Sabtu, 17 Mei 2014

Aku sudah gila!

"Kakak, kau pengamen di sini..?"

Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh..
Terus kuhitung mundur seiring dengan detakan jantung ini. Pemuda itu tak kunjung menjawab. Hanya petikan gitarnya membunyikan melodi yang lumayan menambah kerisauan hatiku.

"Kakak, kalau diizinkan, aku mau numpang berteduh di sini..."

Delapan, tujuh, enam, lima..



Ah, mungkin terlalu lama jika harus menunggu angka satu kuucap. Tubuhku sudah semakin basah. Kakiku mulai kaku dan tanganku ini sudah bergetar hebat. Maka langsung kurebahkan diri di samping kiri pemuda itu, yang masih diam menunduk menatap gitarnya.

Sambil mulai menggosok kedua telapak tangan, aku menoleh ke kanan. Nampaknya sosok pemuda ini cukup menarik. Janggut serta kumisnya yang tumbuh tipis itu.. Ah, kurasa umur kami tak terpaut jauh. Jika diperhatikan dengan seksama, kulit pemuda ini bersih dan putih. Sungguh tak seperti gelandangan lain.

"Kau punya rumah?"
Cukup kaget. Ah, bukan. Aku betul-betul kaget. Sedang asyik memperhatikan sosoknya, pemuda berambut panjang seleher menutupi wajah itu malah mulai mencoba untuk bicara.
Tak ingin membuatnya menunggu lama, aku pun mengangguk terlebih dahulu lalu mulai merangkai kalimat di otakku.
"Iya. Tapi rumah kan jauh, Kak. Aku belum punya ongkos pulang.." jawabku sambil berusaha tersenyum. Namun nyatanya pemuda itu enggan melihat ke arahku sama sekali. Ia masih menunduk memperhatikan senar yang dipetiknya pelan.
Maka kembali aku menghitung mundur. Kudongakkan kepala ke udara. Menatap jatuhnya rintik-rintik dari langit yang membuat bau semen dan tanah bercampur. Aroma yang sudah lama kurindu ini.. Mungkin mulai detik ini aku harus melebur ke dalamnya, untuk bertahan hidup...

Aku berhenti menghitung ketika sebuah telapak tangan yang lebar dan dingin menepuk pundak. Kutolehkan kepala. Nah, kali ini matanya dengan tajam menyoroti kedua mataku.
"Kalau kurang, kamu berusaha cari sendiri!" seru pemuda yang mengenakan kaus oblong abu-abu dengan bolongan besar di bagian dada itu. Ia meletakkan baskom kecil berisi kepingan receh miliknya di pangkuanku.
Aku terpaku heran. Sementara pemuda itu bangkit berdiri dan mulai memasangkan topi baret lusuh ke kepalanya. Dengan tangannya yang satu lagi tetap menenteng gitar, ia mulai meregangkan badan dan melangkah pelan.

Aku menunduk memandangi baskom berisi receh di pangkuan. Ah, tidak. Aku harus mengejarnya sebelum menyesal! Lantas, sambil memegangi baskom itu aku berdiri. Dengan tergopoh-gopoh kukejar pengamen itu.
"Kakak!!!" teriakku sambil memegangi bahu kanannya yang keras. Mencoba menahannya untuk kembali melangkah.
"Kenapa semua uang ini kau berikan padaku?!" tanyaku ketika pemuda itu membalikkan badan.
Aku langsung menunduk begitu bertemu dengan matanya. Sorotan tajam itu membuatku bergidik ketakutan. Seperti sebuah mesin pembunuh.
"Pulang sana!!!"
Aku terlonjak. Bentakkannya itu tak kalah menggelegar dibanding petir yang masih menyambar-nyambar dari atas sana.
"Tempat ini tidak cocok untuk orang sepertimu, pergi kau!!!" bentak pemuda itu lagi. Malah tak selesai sampai situ, ia mendekat dan mendorong hingga aku tersungkur. Bibirku serasa pecah mencium semen yang kasar ini, lantai dari halte bus tua ini.
Dari sebelah kanan, kilatan-kilatan lampu kendaraan mulai muncul. Menyoroti wajahku. Silau itu seolah mempecundangi dan memaksaku untuk segera bangkit.

Aku berdiri. Sedang pemuda itu sudah jauh di depan sana. Apa yang harus kulakukan? Kulihat receh itu sudah bertebaran di sana-sini. Bagaimana bisa kubiarkan pemuda yang tak jelas masa depannya itu kehilangan harta ini? Betapa berdosanya aku.

Setelah semua receh itu terkumpul lagi di tempat asalnya, kuberanikan diri menembus kilatan-kilatan petir. Berlari? Rasanya aku tak sanggup. Kuputuskan untuk tetap memantau sosok punggungnya yang mulai mengecil. Kulangkahkan kaki lebar-lebar, berharap sosok itu tidak hilang dari pandangan.

Ah, sial. Aku paling benci jika harus menyeberang jalan. Aku selalu takut kalau rok yang kupakai ini akan terlepas jika aku berlari. Dan jika ingin menyeberang, banyak mata yang sedang menangkap sosokku. Ah, peduli apa? Aku sedang tergesa-gesa!
Dan sambil menghitung mundur, kilatan cahaya lampu kendaraan itu kupastikan masih jauh, aku pun berlari pontang-panting. Dan rasa takutku muncul sekonyong-konyong ketika terdengar ada receh yang jatuh dari tempatnya. Ah, aku menjatuhkan hak milik pengamen itu.

"TIIIIIN..... TIIIIIN....!!!!"

***

"Liu Shaiming. Wah, ini nama yang bagus. Berarti sinar matahari...!"
Ada sebuah sorotan cahaya dari atas. Kubuka mata perlahan. Ah.. sungguh sakit semua tubuhku!
"Shaiming. Ya, benar, itu nama yang bagus.."
Menyadari bahwa aku sedang terbaring di sebuah ranjang yang berbalut serba putih, buru-buru kupaksa tubuh ini bangkit. Kakiku bergerak turun, langsung menginjak lantai dan melangkah pelan menuju asal suara itu. Ada dua pria yang tadi menyebut namaku.

Aku mengintip melalui celah tirai yang membatasi ranjangku dengan ranjang lain. Lalu kulangkahkan lagi kakiku meski ragu. Akhirnya aku hampir mendekati kedua sosok yang sedang berdiri di dekat pintu itu. Aku baru menyadari bahwa pasien yang ada di ruangan ini hanya aku sendiri. Lantas mengapa mereka harus meletakkanku di ranjang paling ujung di sana?

"Hmm.. Sayang sekali.." ucap pria bertubuh tinggi itu pada temannya yang berkulit agak gelap. "Kau juga berpikir begitu kan?" Ia mulai menggeleng-gelenggkan kepala.
Si pria berkulit gelap mengangguk pelan, seolah enggan. "Ya. Tapi memang, wajahnya cantik.." ucapnya.
Sial. Aku mulai mengerti arah pembicaraan kedua orang ini. Bajingan tengik ini, apakah harus mereka menjelek-jelekkan hidup seseorang begini?!

"Ayo, lekas pindahkan jenazah itu ke tempatnya!" seru pria bertubuh tinggi seraya berbalik. Dan kini, keduanya pun menghadap ke arahku. Mereka melangkah mendekatiku.
Apa mereka tak melihatku?
Jenazah? Jenazah siapa?!

***

"TIIIIIN..... TIIIIIN....!!!!"
Refleks, aku pun berlari mundur ke pinggir jalan. Hah... Hampir saja aku kehilangan nyawa!
Dan kini, buah dari pelarianku ke pinggir jalan ini adalah, sekarang aku hanya memiliki seperempat dari semua isi baskom ini. Ah, betapa berdosanya aku ini!
"Liu Shaiming!!!"
Aku terlonjak.
"Li Qin?!"
"Keparat ini!! Apa yang kau lakukan? Masih berkeliaran dengan penampilan kotor begini?!!"
"Li Qin...?!"
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa perempuan ini menemukanku? Aku sudah pergi begitu jauh, tapi mengapa bisa?!
"Apa yang harus kukatakan kepada anak-anak itu? Apa iya harus kuakui bahwa ayah yang mereka banggakan ternyata menafkahi mereka dengan cara kotor begini?!"
Li Qin.. Perempuan pemilik mata sendu itu.. Berapa kali lagi aku harus menyesal? Kembali aku melihat air matanya mengalir. Lagi. Aku rasa nerakalah tempat yang bisa membuatku lupa akan semua ini..
"Li Qin, jika kau memintaku untuk pulang, maka kau seharusnya sudah tau apa yang akan kukatakan.." kataku. Hanya bisa menunduk malu. Hanya bisa menelan lagi ludah ini..
Li Qin berteriak histeris. Ya, dia mulai lagi. Dia tak pernah tau jika salah satu alasanku untuk pergi adalah dia? Mengapa dia selalu begitu? Tidak pernah menghargai usahaku!
"Li Qin..."
Perempuan itu tetap berteriak.
"Li Qin..."
 Dia mulai melepaskan cincinnya dari jari manis.
"Li Qin, kau tidak mau mendengarkanku lagi?"
Dan akhirnya, cincin permata itu... Menggelinding, lalu masuk ke dalam selokan yang airnya mengalir deras.
"Li Qin, kau tidak sadar berapa banyak uang orangtuaku kuhabiskan untuk membeli cincin itu?"
Perempuan itu masih berteriak histeris, kali ini memegangi kepalanya. Dia mungkin sudah gila. Ya, mungkin kegilaanku sudah tertular padanya. Mungkin karena selama ini dia selalu tidur sambil memelukku? Dan apa setelah ini, aku akan mendapat kabar bahwa kedua anakku juga tertular penyakit gila yang kupunya?
"Li Qin, biarkan aku pergi.."
Aku berbalik. Ya, lebih baik kutinggalkan Li Qin dengan cara seperti ini. Tak perlu pergi diam-diam lagi. Sebaiknya dia tahu bahwa aku memang ingin pergi. Istri yang cantik tak pantas untuk kumiliki. Aku pun sudah memiliki wajah yang cantik. Dan harus apa lagi yang harus kutuntut di dunia ini?
Aku berjalan. Pelan. Terus berjalan. Dan teriakan Li Qin sudah tak terdengar lagi. Hanya gemuruh yang mengiringi langkahku. Hanya kilatan petir yang menyinari jalanku. Tidak Li Qin. Tidak kedua anakku. Mereka hanya beban. Mereka hanya makhluk-makhluk tak tahu terima kasih. Yang tidak sadar diri bahwa aku harus begini untuk mereka juga. Hanya ini yang kubisa.
"Sudah kubilang ini bukan tempat yang cocok untukmu...!!!!"
"GLEGAR..!!!"
Kilatan itu membuatku kaget. Kupikir tubuhku sudah hangus dibakar halilintar itu. Ah, tidak. Rupanya aku hanya terjatuh saking kagetnya.
"Kakak...!!" pekikku parau.
Aku harus tersenyum menyambut kedatangannya ini. Pemuda ini tadi sudah menawarkan kebaikannya untukku. "Kakak, maaf tadi aku menjatuhkan sebagian uangmu!!"
Sorot mata itu kembali menyergapku. Membuatku takut. Lagi-lagi membuatku begitu tercekat.
"Uang apa? Kau sedang bicara apa?!!"
"Uangmu..."
Aku membalik sedikit, mencoba mendapati sosok Li Qin jauh di belakang sana. Ah, ini tidak mungkin! Aku masih bisa melihat Li Qin dengan sangat jelas, tapi mengapa aku tak menemukan baskom milik pemuda ini di mana-mana?!
Tadi aku menjatuhkan lagi baskom itu karena terkejut dengan kedatangan Li Qin! Aku ingat itu!
Aku kembali membalikkan badan. Mendongak menatap pemuda lusuh yang sedang berdiri di hadapanku kini.
"Hei, kau bisa melihatku?" tanya pemuda itu.
Titik-titik air menjatuh dari helaian rambutnya yang terkumpul basah.
"Kau bisa melihatku kan?" tanyanya lagi.
Jelas saja aku bingung dengan pertanyaan konyol ini.
"Bagaimana bisa kau melihatku?"
"Apa?!"
"Bagaimana bisa kau melihat yang berada di alam yang berbeda?"
Aku terdiam. Kurasa, semua bulu kudukku mulai berdiri. Rasanya benar, aku sadar ada yang aneh ketika aku menemukan orang ini. Lalu, alam yang berbeda katanya?
"Kakak, coba kau jelaskan padaku.."
"Ikut aku!"
Pemuda itu berbalik.
Aku mengikutinya.
Ia berlari.
Aku pun mengejarnya.
Lalu, di ujung jalan, di simpang lampu merah itu.. Ia menarikku dengan tiba-tiba.
Tubuhku terhempas ke tengah-tengah jalan di mana banyak kendaraan sedang berlalu-lalang.

***

"Ibu, kenapa orang ini mirip ayah?"
Lian menarik-narik lengan baju Li Qin. Ah, ada apa dengan anak ini? Gara-gara rengekannya itu, aku pun tak bisa memejamkan mata lagi.
"Lian, dari mana kau bisa menemukan situs ini?!"
"Ibu, semua temanku juga telah membagikan situs ini ke semua orang. Yang harusnya kita cari tau adalah mengapa waria penghibur ini sangat mirip dengan ayah?"

Sepuluh, sembilan, delapan...

Sepertinya mulai saat ini mereka akan menyadari, bahwa aku sudah gila.

TAMAT

(boneka buatan Marina Bychkova)

1 komentar:

  1. Tulisan keren. Kreatif banget. Bisa dong jalan-jalan kesini catatankacaustudenter8.blogspot.com

    BalasHapus