Selasa, 13 Agustus 2013

THE TORT


Lavender memekik histeris lalu kembali melempar gelas hingga belingnya berhamburan di lantai. Apapun yang terlihat di matanya seperti tak berarti, ingin ia hancurkan dan hempaskan begitu saja.
Bethrice mulai memunguti pecahan-pecahan beling itu. Darah berlumuran di sana-sini, melukis jejak kaki Lavender yang nyaris gila sejak lima hari yang lalu, dan kini gadis itu sudah betul-betul gila.



“Sabar, Ven. Tenangin diri lo, jangan kayak gini terus!” Ajeng juga hampir kehilangan akal. Ia terus menarik tangan Lavender, mendekapnya paksa dari belakang. Air matanya mulai menitik dan sesekali ia mendesah pedih. Bingung apalagi yang mesti ia lakukan sebelum sahabatnya itu bertambah parah dan bunuh diri.
Dengan satu gerakan gesit, Lavender berhasil melepaskan diri dari dekapan Ajeng. Langsung berlari keluar kamar menuju dapur. Di otaknya kini hanya satu, harus menemukan pisau secepatnya.
Bethrice langsung bangkit dan mengikuti Ajeng yang berlari mengejar Lavender dengan nafas memburu.
***
Teriknya siang mulai menelusup ke dalam melalui jendela-jendela. Rumah yang cukup besar itu tetap sepi. Semua penghuninya adalah mahasiswi. Kini hanya Ajeng, Lavender dan Bethrice yang tersisa di sana, yang lain pulang ke kampung halaman masing-masing karena memang saat itu kuliah sedang libur.
Rasa takut ada di mana-mana di tiap sudut rumah itu, begitu pula teror yang terus menghantui, belum selesai. Teror itu terus berlanjut, teror yang dari awal hanya menuju pada Lavender.
Ajeng masih sesenggukan di depan kamar. Setengah jam telah berlalu sejak Lavender akhirnya bisa ditaklukan dan mulai memejamkan mata lelahnya.
 “Gue gak mau lo ikut-ikutan gila juga..” Sekian lama diam, akhirnya Bethrice menggerakkan bibirnya.
Bethrice menepuk dan mengelus pundak Ajeng. Di antara mereka bertiga, hanya dia yang selalu bisa tenang menghadapi masalah apapun.
“Jadi lo tetep pada pemikiran lo yang gila itu?!” Ajeng mendengus marah. “Lo pikir memang dia yang ngelakuin pembunuhan ini?!” teriaknya dengan tatapan tajam yang cukup membuat sahabatnya itu sedikit ragu untuk menjawab. “Lalu gimana dengan teror-teror gila itu?”
“Beth, kita mesti cari siapa orang yang udah neror Lavender,” Ajeng kembali menghela napas panjang. “Gue tetep berpikiran kalo justru orang itu yang ngelakuin ini semua, dan mungkin incaran selanjutnya itu kita!”
“Tapi buat apa?!” Bethrice membuang pandangannya ke samping,  lalu merogoh bungkus rokok di saku jeansnya.
“Ya apalagi kalo bukan karna dia psikopat? Gila?” Ajeng mendesis.
Cukup lama keduanya berdiaman, sampai asap mulai mengepul dari mulut Bethrice. “Lo tau sendiri kan, Lavender gak pernah bisa ramah ke semua penghuni di sini? Bukan gini caranya, ngebunuh orang cuma gara-gara teror murahan kayak gitu..”
“Teror murahan kata lo?!” Ajeng berteriak kali ini. “Ngancem mau ngebunuh kita semua, ngirimin kado yang isinya bangkai, darah yang bercucuran di mana-mana itu lo sebut murahan?!”
“Lebih baik lo diem, sekarang kita cari cara buat keluar dari mimpi buruk ini. Sebelum bau bangkai Gita dan Febi kecium sama orang lain, sebelum kita juga yang jadi korban..”
Mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Bethrice, Ajeng membeku. Bibirnya mulai gemetar. Teringat lima hari yang lalu, ketika mayat Gita ditemukan, disusul dengan ditemukannya mayat Febi keesokan harinya. Teringat bagaimana mereka diam-diam mengubur mayat-mayat itu di halaman belakang.
***
Malam yang dingin menyelimuti sunyinya Jakarta saat itu. Sunyi, ya mungkin hanya di sana tempat  tersunyi saat itu. Di rumah kos yang ketiga sahabat itu tinggali, yang menjadi tempat ditemukannya mayat Gita dan Febi, teman satu atap yang tewas mengenaskan dengan wajah hancur berlumuran darah.
Kini tiga sahabat itu terlelap di satu ranjang, saling berpelukan erat, seperti takut kehilangan masing-masing dari mereka. Tapi tidak untuk Bethrice, hanya dia yang tidak merasakan ketakutan itu, dan dia juga tidak terlelap saat itu.
Bethrice bangkit, melangkah dalam gelap menuju pintu. Sesaat ia terkejut dengan kehadiran seseorang berjubah hitam yang kemudian masuk ke dalam kamar itu.
Buru-buru si jubah hitam berwajah menyeramkan itu mengancam agar Bethrice tidak mengeluarkan suara yang bisa membangunkan para putri tidur.
Dengan perlahan, perempuan berjubah itu mendekati ranjang di mana kedua putri tidur terlelap. Diacungkan kapak di tangannya ke atas, lalu dengan satu gerakan cepat ia menghujam leher Ajeng.
Teriakan terdengar memecah sunyi. Darah mulai berceceran. Ajeng masih sanggup berdiri dan menatap nanar ke arah perempuan berjubah yang kini menertawainya sambil mengacungkan kapaknya.
Lavender terbangun. Matanya langsung membelalak. Kaget, takut, namun seperti tak bisa bergerak ke mana-mana. Untuk sesaat ia terdiam, lalu bergegas menuju jendela.
Melihat gerakan Lavender itu, si jubah hitam langsung menghampiri dan menghujamkan kapaknya ke punggung Lavender. Membuat gadis itu roboh tak berdaya.
Belum selesai di situ, ia lanjut menghampiri Ajeng yang mulai melemah, yang mencoba memukulkan desk lamp ke kepalanya. Dihujamkan kembali kapaknya, kali ini ke bahu kanan Ajeng.
Ajeng pun roboh. Matanya mulai berkunang-kunang seiring dengan rasa sakit yang menjalari seluruh tubuhnya. Dilihatnya darahnya sendiri yang mengalir deras lalu pandangannya tertuju pada Lavender yang tergeletak di depannya.
Suara tawa perempuan berjubah hitam itu mulai menggelegar.
“Bethrice..Bethrice..” Ajeng mulai mendesis. Di saat seperti itu, ia masih memikirkan sahabat-sahabatnya. Matanya bergerak mencari Bethrice. Ia mencoba menggerakkan tangannya, namun tangannya malah tidak bergerak sama sekali, mati rasa.
“Lo..ke..napa..diem aja, Beth? Tolong..ka..mi..” rintihnya saat menemukan Bethrice berdiri kaku tanpa ekspresi, melihat ke arahnya.
Bethrice lalu bergerak mendekati kedua sahabatnya yang tak berdaya itu, merebut kapak di tangan si jubah hitam dan menghujamkannya berkali-kali ke tubuh dan kaki Lavender. Tak peduli suara rintihan memilukan yang mulai terdengar.
“Kalian mau tau?! Kalian mau tau kenapa gue ngelakuin ini?!” teriak Bethrice sambil membalikkan tubuh Lavender yang tadinya tertelungkup. Ditatapnya tajam kedua mata gadis itu, lalu meludah tepat di wajahnya, di wajah gadis yang sudah satu tahun menjadi sahabatnya itu.
Si jubah hitam lalu mencabut foto Lavender berseragam SMU yang dipajang di dinding. Dilemparnya foto itu ke tengah-tengah tubuh kedua gadis yang sedang meregang nyawa itu.
Bethrice langsung memungut pigura itu dan menyodorkannya pada Lavender dan Ajeng, memaksa kedua gadis itu untuk memperhatikan foto di pigura itu.
“Lo liat foto lo ini!” gertak Bethrice. “Lo liat baik-baik gelang yang lo pake di foto ini, gelang limited edition yang lo bilang cuma lo satu-satunya yang milikin gelang ini! Sekarang bilang ke mana gelang ini!”
Lavender tak menjawab. Seluruh tubuhnya mati rasa. Ia tak sanggup untuk berkata lagi. Air matanya mengalir deras. Pikirannya melayang, jauh ke masa lalu. Suatu ingatan yang mengerikan kembali lagi. Suatu kejadian yang selama ini ia rahasiakan, kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi.
“Apa yang lo lakuin? Kalo lo gak mau berurusan dengan polisi, lebih baik kita kabur!”
Ia juga masih teringat kalimat yang diucapkan Ajeng kepadanya, setahun yang lalu, saat ia masih bisa mengendarai mobilnya ke mana-mana, saat dia tak sengaja melakukan kesalahan yang pernah membebaninya cukup lama, sebuah dosa yang membuatnya memutuskan untuk menjual mobil itu dan berhenti mengemudi.
“Lo inget siapa yang narik paksa gelang mahal lo itu sampe putus?” desis Bethrice sambil mengempaskan pigura itu ke wajah Lavender. “Oh iya, lo emang gak mau tau kan siapa orang itu, yang udah lo tabrak sampe mukanya ancur tapi lo biarin aja di pinggir jalan?!”
Terdengar Ajeng merintih. “Maafin ka..mi, tolong, maafin kami...ka..kami gak se..sengaja..”
Si jubah hitam tampak geram. Secepat kilat ia merebut kapak di tangan Bethrice lalu menghampiri Ajeng. Dihujamkannya berkali-kali kapak itu ke tubuhnya hingga gadis itu berteriak-teriak kesakitan.
Bethrice nampak puas menyaksikan kejadian itu. “Orang ini, yang kehilangan wajah cantiknya karena kalian,” ujarnya getir. “Orang ini, adik kandung gue, yang udah lo buat hidupnya menderita. Dia selalu nangis di hadapan gue, dia minta tolong untuk ngebales semua yang udah kalian perbuat..”
Bethrice berbalik, melangkah menuju ranjang, merogohkan tangannya ke bawah ranjang itu. Lalu kembali dengan sebuah botol besar ditangannya. Tanpa sadar, buliran bening mengalir dari kedua matanya.
Sambil berurai air mata, cukup lama ia memandang wajah kedua sahabatnya itu. Lalu dibuangnya jauh-jauh rasa yang ia punya serta kenangan yang telah terlanjur ia miliki bersama mereka. Perasaannya berkecamuk, rasa benci dan rasa dendam, rasa benci karena harus menerima kenyataan, rasa dendam yang sudah lama ia pendam.
Tangannya mulai bergerak, ditumpahkannya semua air keras dalam botol itu sampai tak bersisa lagi ke wajah Lavender dan Ajeng hingga teriakan-teriakan histeris menyayat hati kembali terdengar. Ia tak mau peduli lagi, hanya dendam yang ia tahu saat ini.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar