“Take-san, Take-san.. Aku mendapatkannya...!!!”
Hmm..gadis
itu. Sepertinya sampai mati pun dia akan selalu berbuat seenaknya
terhadapku. Seperti memanggilku dengan seruan itu. Padahal ia tahu ini
akan jadi malam terakhir yang kami lewati bersama, tapi tetap saja dia
enggan bersikap manis padaku.
Ya sudah, kunikmati saja pemandangan indah ini sendirian. Umm..mungkin juga berlebihan, karena kami hanya sedang berada di depan sebuah air mancur besar di tengah kota. Yang membuatnya indah sepertinya hanya karena lampu-lampu dan kembang api yang terus meluncur ke atas sana.
Ya sudah, kunikmati saja pemandangan indah ini sendirian. Umm..mungkin juga berlebihan, karena kami hanya sedang berada di depan sebuah air mancur besar di tengah kota. Yang membuatnya indah sepertinya hanya karena lampu-lampu dan kembang api yang terus meluncur ke atas sana.
“Take-san, aku punya satu untukmu..!!”
teriak gadis itu. Tangannya menyambar tanganku, memaksa untuk menerima
bunga yang berhasil ia curi dari taman ini. Ah, dasar anak kecil..!!
Yukiya Suichi, itulah namanya. Aku menemukannya lewat situs jejaring
sosial, setelah menemukan banyak sekali akun faker tentunya.
“Hei,
bedebah kecil. Bisa kau berhenti memanggilku seperti itu? Ayolah, ini
sesungguhnya jadi hari perpisahan untuk kita...” desahku sambil
meliriknya sebentar lalu berlalu meninggalkan gadis berambut pendek itu
di belakang. Aku sudah tiba di depan pintu mobil ketika mendengar
derapan langkah kaki besarnya mendekat.
“Take-san, kau bilang apa
barusan?!” seru Yukiya seraya membuka pintu mobil dan melompat masuk.
“Aku takkan pernah berhenti memanggilmu seperti itu, seperti kau yang
tak pernah memanggil namaku dengan benar..!!” Dipasangnya sabuk pengaman
dengan mata yang tajam menuju ke arahku.
Aku hanya bisa
memalingkan muka. Ke luar jendela mataku beralih, menatapi jalanan yang
mulai basah. Hujan mengguyur, apa mungkin itu menandakan bahwa
seharusnya aku mengatakan kalau aku sedih harus kehilangan bocah ini?
Tapi kurasa, dia pun tidak mengharapkan pernyataan dariku yang seperti
itu. Lihat saja, dia tetap fokus menyetir mobil kesayangannya.
“Take-san, seperti hari ini, di malam tahun baru 2014 aku akan datang ke taman yang tadi. Tapi tentu saja bukan denganmu..”
Aku
hanya diam. Pura-pura tak mendengarkan apa pun. Sampai ketika sebuah
benda warna merah keemasan meluncur ke pangkuan, aku pun langsung
membalikkan badan. Mata kecil Yukiya menungguku.
“Itu jimat untukmu, simpanlah baik-baik...”
***
Ah,
ini yang ketiga kalinya alarm berdering. Sepertinya aku lupa kalau ini
hari Minggu, seharusnya aku tak memasang alarm. Jika ini yang ketiga
kali, tentunya ini sudah pukul tujuh lewat tiga puluh menit? Baiklah,
waktunya bangkit dan bergegas ke dapur.
“Yukiya itu betul-betul anak yang luar biasa ya.. Sungguh bersemangat..!!”
Itu Ibuku yang berbicara, dia sedang menuangkan susu ke gelas ayahku
yang sedang tertawa menyaksikan tayangan konyol di televisi. Dan aku
menghampiri mereka, melihat ke segala benda yang ada di atas meja, lalu
mencomot udang goreng tepung dari piringnya.
“Takeshi, kau lupa
meminum air putih tapi langsung saja makan apa pun sesukamu..” desis Ibu
sambil menuangkan susu ke gelas yang berada di hadapanku begitu aku
duduk.
“Sejak kapan pula aku menjadikan itu sebagai kebiasaan?”
tanyaku di tengah kunyahan mulutku. Wah, entah kenapa udang terasa
begitu enak dibanding lauk yang lain.
Ayah menggeleng pelan,
melihatku seperti merasa heran. “Jadi bagaimana tugas akhirmu itu?
Yukiya sudah berusaha keras segenap hatinya. Mungkin tidak ada yang
lebih sabar dibanding dia dalam menghadapi lelaki sepertimu..”
“Ayah..”
panggil Ibu sambil ikut bergabung bersama kami mengelilingi meja makan
yang bundar. “Jangan lupa, istrimu ini juga sangat sabar menghadapi anak
nakalmu..”
Ayah pun tertawa. Ya, mungkin benar. Dan sepertinya
itulah alasan mengapa gadis-gadis meninggalkanku. Selain itu juga karena
mereka ngeri dengan bodyguard kecil bernama Yukiya. Gadis itu memang
lebih berlagak sebagai bodyguard dibanding apa tugas yang sesungguhnya
ia pegang.
“Lalu, Takeshi, mengapa kau tidak mengantar Yukiya ke bandara?”
“Ayah,
untuk apa kau membahas itu lagi? Pesawat yang membawa Yukiya mungkin
sudah terbang meninggalkan kota ini...” timpal Ibu sambil mendelik kesal
padaku.
Aku bangkit. Berlari menuju kamar. Aku bingung dengan
apa yang seharusnya kulakukan saat ini! Ah, mungkin menyalahkan jam
alarm ini tidak ada gunanya, tapi sudah terlanjur kuhempaskan jam bodoh
itu ke lantai. Tidak, aku yang bodoh. Aku terlalu sering menganggap
bocah itu bukan salah satu dari hal penting yang ada di kehidupan ini.
Padahal, mungkin saja aku tidak akan pernah melihatnya lagi.
Aku
menarik jaket kulit yang tergantung di balik pintu kamar. Kulirik isi
dompet sambil berlari menabrak kursi bodoh yang memang sejak dulu berada
di tempat yang benar. Ketika dompetku telah dengan sempurna terselip di
saku celana, taxi berhenti tepat di hadapanku.
Ini salah satu
dari sekian hari buruk yang pernah kualami. Memasuki bandara
internasional Suvarnabhumi ini bukanlah kali pertama untukku. Bukan itu
yang membuat hariku buruk. Bukan pula karena sejak tadi banyak orang
bodoh menabrakku dengan tas-tas besar mereka. Tapi jika sampai malam
nanti aku tak juga menemukan sosok Yukiya berbadan gempal itu, maka
akulah orang yang paling tak tahu rasa terima kasih di dunia ini. Aku
pasti akan menjadi lelaki tersial sejagat raya.
***
Empat tahun kemudian...
“Tong, apa kabarmu?”
Ah,
tidak! Aku menumpahkan kopi ke atasnya! Tugas akhirku yang sangat
berharga, aku membuatnya basah dengan siraman kopi ini.....
“Tong,
maafkan aku. Tong..!!” seru gadis itu sambil merebut tugas akhirku.
Dengan sigap ia menarik tisu dari atas meja dan mengelap tumpahan kopi
itu, tapi..tetap saja itu sudah sangat terlambat.
Kusentuh pelan
bahu gadis berambut panjang itu dengan lenganku. “Bian..” panggilku
pelan. Bian pun mendongakkan kepalanya. Menatapku.
Lima belas
menit kemudian, kami telah berada di pinggiran taman. Berjalan
berdampingan dengan jarak kira-kira enam puluh centi meter.
“Jadi,
kau sedang memikirkan gadis itu ketika aku tiba-tiba datang dan
membuatmu menumpahkan kopi..?” tanya Bian memecah kesunyian di antara
kami. Aku mengalihkan pandangan ke arahnya dengan malu-malu. Seperti dia
yang nampak takut untuk mendongakkan kepala dan memandang ke arahku.
“Aku..masih
menyesali hari di mana kita berjalan-jalan bersamanya. Kau..saat
itu..pasti sudah sangat menyakiti hatinya..” Bian seperti enggan untuk
melanjutkan kata-katanya. Aku pun enggan. Enggan untuk mengingat
seberapa buruknya perlakuanku pada Yukiya. Dia..sesungguhnya sangat tak
pantas untuk menerima itu.
Aku menggeleng. Sangat kuat. Tidak,
aku seharusnya tidak menjadikan kalimat-kalimat itu sebagai cemoohan,
atau hukuman, aku hanya.. aku hanya tak ingin Yukiya terlalu jauh..
“Bian,
kau jangan salah paham. Kepergian Yukiya bukan karena ia membenciku,
atau juga membencimu. Dia sedang mengejar cita-citanya. Dia bocah luar
biasa kan? Ya, kau tahu itu. Dia sudah menerima gelar S1-nya ketika kita
sibuk menyusun tugas akhir, dan ketika kita mau wisuda, dia mendapatkan
beasiswa itu. Dia pergi karena beasiswa itu, bukan karena kita...!!!”
tanpa sadar aku sudah berteriak nyaring di telinga gadis cantik ini. Ah,
dan akhirnya ada sesal di kepalaku. Bian menatapku dengan kecewa.
Langkahnya pun terhenti. Dan aku, mematung di hadapannya.
Bibir
gadis itu nampak gemetar. Seperti diliputi rasa takut yang luar biasa.
“Tong, ini bukan lagi tahun 2010, tapi ini 2014. Dan kau...masih
menyebut dia seorang bocah?”
“Bian..”
“Tong, dengar! Kau
pun tahu betul bahwa dia memiliki beberapa tingkat kelebihan dibanding
kita semua, dia luar biasa, dia menakjubkan. Tapi kau, kau tetap saja
memikirkan kekurangan yang ia miliki. Dan saat itu, di depan semua
orang, kau berkata bahwa dia seperti seorang nenek sihir, dia kasar, dia
cerewet, dia gendut... Apa kau tahu, seberapa rendah dirimu di mata
semua orang ketika kau mengatakan itu sementara dia hanya bisa tersenyum
menyaksikannya?!!”
Aku..aku hanya bisa tertunduk malu. Ini bukan
untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa bocah itu, Yukiya Suichi,
sesungguhnya ia adalah gadisku yang paling berharga. Gadisku.. Ya, dia
satu-satunya gadis yang tahan dengan segala tingkah burukku. Bersamanya,
ada sejuta tawa menghampiriku. Dia yang telah mengubah hari-hari
membosankanku jadi tanpa kemalasan. Ia memaksaku, mengajariku bahasa
yang seharusnya sangat kukuasai. Dia..gadis Jepang satu-satunya yang
dengan sepenuh hati membantuku mendapatkan gelar sarjana. Bahkan setelah
berhasil jadi lulusan sastra Jepang ini, aku tak tahu harus melakukan
apa, harus ke mana aku ini.....?
***
Aku, sarjana yang
masih jadi pengangguran setelah empat tahun diwisuda ini tanpa malu
masih berkeliaran di Bangkok. Tapi tidak seperti empat tahun lalu,
ketika ke mana pun aku mau pergi selalu di bawa oleh seorang gadis
Jepang dengan mobilnya yang keren. Sekarang, aku sudah berani dengan
kendaraan, bisa mengendarai motor. Dia tentu tak akan bisa mengejekku
lagi.
“Takeshi? Kau mau aku memanggilmu ‘Takeshi’...sementara
bahasa Jepangmu masih buruk? Oh, aku tidak percaya mahasiswa sepertimu
bisa ada di semester akhir... Kalau begitu, seharusnya aku memanggilmu
‘Takoyaki’ atau apa ya? Ah, bagaimana kalau ‘Take-san’? Bukankah lebih
pantas dibanding ‘Takeshi-san’ atau ‘Takeshi-kun’....?”
Ah, sial.
Entah kenapa, aku masih bisa mengingat dengan jelas celotehannya di
hari pertama kami bertemu muka. Hmm..di café yang sejak saat itu jadi
favoritku. Hal yang mengejutkan adalah, saat itu dia yang membayar semua
dengan uangnya. Padahal, sebelum pergi aku sudah menyiapkan betul isi
dompetku. Ada banyak hal tak terduga di diri gadis itu.
Dan hari ini, aku berada di tempat ini. Aku tiba di sini. Tepat waktunya seperti malam itu...
“Take-san, seperti hari ini, di malam tahun baru 2014 aku akan datang ke taman yang tadi. Tapi tentu saja bukan denganmu..”
Bocah
itu... Apa maksudnya mengucapkan kalimat itu adalah karena ia ingin
bertemu lagi denganku di tempat ini? Tapi rasanya tidak mungkin. Dia
pasti sangat membenciku. Dan ia pasti tak peduli lagi padaku. Lagipula,
ini bukan malam tahun baru 2014. Sudah tiga hari berlalu sejak saat itu.
“Paman, permisi... Permisi...!”
Kutepuk pundak seorang
petugas keamanan yang sedang melintas di dekat air mancur. Ia menolehkan
wajah yang kurang bersahabat. Langsung kupasang senyum palsu paling
manis yang kupunya.
“Wah..paman, empat tahun yang lalu juga aku
melihat paman berada di sini. Bagaimana kabar Anda?” sapaku mencoba
akrab dan seramah mungkin.
“Tentu saja, sudah tujuh tahun aku
ditugaskan berpatroli di daerah ini.. Sekarang katakan saja apa yang kau
perlukan dariku, jangan sungkan-sungkan!” jawab lelaki berkulit hitam
itu.
“Paman, namaku Tong,” kataku sambil memberi salam padanya.
“Aku hanya ingin bertanya, apakah kau melihat gadis Jepang di sekitar
sini ketika malam tahun baru kemarin?”
Lelaki itu menampakkan
tampang cemberut. “Hmm..kau ini. Sungguh sulit membedakan gadis Thailand
dan gadis Jepang, apalagi kalau mereka semua bisa berbahasa seperti
kita. Nah, lain lagi kalau kau menanyakan apakah ada orang Amerika atau
Arab...” celotehnya. Ah, baiklah, aku hanya bisa tersenyum dan menelan
ludah. Ucapan lelaki ini ada benarnya.
“Ah, tunggu sebentar.
Ngomong-ngomong, ada seorang perempuan gendut yang meneriakkan sesuatu
yang sepertinya berbahasa Jepang di sini malam itu...”
***
Yukiya Suichi.. Di mana kau? Bisakah aku bertemu?
Aku mematung dengan secangkir kopi di tangan ketika gadis berambut
pendek itu mendorong pintu kaca dan melangkah masuk. Wajahnya, belum
berubah sama sekali. Aku tak menyangka bisa tak sengaja melihatnya lagi
di sini. Di tempat yang jadi favoritku ini. Dan atas izin Tuhanlah ia
akhirnya melihat ke arahku. Lalu dengan pelan ia melangkah mendekatiku.
Dengan senyum menghias di bibirnya. Tuhan, terima kasih kau mengirimkan
ia di saat aku seperti kehilangan arah ini.
“Takeshi... Take-san, apa kabarmu?”
Aku
tersenyum. Ingin tahu mengapa ia nampak takut untuk menyapaku lagi
seperti ini. “Kau..kelihatan kurus? Ada apa? Hmm..tapi rambutmu itu, aku
masih suka..” ucapku sambil kembali menyeruput kopi hitam kesukaanku.
“Ah,
terima kasih..” jawabnya dengan malu-malu. Tangan putihnya mulai
menyentuh rambutnya yang tergerai lurus. “Kau menyukai rambut pendekku
ini ternyata? Haha..”
“Kau merasa tidak, kalau kita mungkin berjodoh?”
“Apa?!” Gadis itu mendongak. Nampak kaget. Namun akhirnya kami berdua tertawa terbahak-bahak.
Aku
geli melihatnya. Apa mesti ia begitu kaget mendengar ucapanku tadi?
Mungkin bukan seperti perkiraanku selama ini. Yang kupikir ia menyimpan
rasa terhadapku, sepertinya tidak ada sama sekali.
“Kita bisa
bertemu lagi di tempat ini, sementara..orang yang sesungguhnya ingin
kita temui mungkin tidak akan lagi muncul. Dan apa yang kuinginkan,
sepertinya...”
“Tong, sepertinya dunia memang tidak adil..” Bian
memotong ucapanku sebelum aku membeberkan penyesalanku lebih jauh. “Aku
pun belum sempat meminta maaf padanya atas tindakanku yang membiarkan
semua itu terjadi. Tong, aku masih belum bisa melupakan kejadian itu..”
“Entahlah,
mungkin inilah akhirnya. Sepertinya kesempatan itu tidak lagi ada. Aku
merasa, layaknya Yukiya ingin membuktikan padaku bahwa sesungguhnya
akulah yang tak pantas. Akulah yang tak pantas. Aku yang seharusnya
bertekuk lutut dan memohon maaf padanya. Bahkan untuk bertemu lagi
dengannya pun aku tak pantas..”
Tanpa malunya, aku menangis.. Air
mataku tak bisa kutahan. Aku terlalu bodoh bahkan tak tahu bagaimana
cara untuk tidak menangis. Aku sama sekali tak tahu cara agar tak lagi
merasa bersalah seperti ini. Aku menangis, di hadapan Bian. Di depan
mata gadis yang paling kusukai, yang selalu kujadikan perbandingan
dengan Yukiya di waktu dulu. Yukiya yang menunjukkan seolah mencintaku,
dengan jahatnya aku mengisyaratkan bahwa gadis yang paling pantas
untukku adalah gadis seperti Bian. Aku tak pernah memikirkan perasaan
Yukiya saat itu, aku hanya ingin ia mengerti bahwa gadis sepertinya sama
sekali tidak ada apa-apanya bagiku.
“Aku..senang sekali
mengetahui bahwa Yukiya menyukaiku. Dari semua yang ia lakukan untuk
membuatku senang. Dari semua kenangan manis yang ia ciptakan. Bian, aku
bahagia, aku sadar bahwa semua itu ia lakukan layaknya aku ini pemuda
yang pantas untuknya. Pantas untuknya yang luar biasa.. Gadis seperti
dia..sangat jarang ditemui..”
Aku mungkin terlihat sangat konyol. Bian, gadis cantik itu, ia hanya bisa menanggapiku dengan
menganggukkan kepala. Ia pun menangis. Sambil tersenyum, air matanya terus mengalir.
“Kau tahu tidak, apa yang tertulis di dalam jimat yang ia berikan padaku..?”
Sambil
tersenyum, kutarik ke luar benda kecil berwarna merah keemasan dari
dalam saku celana. Kubuka lipatan di ujungnya dan mengeluarkan kertas
yang dilipat rapi dari dalam benda itu. Tulisan di dalamnya, sanggup
membuatku untuk tidak pernah bisa melupakan sosoknya.
“Takeshi, aku memang menyukaimu. Tapi kau tidak sempurna untuk bisa memilikiku. Semoga Tuhan selalu beri perlindungan untukmu.. Selamat tinggal..”
Ya, begitulah yang ia tuliskan di sana. Yukiya tahu betul bagaimana cara membalasku.
Tamat
sumber gambar:
http://www.smallshoppingworld.com/storeguidebeauty.htm
dianovaanwar.blogspot.com
sumber gambar:
http://www.smallshoppingworld.com/storeguidebeauty.htm
dianovaanwar.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar