Lavender memekik histeris lalu kembali melempar gelas
hingga belingnya berhamburan di lantai. Apapun yang terlihat di matanya seperti
tak berarti, ingin ia hancurkan dan hempaskan begitu saja.
Bethrice mulai memunguti pecahan-pecahan beling itu.
Darah berlumuran di sana-sini, melukis jejak kaki Lavender yang nyaris gila
sejak lima hari yang lalu, dan kini gadis itu sudah betul-betul gila.
“Sabar, Ven. Tenangin diri lo, jangan kayak gini terus!”
Ajeng juga hampir kehilangan akal. Ia terus menarik tangan Lavender,
mendekapnya paksa dari belakang. Air matanya mulai menitik dan sesekali ia
mendesah pedih. Bingung apalagi yang mesti ia lakukan sebelum sahabatnya itu
bertambah parah dan bunuh diri.
Dengan satu gerakan gesit, Lavender berhasil
melepaskan diri dari dekapan Ajeng. Langsung berlari keluar kamar menuju dapur.
Di otaknya kini hanya satu, harus menemukan pisau secepatnya.
Bethrice langsung bangkit dan mengikuti Ajeng yang
berlari mengejar Lavender dengan nafas memburu.
***
Teriknya siang mulai menelusup ke dalam melalui
jendela-jendela. Rumah yang cukup besar itu tetap sepi. Semua penghuninya
adalah mahasiswi. Kini hanya Ajeng, Lavender dan Bethrice yang tersisa di sana,
yang lain pulang ke kampung halaman masing-masing karena memang saat itu kuliah
sedang libur.
Rasa takut ada di mana-mana di tiap sudut rumah itu,
begitu pula teror yang terus menghantui, belum selesai. Teror itu terus
berlanjut, teror yang dari awal hanya menuju pada Lavender.
Ajeng masih sesenggukan di depan kamar. Setengah jam
telah berlalu sejak Lavender akhirnya bisa ditaklukan dan mulai memejamkan mata
lelahnya.
“Gue gak mau lo
ikut-ikutan gila juga..” Sekian lama diam, akhirnya Bethrice menggerakkan
bibirnya.
Bethrice menepuk dan mengelus pundak Ajeng. Di antara
mereka bertiga, hanya dia yang selalu bisa tenang menghadapi masalah apapun.
“Jadi lo tetep pada pemikiran lo yang gila itu?!”
Ajeng mendengus marah. “Lo pikir memang dia yang ngelakuin pembunuhan ini?!”
teriaknya dengan tatapan tajam yang cukup membuat sahabatnya itu sedikit ragu
untuk menjawab. “Lalu gimana dengan teror-teror gila itu?”
“Beth, kita mesti cari siapa orang yang udah neror
Lavender,” Ajeng kembali menghela napas panjang. “Gue tetep berpikiran kalo
justru orang itu yang ngelakuin ini semua, dan mungkin incaran selanjutnya itu
kita!”
“Tapi buat apa?!” Bethrice membuang pandangannya ke
samping, lalu merogoh bungkus rokok di
saku jeansnya.
“Ya apalagi kalo bukan karna dia psikopat? Gila?”
Ajeng mendesis.
Cukup lama keduanya berdiaman, sampai asap mulai
mengepul dari mulut Bethrice. “Lo tau sendiri kan, Lavender gak pernah bisa ramah
ke semua penghuni di sini? Bukan gini caranya, ngebunuh orang cuma gara-gara
teror murahan kayak gitu..”
“Teror murahan kata lo?!” Ajeng berteriak kali ini.
“Ngancem mau ngebunuh kita semua, ngirimin kado yang isinya bangkai, darah yang
bercucuran di mana-mana itu lo sebut murahan?!”
“Lebih baik lo diem, sekarang kita cari cara buat
keluar dari mimpi buruk ini. Sebelum bau bangkai Gita dan Febi kecium sama
orang lain, sebelum kita juga yang jadi korban..”
Mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Bethrice,
Ajeng membeku. Bibirnya mulai gemetar. Teringat lima hari yang lalu, ketika
mayat Gita ditemukan, disusul dengan ditemukannya mayat Febi keesokan harinya.
Teringat bagaimana mereka diam-diam mengubur mayat-mayat itu di halaman
belakang.
***
Malam yang dingin menyelimuti sunyinya Jakarta saat
itu. Sunyi, ya mungkin hanya di sana tempat tersunyi saat itu. Di rumah kos yang ketiga
sahabat itu tinggali, yang menjadi tempat ditemukannya mayat Gita dan Febi,
teman satu atap yang tewas mengenaskan dengan wajah hancur berlumuran darah.
Kini tiga sahabat itu terlelap di satu ranjang, saling
berpelukan erat, seperti takut kehilangan masing-masing dari mereka. Tapi tidak
untuk Bethrice, hanya dia yang tidak merasakan ketakutan itu, dan dia juga
tidak terlelap saat itu.
Bethrice bangkit, melangkah dalam gelap menuju pintu. Sesaat
ia terkejut dengan kehadiran seseorang berjubah hitam yang kemudian masuk ke dalam
kamar itu.
Buru-buru si jubah hitam berwajah menyeramkan itu mengancam
agar Bethrice tidak mengeluarkan suara yang bisa membangunkan para putri tidur.
Dengan perlahan, perempuan berjubah itu mendekati ranjang
di mana kedua putri tidur terlelap. Diacungkan kapak di tangannya ke atas, lalu
dengan satu gerakan cepat ia menghujam leher Ajeng.
Teriakan terdengar memecah sunyi. Darah mulai
berceceran. Ajeng masih sanggup berdiri dan menatap nanar ke arah perempuan
berjubah yang kini menertawainya sambil mengacungkan kapaknya.
Lavender terbangun. Matanya langsung membelalak.
Kaget, takut, namun seperti tak bisa bergerak ke mana-mana. Untuk sesaat ia
terdiam, lalu bergegas menuju jendela.
Melihat gerakan Lavender itu, si jubah hitam langsung
menghampiri dan menghujamkan kapaknya ke punggung Lavender. Membuat gadis itu
roboh tak berdaya.
Belum selesai di situ, ia lanjut menghampiri Ajeng
yang mulai melemah, yang mencoba memukulkan desk
lamp ke kepalanya. Dihujamkan kembali kapaknya, kali ini ke bahu kanan
Ajeng.
Ajeng pun roboh. Matanya mulai berkunang-kunang
seiring dengan rasa sakit yang menjalari seluruh tubuhnya. Dilihatnya darahnya
sendiri yang mengalir deras lalu pandangannya tertuju pada Lavender yang
tergeletak di depannya.
Suara tawa perempuan berjubah hitam itu mulai menggelegar.
“Bethrice..Bethrice..” Ajeng mulai mendesis. Di saat
seperti itu, ia masih memikirkan sahabat-sahabatnya. Matanya bergerak mencari
Bethrice. Ia mencoba menggerakkan tangannya, namun tangannya malah tidak
bergerak sama sekali, mati rasa.
“Lo..ke..napa..diem aja, Beth? Tolong..ka..mi..”
rintihnya saat menemukan Bethrice berdiri kaku tanpa ekspresi, melihat ke
arahnya.
Bethrice lalu bergerak mendekati kedua sahabatnya yang
tak berdaya itu, merebut kapak di tangan si jubah hitam dan menghujamkannya
berkali-kali ke tubuh dan kaki Lavender. Tak peduli suara rintihan memilukan
yang mulai terdengar.
“Kalian mau tau?! Kalian mau tau kenapa gue ngelakuin
ini?!” teriak Bethrice sambil membalikkan tubuh Lavender yang tadinya
tertelungkup. Ditatapnya tajam kedua mata gadis itu, lalu meludah tepat di
wajahnya, di wajah gadis yang sudah satu tahun menjadi sahabatnya itu.
Si jubah hitam lalu mencabut foto Lavender berseragam
SMU yang dipajang di dinding. Dilemparnya foto itu ke tengah-tengah tubuh kedua
gadis yang sedang meregang nyawa itu.
Bethrice langsung memungut pigura itu dan
menyodorkannya pada Lavender dan Ajeng, memaksa kedua gadis itu untuk
memperhatikan foto di pigura itu.
“Lo liat foto lo ini!” gertak Bethrice. “Lo liat
baik-baik gelang yang lo pake di foto ini, gelang limited edition yang lo bilang cuma lo satu-satunya yang milikin
gelang ini! Sekarang bilang ke mana gelang ini!”
Lavender tak menjawab. Seluruh tubuhnya mati rasa. Ia
tak sanggup untuk berkata lagi. Air matanya mengalir deras. Pikirannya
melayang, jauh ke masa lalu. Suatu ingatan yang mengerikan kembali lagi. Suatu
kejadian yang selama ini ia rahasiakan, kejadian yang seharusnya tidak pernah
terjadi.
“Apa yang lo
lakuin? Kalo lo gak mau berurusan dengan polisi, lebih baik kita kabur!”
Ia juga masih teringat kalimat yang diucapkan Ajeng
kepadanya, setahun yang lalu, saat ia masih bisa mengendarai mobilnya ke
mana-mana, saat dia tak sengaja melakukan kesalahan yang pernah membebaninya
cukup lama, sebuah dosa yang membuatnya memutuskan untuk menjual mobil itu dan
berhenti mengemudi.
“Lo inget siapa yang narik paksa gelang mahal lo itu
sampe putus?” desis Bethrice sambil mengempaskan pigura itu ke wajah Lavender.
“Oh iya, lo emang gak mau tau kan siapa orang itu, yang udah lo tabrak sampe
mukanya ancur tapi lo biarin aja di pinggir jalan?!”
Terdengar Ajeng merintih. “Maafin ka..mi, tolong,
maafin kami...ka..kami gak se..sengaja..”
Si jubah hitam tampak geram. Secepat kilat ia merebut
kapak di tangan Bethrice lalu menghampiri Ajeng. Dihujamkannya berkali-kali
kapak itu ke tubuhnya hingga gadis itu berteriak-teriak kesakitan.
Bethrice nampak puas menyaksikan kejadian itu. “Orang
ini, yang kehilangan wajah cantiknya karena kalian,” ujarnya getir. “Orang ini,
adik kandung gue, yang udah lo buat hidupnya menderita. Dia selalu nangis di
hadapan gue, dia minta tolong untuk ngebales semua yang udah kalian perbuat..”
Bethrice berbalik, melangkah menuju ranjang,
merogohkan tangannya ke bawah ranjang itu. Lalu kembali dengan sebuah botol
besar ditangannya. Tanpa sadar, buliran bening mengalir dari kedua matanya.
Sambil berurai air mata, cukup lama ia memandang wajah
kedua sahabatnya itu. Lalu dibuangnya jauh-jauh rasa yang ia punya serta
kenangan yang telah terlanjur ia miliki bersama mereka. Perasaannya berkecamuk,
rasa benci dan rasa dendam, rasa benci karena harus menerima kenyataan, rasa
dendam yang sudah lama ia pendam.
Tangannya mulai bergerak, ditumpahkannya semua air keras
dalam botol itu sampai tak bersisa lagi ke wajah Lavender dan Ajeng hingga
teriakan-teriakan histeris menyayat hati kembali terdengar. Ia tak mau peduli
lagi, hanya dendam yang ia tahu saat ini.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar