Sabtu, 02 Agustus 2014

At the End of the Story

 
“Wah, ini sungguh luar biasa...!!!”
“Take-san, Take-san.. Aku mendapatkannya...!!!”
Hmm..gadis itu. Sepertinya sampai mati pun dia akan selalu berbuat seenaknya terhadapku. Seperti memanggilku dengan seruan itu. Padahal ia tahu ini akan jadi malam terakhir yang kami lewati bersama, tapi tetap saja dia enggan bersikap manis padaku.
Ya sudah, kunikmati saja pemandangan indah ini sendirian. Umm..mungkin juga berlebihan, karena kami hanya sedang berada di depan sebuah air mancur besar di tengah kota. Yang membuatnya indah sepertinya hanya karena lampu-lampu dan kembang api yang terus meluncur ke atas sana.


“Take-san, aku punya satu untukmu..!!” teriak gadis itu. Tangannya menyambar tanganku, memaksa untuk menerima bunga yang berhasil ia curi dari taman ini. Ah, dasar anak kecil..!! Yukiya Suichi, itulah namanya. Aku menemukannya lewat situs jejaring sosial, setelah menemukan banyak sekali akun faker tentunya.
“Hei, bedebah kecil. Bisa kau berhenti memanggilku seperti itu? Ayolah, ini sesungguhnya jadi hari perpisahan untuk kita...” desahku sambil meliriknya sebentar lalu berlalu meninggalkan gadis berambut pendek itu di belakang. Aku sudah tiba di depan pintu mobil ketika mendengar derapan langkah kaki besarnya mendekat.
“Take-san, kau bilang apa barusan?!” seru Yukiya seraya membuka pintu mobil dan melompat masuk. “Aku takkan pernah berhenti memanggilmu seperti itu, seperti kau yang tak pernah memanggil namaku dengan benar..!!” Dipasangnya sabuk pengaman dengan mata yang tajam menuju ke arahku.
Aku hanya bisa memalingkan muka. Ke luar jendela mataku beralih, menatapi jalanan yang mulai basah. Hujan mengguyur, apa mungkin itu menandakan bahwa seharusnya aku mengatakan kalau aku sedih harus kehilangan bocah ini? Tapi kurasa, dia pun tidak mengharapkan pernyataan dariku yang seperti itu. Lihat saja, dia tetap fokus menyetir mobil kesayangannya.
“Take-san, seperti hari ini, di malam tahun baru 2014 aku akan datang ke taman yang tadi. Tapi tentu saja bukan denganmu..”
Aku hanya diam. Pura-pura tak mendengarkan apa pun. Sampai ketika sebuah benda warna merah keemasan meluncur ke pangkuan, aku pun langsung membalikkan badan. Mata kecil Yukiya menungguku.
“Itu jimat untukmu, simpanlah baik-baik...” 

*** 

Ah, ini yang ketiga kalinya alarm berdering. Sepertinya aku lupa kalau ini hari Minggu, seharusnya aku tak memasang alarm. Jika ini yang ketiga kali, tentunya ini sudah pukul tujuh lewat tiga puluh menit? Baiklah, waktunya bangkit dan bergegas ke dapur.
“Yukiya itu betul-betul anak yang luar biasa ya.. Sungguh bersemangat..!!” 
Itu Ibuku yang berbicara, dia sedang menuangkan susu ke gelas ayahku yang sedang tertawa menyaksikan tayangan konyol di televisi. Dan aku menghampiri mereka, melihat ke segala benda yang ada di atas meja, lalu mencomot udang goreng tepung dari piringnya.
“Takeshi, kau lupa meminum air putih tapi langsung saja makan apa pun sesukamu..” desis Ibu sambil menuangkan susu ke gelas yang berada di hadapanku begitu aku duduk.
“Sejak kapan pula aku menjadikan itu sebagai kebiasaan?” tanyaku di tengah kunyahan mulutku. Wah, entah kenapa udang terasa begitu enak dibanding lauk yang lain.
Ayah menggeleng pelan, melihatku seperti merasa heran. “Jadi bagaimana tugas akhirmu itu? Yukiya sudah berusaha keras segenap hatinya. Mungkin tidak ada yang lebih sabar dibanding dia dalam menghadapi lelaki sepertimu..”
“Ayah..” panggil Ibu sambil ikut bergabung bersama kami mengelilingi meja makan yang bundar. “Jangan lupa, istrimu ini juga sangat sabar menghadapi anak nakalmu..”
Ayah pun tertawa. Ya, mungkin benar. Dan sepertinya itulah alasan mengapa gadis-gadis meninggalkanku. Selain itu juga karena mereka ngeri dengan bodyguard kecil bernama Yukiya. Gadis itu memang lebih berlagak sebagai bodyguard dibanding apa tugas yang sesungguhnya ia pegang.
“Lalu, Takeshi, mengapa kau tidak mengantar Yukiya ke bandara?”
“Ayah, untuk apa kau membahas itu lagi? Pesawat yang membawa Yukiya mungkin sudah terbang meninggalkan kota ini...” timpal Ibu sambil mendelik kesal padaku.
Aku bangkit. Berlari menuju kamar. Aku bingung dengan apa yang seharusnya kulakukan saat ini! Ah, mungkin menyalahkan jam alarm ini tidak ada gunanya, tapi sudah terlanjur kuhempaskan jam bodoh itu ke lantai. Tidak, aku yang bodoh. Aku terlalu sering menganggap bocah itu bukan salah satu dari hal penting yang ada di kehidupan ini. Padahal, mungkin saja aku tidak akan pernah melihatnya lagi.
Aku menarik jaket kulit yang tergantung di balik pintu kamar. Kulirik isi dompet sambil berlari menabrak kursi bodoh yang memang sejak dulu berada di tempat yang benar. Ketika dompetku telah dengan sempurna terselip di saku celana, taxi berhenti tepat di hadapanku.
Ini salah satu dari sekian hari buruk yang pernah kualami. Memasuki bandara internasional Suvarnabhumi ini bukanlah kali pertama untukku. Bukan itu yang membuat hariku buruk. Bukan pula karena sejak tadi banyak orang bodoh menabrakku dengan tas-tas besar mereka. Tapi jika sampai malam nanti aku tak juga menemukan sosok Yukiya berbadan gempal itu, maka akulah orang yang paling tak tahu rasa terima kasih di dunia ini. Aku pasti akan menjadi lelaki tersial sejagat raya. 

*** 

Empat tahun kemudian...
“Tong, apa kabarmu?”
Ah, tidak! Aku menumpahkan kopi ke atasnya! Tugas akhirku yang sangat berharga, aku membuatnya basah dengan siraman kopi ini.....
“Tong, maafkan aku. Tong..!!” seru gadis itu sambil merebut tugas akhirku. Dengan sigap ia menarik tisu dari atas meja dan mengelap tumpahan kopi itu, tapi..tetap saja itu sudah sangat terlambat.
Kusentuh pelan bahu gadis berambut panjang itu dengan lenganku. “Bian..” panggilku pelan. Bian pun mendongakkan kepalanya. Menatapku.
Lima belas menit kemudian, kami telah berada di pinggiran taman. Berjalan berdampingan dengan jarak kira-kira enam puluh centi meter.
“Jadi, kau sedang memikirkan gadis itu ketika aku tiba-tiba datang dan membuatmu menumpahkan kopi..?” tanya Bian memecah kesunyian di antara kami. Aku mengalihkan pandangan ke arahnya dengan malu-malu. Seperti dia yang nampak takut untuk mendongakkan kepala dan memandang ke arahku.
“Aku..masih menyesali hari di mana kita berjalan-jalan bersamanya. Kau..saat itu..pasti sudah sangat menyakiti hatinya..” Bian seperti enggan untuk melanjutkan kata-katanya. Aku pun enggan. Enggan untuk mengingat seberapa buruknya perlakuanku pada Yukiya. Dia..sesungguhnya sangat tak pantas untuk menerima itu.
Aku menggeleng. Sangat kuat. Tidak, aku seharusnya tidak menjadikan kalimat-kalimat itu sebagai cemoohan, atau hukuman, aku hanya.. aku hanya tak ingin Yukiya terlalu jauh..
“Bian, kau jangan salah paham. Kepergian Yukiya bukan karena ia membenciku, atau juga membencimu. Dia sedang mengejar cita-citanya. Dia bocah luar biasa kan? Ya, kau tahu itu. Dia sudah menerima gelar S1-nya ketika kita sibuk menyusun tugas akhir, dan ketika kita mau wisuda, dia mendapatkan beasiswa itu. Dia pergi karena beasiswa itu, bukan karena kita...!!!” tanpa sadar aku sudah berteriak nyaring di telinga gadis cantik ini. Ah, dan akhirnya ada sesal di kepalaku. Bian menatapku dengan kecewa. Langkahnya pun terhenti. Dan aku, mematung di hadapannya.
Bibir gadis itu nampak gemetar. Seperti diliputi rasa takut yang luar biasa. “Tong, ini bukan lagi tahun 2010, tapi ini 2014. Dan kau...masih menyebut dia seorang bocah?”
“Bian..”
“Tong, dengar! Kau pun tahu betul bahwa dia memiliki beberapa tingkat kelebihan dibanding kita semua, dia luar biasa, dia menakjubkan. Tapi kau, kau tetap saja memikirkan kekurangan yang ia miliki. Dan saat itu, di depan semua orang, kau berkata bahwa dia seperti seorang nenek sihir, dia kasar, dia cerewet, dia gendut... Apa kau tahu, seberapa rendah dirimu di mata semua orang ketika kau mengatakan itu sementara dia hanya bisa tersenyum menyaksikannya?!!”
Aku..aku hanya bisa tertunduk malu. Ini bukan untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa bocah itu, Yukiya Suichi, sesungguhnya ia adalah gadisku yang paling berharga. Gadisku.. Ya, dia satu-satunya gadis yang tahan dengan segala tingkah burukku. Bersamanya, ada sejuta tawa menghampiriku. Dia yang telah mengubah hari-hari membosankanku jadi tanpa kemalasan. Ia memaksaku, mengajariku bahasa yang seharusnya sangat kukuasai. Dia..gadis Jepang satu-satunya yang dengan sepenuh hati membantuku mendapatkan gelar sarjana. Bahkan setelah berhasil jadi lulusan sastra Jepang ini, aku tak tahu harus melakukan apa, harus ke mana aku ini.....? 

*** 

Aku, sarjana yang masih jadi pengangguran setelah empat tahun diwisuda ini tanpa malu masih berkeliaran di Bangkok. Tapi tidak seperti empat tahun lalu, ketika ke mana pun aku mau pergi selalu di bawa oleh seorang gadis Jepang dengan mobilnya yang keren. Sekarang, aku sudah berani dengan kendaraan, bisa mengendarai motor. Dia tentu tak akan bisa mengejekku lagi. 

“Takeshi? Kau mau aku memanggilmu ‘Takeshi’...sementara bahasa Jepangmu masih buruk? Oh, aku tidak percaya mahasiswa sepertimu bisa ada di semester akhir... Kalau begitu, seharusnya aku memanggilmu ‘Takoyaki’ atau apa ya? Ah, bagaimana kalau ‘Take-san’? Bukankah lebih pantas dibanding ‘Takeshi-san’ atau ‘Takeshi-kun’....?” 

Ah, sial. Entah kenapa, aku masih bisa mengingat dengan jelas celotehannya di hari pertama kami bertemu muka. Hmm..di café yang sejak saat itu jadi favoritku. Hal yang mengejutkan adalah, saat itu dia yang membayar semua dengan uangnya. Padahal, sebelum pergi aku sudah menyiapkan betul isi dompetku. Ada banyak hal tak terduga di diri gadis itu.
Dan hari ini, aku berada di tempat ini. Aku tiba di sini. Tepat waktunya seperti malam itu... 

“Take-san, seperti hari ini, di malam tahun baru 2014 aku akan datang ke taman yang tadi. Tapi tentu saja bukan denganmu..” 

Bocah itu... Apa maksudnya mengucapkan kalimat itu adalah karena ia ingin bertemu lagi denganku di tempat ini? Tapi rasanya tidak mungkin. Dia pasti sangat membenciku. Dan ia pasti tak peduli lagi padaku. Lagipula, ini bukan malam tahun baru 2014. Sudah tiga hari berlalu sejak saat itu.
“Paman, permisi... Permisi...!”
Kutepuk pundak seorang petugas keamanan yang sedang melintas di dekat air mancur. Ia menolehkan wajah yang kurang bersahabat. Langsung kupasang senyum palsu paling manis yang kupunya.
“Wah..paman, empat tahun yang lalu juga aku melihat paman berada di sini. Bagaimana kabar Anda?” sapaku mencoba akrab dan seramah mungkin.
“Tentu saja, sudah tujuh tahun aku ditugaskan berpatroli di daerah ini.. Sekarang katakan saja apa yang kau perlukan dariku, jangan sungkan-sungkan!” jawab lelaki berkulit hitam itu.
“Paman, namaku Tong,” kataku sambil memberi salam padanya. “Aku hanya ingin bertanya, apakah kau melihat gadis Jepang di sekitar sini ketika malam tahun baru kemarin?”
Lelaki itu menampakkan tampang cemberut. “Hmm..kau ini. Sungguh sulit membedakan gadis Thailand dan gadis Jepang, apalagi kalau mereka semua bisa berbahasa seperti kita. Nah, lain lagi kalau kau menanyakan apakah ada orang Amerika atau Arab...” celotehnya. Ah, baiklah, aku hanya bisa tersenyum dan menelan ludah. Ucapan lelaki ini ada benarnya.
“Ah, tunggu sebentar. Ngomong-ngomong, ada seorang perempuan gendut yang meneriakkan sesuatu yang sepertinya berbahasa Jepang di sini malam itu...” 

*** 

Yukiya Suichi.. Di mana kau? Bisakah aku bertemu? 

Aku mematung dengan secangkir kopi di tangan ketika gadis berambut pendek itu mendorong pintu kaca dan melangkah masuk. Wajahnya, belum berubah sama sekali. Aku tak menyangka bisa tak sengaja melihatnya lagi di sini. Di tempat yang jadi favoritku ini. Dan atas izin Tuhanlah ia akhirnya melihat ke arahku. Lalu dengan pelan ia melangkah mendekatiku. Dengan senyum menghias di bibirnya. Tuhan, terima kasih kau mengirimkan ia di saat aku seperti kehilangan arah ini.
“Takeshi... Take-san, apa kabarmu?”
Aku tersenyum. Ingin tahu mengapa ia nampak takut untuk menyapaku lagi seperti ini. “Kau..kelihatan kurus? Ada apa? Hmm..tapi rambutmu itu, aku masih suka..” ucapku sambil kembali menyeruput kopi hitam kesukaanku.
“Ah, terima kasih..” jawabnya dengan malu-malu. Tangan putihnya mulai menyentuh rambutnya yang tergerai lurus. “Kau menyukai rambut pendekku ini ternyata? Haha..”
“Kau merasa tidak, kalau kita mungkin berjodoh?”
“Apa?!” Gadis itu mendongak. Nampak kaget. Namun akhirnya kami berdua tertawa terbahak-bahak.
Aku geli melihatnya. Apa mesti ia begitu kaget mendengar ucapanku tadi? Mungkin bukan seperti perkiraanku selama ini. Yang kupikir ia menyimpan rasa terhadapku, sepertinya tidak ada sama sekali.
“Kita bisa bertemu lagi di tempat ini, sementara..orang yang sesungguhnya ingin kita temui mungkin tidak akan lagi muncul. Dan apa yang kuinginkan, sepertinya...”
“Tong, sepertinya dunia memang tidak adil..” Bian memotong ucapanku sebelum aku membeberkan penyesalanku lebih jauh. “Aku pun belum sempat meminta maaf padanya atas tindakanku yang membiarkan semua itu terjadi. Tong, aku masih belum bisa melupakan kejadian itu..”
“Entahlah, mungkin inilah akhirnya. Sepertinya kesempatan itu tidak lagi ada. Aku merasa, layaknya Yukiya ingin membuktikan padaku bahwa sesungguhnya akulah yang tak pantas. Akulah yang tak pantas. Aku yang seharusnya bertekuk lutut dan memohon maaf padanya. Bahkan untuk bertemu lagi dengannya pun aku tak pantas..”
Tanpa malunya, aku menangis.. Air mataku tak bisa kutahan. Aku terlalu bodoh bahkan tak tahu bagaimana cara untuk tidak menangis. Aku sama sekali tak tahu cara agar tak lagi merasa bersalah seperti ini. Aku menangis, di hadapan Bian. Di depan mata gadis yang paling kusukai, yang selalu kujadikan perbandingan dengan Yukiya di waktu dulu. Yukiya yang menunjukkan seolah mencintaku, dengan jahatnya aku mengisyaratkan bahwa gadis yang paling pantas untukku adalah gadis seperti Bian. Aku tak pernah memikirkan perasaan Yukiya saat itu, aku hanya ingin ia mengerti bahwa gadis sepertinya sama sekali tidak ada apa-apanya bagiku.
“Aku..senang sekali mengetahui bahwa Yukiya menyukaiku. Dari semua yang ia lakukan untuk membuatku senang. Dari semua kenangan manis yang ia ciptakan. Bian, aku bahagia, aku sadar bahwa semua itu ia lakukan layaknya aku ini pemuda yang pantas untuknya. Pantas untuknya yang luar biasa.. Gadis seperti dia..sangat jarang ditemui..”
Aku mungkin terlihat sangat konyol. Bian, gadis cantik itu, ia hanya bisa menanggapiku dengan
menganggukkan kepala. Ia pun menangis. Sambil tersenyum, air matanya terus mengalir.
“Kau tahu tidak, apa yang tertulis di dalam jimat yang ia berikan padaku..?”
Sambil tersenyum, kutarik ke luar benda kecil berwarna merah keemasan dari dalam saku celana. Kubuka lipatan di ujungnya dan mengeluarkan kertas yang dilipat rapi dari dalam benda itu. Tulisan di dalamnya, sanggup membuatku untuk tidak pernah bisa melupakan sosoknya. 

“Takeshi, aku memang menyukaimu. Tapi kau tidak sempurna untuk bisa memilikiku. Semoga Tuhan selalu beri perlindungan untukmu.. Selamat tinggal..” 

Ya, begitulah yang ia tuliskan di sana. Yukiya tahu betul bagaimana cara membalasku.

Tamat

sumber gambar:
http://www.smallshoppingworld.com/storeguidebeauty.htm
dianovaanwar.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar