamu mau pulang?”
“Besok aku pulang, Yuk. Bunda Neza bakal nganterin aku ke
Baturaja, sekalian pulang kampung katanya.”
Aku terdiam lagi.
Terjadi lagi. Ya, ini bukan pertama
kalinya aku kehilangan anggota keluargaku di panti ini sebelum aku mengenalnya
lebih jauh.
“Jadi anak SMA asik ya, Yuk?”
Aku kaget karena Andro tiba-tiba
menolehkan kepalanya lagi ke arahku.
“Eh? Hmm, kata siapa asik?”
“Aku baca diary Yuk Dwika sampe habis loh!” seru Andro. “Ayuk gak perlu nangisin mantan ayuk
yang sombong itu, kalo mau pacaran sama aku boleh kok!”
Apa-apaan sih ini? Tanganku
bergerak, menuju perutnya, langsung kucubit sampai dia menjerit kesakitan.
“Ampun, Dwika sayang, ampuuuunn…!!”
Aku menarik tanganku lagi.
“Bocah genit, pulang sana ke
kandangmu!”
Andro langsung merangkak menjauhiku.
Menuruni tangga tali sambil tertawa cengengesan.
***
“Dwika, kamu itu udah telat!” seru
Bunda Risa. “Ngapain lagi mondar-mandir? Nyari apa sih kamu? Buruan berangkat
sana!”
Aku berhenti melangkah. Kutatap
Bunda Risa.
Aduh, aku terlambat. Dua hari dia menginap
disini, tapi rasa penasaranku terhadap bocah nakal itu terlambat datang. Dia
sudah berangkat pagi-pagi sekali dengan Bunda Neza.
Ah, bocah bego yang terpisah dari
keluarganya waktu di stasiun kereta itu, entah kapan aku bisa bertemu dia lagi?
Oke, aku mesti berangkat ke sekolah
sekarang!
***
“Ayuk
Dwika, tungguin kita dong!”
Aku menoleh ke belakang.
Ternyata benar, dua anggota keluargaku itu, Badrun dan
Soleh, mereka memang suka maksa buat pulang bareng. Padahal aku sudah buru-buru
sekali keluar dari sekolah biar gak ketemu sama duo alay kelas X itu.
“Ngomong-ngomong, bocah kingstone[2]
itu udah ngilang aja dari rumah?” tanyaku pada Badrun dan Soleh yang kini
berjalan di sisiku. “Jam brapa sih berangkatnya?”
“Berangkat? Ke Baturaja maksudnya?”
timpal Badrun, balik nanya.
“Ya, iyalah. Secara kan dia emang
orang Baturaja yang nyasar ke sini,” kataku kesal.
“Belum,” sahut Soleh. “Bunda Neza
emang berangkat hari ini. Kalo Andro, bocah bego itu katanya diantar ke rumah
keluarganya di Palembang sini lah.”
Waduh, aku tertipu kecemasanku
sendiri!
“Jadi masih di Palembang sini lah?”
“Iya, Yuk. Di Perumnas,” jawab Badrun. “Dia kan nyasarnya di stasiun,
waktu mau pulang ke Baturaja lagi.”
Hmm, mungkin dia langsung pulang ke
Baturaja? Ah, kenapa aku jadi ingin bertemu dia, ya?
“Oia, Yuk Dwika lah liat
belum?!” Badrun tiba-tiba berteriak nyaring. Membuat orang-orang di sekitar
kami mendelik heran.
“Liat apaan?” tanyaku.
“Tadi pagi, waktu aku baru bangun,
aku liat Andro nyelipin kertas diem-diem ke buku ayuk, trus dimasukin lagi ke dalem tas!”
“Kayaknya sih, tuh bocah jatuh cinta
sama bidadari yang udah nyelamatin dia waktu dia nyasar. Hehehehehe…”
***
Tiba di panti, aku langsung ke
belakang, naik tangga tali rumah pohon.
Tanganku langsung menyergap tas di
punggung dan menurunkannya. Langsung mengeluarkan semua buku di dalamnya. Mulai
memeriksa.
Ketemu! Sebuah kertas sobekan dari
buku diary-ku terselip di dalam buku paket Matematika. Buku itu memang tidak
kubuka sama sekali di sekolah tadi karena gurunya tidak datang.
Dwika sayang, makasih ya.
Aku
pulang hari jumat, besok, tanggal 22. Hari ini nginep dulu di rumah keluargaku
di Perumnas. Ya, kapan-kapan aku mau main lagi ke panti.
Kamu
jangan sedih dan kebanyakan bengong lagi di rumah pohon. Aku udah denger dari
Bunda Neza, sebab rumahmu terbakar dan papa kamu tewas kan bukan karna kamu. Jadi,
kalo ada waktu luang kamu jangan lupa berkunjung ke rumah ibu dan adik tiri
kamu ya!
Satu
lagi, mantan kamu itu jangan dipikirin lagi lah.
Kan ada aku yang bisa terima kamu yang bengis dan galak ini apa adanya. Liat
aja nanti, aku bakal makan banyak biar bisa tinggi dan ganteng.
Bocah
bego, sok dewasa! Eh, biasanya juga di bagian akhir surat itu ada ucapan salam,
nama, dan tanda tangan, ini malah gak ada.
Oke, aku penasaran bakal kayak gimana
kamu nantinya pas kita ketemu lagi. Tapi jangan kelamaan ah, gimana kalau aku
jalan-jalan ke Baturaja? Bosan di panti melulu.
***
Andro Saputra
Palembang,
21 Januari 2013.
Aku
masih ingat tiga tahun yang lalu. Di rumah ini, di panti ini, di rumah pohon
ini. Dulu, semua sudutnya tidak nampak tua dan usang seperti sekarang. Sekarang
sudah berbeda sekali.
Ini
bukan hari libur ya, Dwika, tapi aku menyempatkan diri datang kesini. Ya, karna
aku ingat harapanku malam itu. Sekarang sudah jadi kenyataan. Aku menyempatkan
diri kesini. Padahal, ya, kau tau sendiri kan kalau anak kelas XII sedang
sibuk-sibuknya saat ini.
Tidak
apa, kan untuk bertemu kamu. Lagipula kali ini aku sudah cukup berani,
berangkat sendirian dan tidak akan nyasar lagi.
“Andro?!”
Nah,
Bunda Risa muncul juga akhirnya. Menyenangkan sekali mengetahui ternyata dia
masih ingat padaku.
“Bagaimana
kabar kamu, sehat?” tanya Bunda Risa sambil berjalan menghampiriku.
“Syukur-syukur
bisa sehat luar biasa kayak gini, Bunda. Bunda apa kabar?” Aku mendekat dan
mencium tangan wanita itu.
“Baik,
semua keluargamu di sini baik-baik saja. Syukurlah,” jawab Bunda Risa sambil
tersenyum.
Bunda
Neza muncul dari balik pintu. Begitu aku menoleh ke arahnya, wajahnya yang
awalnya kelihatan sedih langsung berubah senyum.
Aku membalas senyumnya, lalu kembali
memandangi rumah pohon yang ada di sebelah kananku.
“Bunda,
mana cewek galak yang suka menyendiri di atas situ?” tanyaku sambil nyengir.
“Aduh,
kamu sekarang tinggi sekali ya. Benar-benar ganteng. Gak kayak dulu, bocah
pendek yang kerempeng. Hehe..”
Aduh,
malah dikacangin! Baiklah, tanya sekali lagi.
“Bun,
mana Dwika? Aku kangen!”
Bunda
Risa masih tersenyum. Aku jadi heran. Dia tetap tak menjawab pertanyaanku.
***
22
Januari 2013, masih di Palembang.
Aku
duduk bersandar, sekarang di dalam kereta. Sedikit mengantuk menunggu kereta
ini mulai melaju meninggalkan Palembang, tepatnya meninggalkan Kertapati.
Meninggalkan semua kenangan di sini.
Apa
boleh buat? Aku tidak bisa menemui Dwika lagi di sini, di Kertapati, di
Palembang. Ah, dia tega sekali meninggalkanku tanpa pamit.
Hari
ini, tanggal ini, tepat tiga tahun yang lalu, aku juga berada di kereta seperti
ini. Ingin meninggalkan Palembang, pulang ke Baturaja. Aku masih ingat, saat itu
hari jumat. Aku juga bilang pada Dwika kalau hari itu aku akan pulang.
Waktu
itu seharian aku teringat Dwika terus. Ya, aku baru tau sekarang kalau itu
adalah firasat. Ternyata waktu itu Dwika ingin menyusulku? Bisa dilihat dari
tiket yang sedang kupegang ini. Tanggalnya tertulis jelas, 22 Januari 2010.
“Dwika
mengantongi tiket ini waktu itu. Ini tiket mobil travel ke Baturaja..”
Kata-kata
Bunda Risa kemarin masih terngiang-ngiang di telingaku. Bahkan rasa heranku saat
beliau memberikan tiket ini masih tersisa. Begitu juga rasa terkejutku, belum
bisa hilang.
Tidak
apa. Meskipun aku tidak bisa menyatakan rasa sayang dan kangenku padanya sambil
menikmati senyumnya yang indah, aku sudah puas menyatakannya sambil mengingat
saat-saat bersamanya, di atas pusara itu.
Aku menyesal harus mengetahui bahwa dia
tewas dalam kecelakaan.
Tak apa, Dwika sudah bahagia. Dia sudah
bertemu dan berkumpul dengan ayah dan ibu kandungnya lagi, di surga.
Sekarang tinggal aku. Kapan aku menyusul
mereka?
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar