Kamis, 14 April 2016

Hemebuba


"Hei, kau percaya tidak dengan sebuah keajaiban? Aku ingin yakin bahwa yang menemukan tulisan ini adalah jodohku. Perkenalkan, namaku Rubytha Heleya Scott. Kau boleh memanggilku dengan versimu. Nanti, jika kau memutuskan untuk menghubungiku.." Lyold membalik-balik kertas lusuh itu dengan jari-jarinya yang lincah, lantas menerbangkannya ke udara. "Hey, Lily. Kau mau membuangnya?!" Cetus Bryan begitu Lyold menolehkan kepala ke arahnya. "Jika aku menemukan itu setelah kau buang, mungkin akulah jodoh gadis itu.." Lyold tersenyum mengejek. "Tidak, tentu saja yang menemukannya duluan adalah aku.. Lyold Thomas O'nor. Mungkin dia gadis berdarah Perancis.." Ujarnya sambil menatap kertas berwarna coklat itu lekat-lekat. Pemuda itu mulai terlihat sedikit antusias.

"Hm.. Tidak, sepertinya Irlandia dan sekitarnya.." Bryan kembali mengomentari. "Entahlah, seperti nama orang Yunani.." Si mata abu-abu itu nampak bingung kemudian menggeleng pelan saat sahabat berambut merah itu menyipitkan mata, nampak ragu. "Kalau begitu aku harus sedikit lega.." ***
Lyold tak berhenti melirik ke arah jam dinding. Kamarnya yang sunyi hanya dipenuhi suara langkah jarum jam itu. Ditambah sesekali sibakan gorden ke bingkai jendelanya yang lumayan besar. Apartemennya tak diisi oleh kedatangan Bryan kali ini. Begitu ponsel ditangannya bergetar pelan, pemuda itu menggerakkan tangannya jauh menjamah potret dirinya dan seorang gadis berambut panjang terurai. Virginia, gadis Perancis yang pernah membuatnya tergila-gila. Sekarang Ruby membalas pesan darinya. Tak pernah Lyold begini sebelumnya, jika bukan karna Virgie. Tabungan yang menumpuk entah akan dihamburkannya untuk apa, jika tak mengenal Ruby. Dan mimpinya yang kecil mungkin akan segera terwujud. *** "Gadis ini ingin membuatku gila. Kau tau ini tempat apa?" Bryan membelalakkan mata, lantas menggeleng pelan. "Sepertinya liburan yang sangat menyenangkan.." Decisnya ragu. "Anak seorang bangsawan yang tak suka perjodohan," ujar Lyold yang kemudian menyulut api di ujung rokoknya. Bryan dapat mendengar ucapannya yang agak kurang jelas karena bibirnya sibuk menjepit rokok. "Irlandia?!" Seru Bryan. Llyold mengangguk cepat. "Ya, di sebuah desa kecil, keluarganya sangat terpandang.." "Kalau begitu kau akan segera mewarisi tahta seorang raja.." Tawa meledak di antara kedua pemuda itu. *** "Lyold, jika kau membaca pesan ini. Tolong aku! Di belakang gudang anggur, sepertinya, dua orang membawaku dengan kereta kuda" Bryan hanya memandangi sahabat berambut merahnya sibuk mengemasi barang. Setengah jam ia berdiri tanpa diacuhkan pemuda itu. Sebuah pesan yang ia baca tak cukup membuatnya mengerti sejauh apa Lyold telah mengenal gadis itu. Hingga saat pemuda dengan jaket jeans sedikit sobek bagian lengan itu bergegas melewatinya, Bryan berseru, "Lily, kau sangat yakin? Virgie benar-benar membuatmu kehilangan akal sehat?!" Sambil mengikat tali sepatu, dari kejauhan, Lyold mendongak menatap Bryan. "Bryan, ini bukan tentang Virgie. Kau tahu kan?" Bryan hanya membuang napasnya dengan keras ke udara. Ia menggeleng-geleng sambil menyibak rambut panjang yang membuat kepalanya terasa gatal. Pemuda itu meninggalkan Bryan sendiri di apartemen sederhana itu. Tanpa berpikir Bryan sedang mencari tahu apa sebabnya ia memutuskan untuk terbang meninggalkan negeri di mana ia mengemban pendidikan selama 3 tahun. *** Rasa lelah membuat Lyold hampir tertidur dalam perjalanan. Pemuda itu enggan, karena mungkin ia akan memimpikan Ruby terbunuh, atau hal buruk lainnya. Yang benar saja, bertemu saja belum. Lantas di mana pemuda berambut merah itu sekarang? Irlandia, negeri di mana ia lahir. Dan mungkin juga Ruby dilahirkan di sana. Desa yang begitu indah. Ya, Lyold belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di tempat itu. Saat turun dari mobil yang disewanya di kota, Lyold menemukan seorang gadis kecil menatapnya kaku. "Hai, apakah kau orang sini?" Sapa gadis itu dengan menyelidik. Lyold menggeleng sambil coba tersenyum, namun gagal saat tiba-tiba wanita yang membawa karung besar di punggungnya datang mendekati gadis kecil itu. "Tina, kembali ke ladang sekarang," ucap wanita itu tegas. Dengan tanpa senyuman terukir ia melangkah cepat menuju tempat di mana Lyold berdiri. "Permisi, Tuan. Ada yang bisa kubantu?" Lyold masih tak bisa tersenyum. "Aku mencari seseorang.." Dikeluarkannya ponsel dari saku celana. Lantas pemuda itu menunjukkan potret Ruby yang kini jadi wallpapernya. "Rubytha Heleya Scott. Apa kau pernah melihatnya?" Wanita berambut merah itu nampak kaget. Ia menjatuhkan celurit di tangannya hingga membuat Lyold mundur beberapa langkah dengan cepat. "Maaf, Tuan. Aku tidak melihat gadis itu lagi!" Lyold masih terkaget-kaget. Sementara wanita dengan ikat kepala biru segera mengemasi barang bawaannya dan lari tunggang-langgang. Lyold baru tersadar untuk memanggil wanita itu justru saat punggungnya terlihat mengecil. Jauh. *** "Tuan, kau mau kopi lagi?" Lyold terkejut saat si pemilik kedai menghampirinya. Begitu sadar, cangkir di depannya sudah kosong dan terbalik. Rokok di tangannya hanya tersisa tiga senti tanpa ingat bagaimana ia menikmatinya. Pemuda itu mengangguk, mencoba tersenyum. "Kau nampak lelah dan mengantuk. Sepertinya perjalanan panjang baru saja kau lewati.." Lanjut pria berusia senja itu sambil tersenyum hangat. Setelah membetulkan posisi cangkir di atas meja, segera ia menuangkan kembali kopi yang dibawanya. "Aku baru tiba tiga jam yang lalu di negeri ini, dari Pensylvania.." Lyold mulai bercerita. "Luar biasa! Apa yang membawamu kemari?!" Si kakek nampak antusias. Lantas tertawa dengan renyah sambil menimang teko di tangannya. *** "Lyold, kau di mana? Aku hanya memiliki waktu sedikit lagi. Mereka semua berkata begitu..." Pemuda berambut merah. Ia mencoba mengingat lagi bagaimana dan kapan ia persis menemukan surat itu. Terselip begitu saja di bukunya yang tebal. Sekarang pikirannya kalut. Mengingat bagaimana ekspresi semua orang di desa ini begitu melihat potret Ruby. Ada yang pura-pura tidak tahu tapi nampak ketakutan. Ada pula yang berteriak mengutuknya, mengusirnya agar tidak berani menginjakkan kaki lagi di sana. Apa yang telah terjadi? Tapi orang terakhir yang ia temui.. Orang pertama juga yang ia lihat begitu tiba di desa. Gadis kecil bernama Tina. Ia memberitahu Lyold agar segera menemui seseorang bernama Judas Arena. Lyold menyadari kendaraannya mogok tepat lima meter lagi menuju kediaman seorang tetua di desa itu. Hujan mengguyurinya begitu pintu mobil dibuka. Seorang berambut putih berlari tergopoh-gopoh dengan membawa payung hitam. Lyold langsung mengikuti orang itu, berlari masuk ke dalam rumah kayu yang nampak tua. "Siapa namamu, Nak?!" Tanya Judas dengan suara parau. "Lyold Thomas O'nor. Aku datang dari Pensylvania dan mencari.." "Lyold Thomas O'nor, semoga semua dosamu dihapuskan malam ini juga. Kau tiba di tempat yang benar, Nak. Lupakan gadis itu sekarang juga, ia hanya memperdayamu!" Belum selesai Lyold menyatakan maksudnya, orang tua dengan napas tersengal-sengal itu langsung memotong. "Ia hanya seorang penipu. Ia adalah wujud iblis yang nyata, Nak. Gadis terakhir yang di dalam tubuhnya mengalir darah penyihir. Keluarganya yang terkutuk sudah sangat sangat merugikan warga desa ini dan mungkin warga lain. Tidak ada yang mau kesialan ini berlanjut, Nak. Pulanglah tanpa mendengarkan lagi omongannya.." Lyold terdiam kaku. Ia yakin harus mengatakan sesuatu, namun bibirnya terkatup rapat. Pemuda itu benar-benar bingung. Apa yang telah terjadi di desa ini? Kalimat itu terdengar berulang-ulang di kepalanya. Sampai ponsel di sakunya bergetar hebat, Lyold berteriak sekaget-kagetnya. Lalu sambil mengatur kembali napasnya, dan mendengar sendiri detak jantungnya, Lyold membaca tulisan di layar. "Lyold.. Aku tidak punya waktu lagi. Aku menginginkan Tina, putri Elizabeth" *** Lyold terbangun. Merasakan sinar matahari begitu menyengat, pemuda itu buru-buru membalikkan badannya. "Di mana ini?!" Pemuda itu membelalakkan mata. Yang masih tersisa di ingatannya adalah sebuah tempat tidur sempit di rumah tua Jonas Arena. Ya, di sanalah ia menginap semalam. Tapi kali ini, dia berada di sebuah hutan belantara. Mata Lyold berhenti di arah percikkan darah di bibir sebuah sumur. Tubuhnya terhuyung-huyung, berjalan menuju sumur tua itu. Begitu melihat ke dalam, wajah gadis kecil yang pucat langsung menakutinya. Wajah yang malang. Bibirnya seperti ingin berteriak. Lehernya yang tercabik-cabik membuat pemuda itu ingin menangis. Lyold ingat gadis kecil itu. Tina. Segera pemuda itu berlari dan berharap menemukan sesuatu untuk mengangkat jasad gadis itu ke atas. *** "Hemebuba. Adalah nama sebuah desa terpencil di sudut timur Irlandia. Desa ini sempat terisolasi setelah sebuah pembantaian besar terjadi pada tahun 1910. Pembantaian ini ditujukan untuk menghabiskan keturunan keluarga yang konon disebut sebagai darah iblis dan penyihir setelah banyak keluhan warga yang kehilangan harta benda serta anggota keluarganya. Desa ini sempat terkenal dengan hasil budidaya anggur yang cukup menjanjikan. Mulai tahun 1916, warga pengungsi datang dan berdomisili di desa tersebut. Namun hingga saat ini, masih terdengar kabar bahwa teror keturunan iblis berlanjut. Anak-anak kecil ditemukan mati terbunuh di sebuah sumur tua di tengah hutan di dekat kebun anggur. Konon, sumur tersebut adalah tempat persembahan untuk iblis yang dibuat oleh keluarga penyihir." Bryan masih mengelus-elus dagunya. Sesekali ia menggeleng. "Tempat yang aneh, apa aku harus menyusul ke sana?" Oceh pemuda itu sambil menggerakkan kembali mouse di tangannya. Sedetik kemudian, ia menutup laptop putih itu dan menghembuskan napas dengan keras. *** Lyold putus asa. Ia terduduk di pinggiran bibir sumur. Baru saja ia terpejam, ribuan derap langkah kaki datang mendekat. Jantungnya kembali berdetak kencang. "Sudah sejak dulu orang luar menjadi perantara iblis itu, kenapa tak dihabisi saja pemuda itu kemarin?!!" "Sabar, saudara-saudara. Tenangkan diri kalian!!!" "Mulai detik ini kita harus mengirim anak-anak kita ke luar desa, atau kita tinggalkan saja desa ini!!!" Mendengar ocehan-ocehan tak jelas itu, Lyold kembali menggerakkan kakinya yang lelah, mencoba berdiri. Ia sedikit terlambat. Warga desa sudah melihatnya. Mereka membawa semua perlengkapan untuk menghabisinya. Ah, Lyold menyesal telah mengabaikan kebaikan Judas semalam. Untuk segera pergi meninggalkan desa itu. "Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi besok. Semua yang telah jadi perantara iblis harus segera dimusnahkan!!!" *** Seorang gadis berjalan cepat sambil tak berhenti mengocehi lelaki di seberang teleponnya. Biasa, bertengkar dengan mantan pacar. Sedetik kemudian ia mengutuk ke udara karena rambut panjang hitamnya yang terbang menutupi mata membuatnya jatuh terduduk. Ia menginjak plastik yang sangat licin. Buku dan dokumen perusahaan yang ia bawa berceceran di sekitarnya. Ia mulai memungutinya satu per satu. Namun ada satu benda yang membuatnya penasaran. Sebuah botol kecil bening yang cantik, di dalamnya ada sebuah cincin berlian yang membuatnya berteriak kaget. Setelah menyebut nama Tuhan, ia buka botol itu dan membaca tulisan di sebuah kertas yang terlipat rapi di dalamnya. "Hei, kau percaya tidak dengan sebuah keajaiban? Aku ingin yakin bahwa yang menemukan tulisan ini adalah jodohku. Perkenalkan, namaku Lyold Thomas O'nor. Kau boleh memanggilku dengan versimu. Nanti, jika kau memutuskan untuk menghubungiku.." TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar