Selasa, 10 Januari 2017

Kisah Pejuang dan Pemimpi


"Orang ini.. Pantang menyerah juga ya.."
Melani berdiri melawan sinar mentari, jauh ke bawah sana, menembus dinding kaca. Tak henti memandangi punggung bapak tua yang sudah sangat familiar itu. Ya, selama satu bulan ini. Perjuangannya cukup pesat, agak sedikit memaksa. Dua kali seminggu beliau datang dan mengantarkan kiriman yang sama. Yang sedikitpun Melani enggan menanggapi, namun kali ini wanita itu cukup terbawa emosi.
Baru saja ia berbalik setelah menarik gordennya hingga berderik, suara ketukan datang.
"Masuk!" ucap Melani seperti gayanya yang khas. Lantang dan tegas.



Pintu terbuka saat Melani tiba di kursinya dan duduk serileks mungkin. Padahal emosinya berkecamuk, melihat map yang sama. Map putih transparan berharga murah, yang ia hapal betul isinya. Sebuah proposal bantuan dana, lengkap.
"Kamu tak cukup pintar untuk selalu mengantarkan map itu ke saya. Apa kamu pintar berhitung?" tanya Melani dengan kelihaiannya mengontrol emosi. "Nilai Matematika kamu berapa?"
Mungkin ia bisa mendengarkan degupan jantung itu. Ketakutan yang membuat pegawainya itu lama berdiam diri. Merangkai kata dalam pikiran yang kalut setiap harinya.
"Maaf, Nyonya. Saya janji ini terakhir kalinya map seperti ini saya antarkan," kata perempuan berpakaian rapi itu akhirnya.
"Bukan map yang seperti itu saja, tugas kamu juga cari tahu pengirimnya dan jangan terima lagi kalau tiga kali saya tidak merespon balik. Mulai hari ini kamu buat daftar kalau perlu!"
Perempuan itu segera mengangguk. "Baik, Nyonya. Sekali lagi saya mohon maaf."
Melani menghela napas panjang. Sambil menengadahkan tangan ia pun berseru. "Berikan map itu sekarang!"

***

Aga buru-buru merobek bungkus plastik dari novel yang baru saja ia bayar begitu keluar dari toko favoritnya itu. Rumah ketiga lebih tepatnya, dimana ia setiap waktu datang hanya untuk mencari tahu buku baru mana yang bungkusnya terbuka sehingga ia tahu jalan ceritanya. Sementara rumah keduanya, perpustakaan SMP, yang masih setia menyediakan dunia dongengnya, novel terjemahan bergenre fantasi. Karena Si Penjaga juga tinggal di dunia yang sama dengannya.
"Ya Tuhan, ini memang buku aku. Kok bisa ya?!" teriak Aga seperti mau menangis. Dengan cepat ia memeriksa isi buku itu secara keseluruhan.
Lalu dengan cepat ia masukkan buku itu ke dalam tas. Ia berlari menerobos keramaian. Sedetik kemudian ia sudah berada di dalam bus. Lewat jendela, dilihatnya gedung mewah yang ia yakini sebagai perantaranya mewujudkan mimpi. Namun entah kenapa bukunya memang diterbitkan, hasil jerih payahnya setahun terakhir ini. Tapi dimanapun letaknya di buku itu, tak ia temukan jua nama "Agatha Vony". Nama penanya.
Aga turun dari bus tepat di depan lorong menuju SMP-nya. Rumah keempat. Sebuah warnet kecil yang penuh sesak. Tempat dimana ia mencari data untuk mewarnai kanvas imajinasinya. Menggambar mimpinya. Sehingga "The Dark Diamond and The Blue Coral" bisa tercipta.
Langsung saja ia berselancar di dunia maya. Mencari tahu informasi siapa yang telah menjiplak karyanya dengan sedemikian rupa. Lebih tepatnya secara simpel menyingkirkan namanya dari buku itu.

***

"Saya melihat Bapak pulang-pergi dari tempat ini jalan kaki. Menutupi wajah dengan masker yang sama. Dua minggu sekali."
Suasana hening menyelimuti ruang kerja Melani. Sesekali hanya suara tarikan napas yang agak tersengal yang terdengar.
"Umur Bapak sekarang berapa? Saya tahu pasti kebutuhan ekonomi, tapi alangkah baiknya dengan cara yang benar. Ketimbang menipu..."
"Maaf, Nak. Saya tidak pernah bermaksud menipu perusahaan Anda. Saya cuma minta bantuan," Si Bapak buru-buru menjawab.
"Tidak perlu banyak menjelaskan. Mendengar napas Bapak sudah tersengal-sengal begini, saya cukup mengerti," lanjut Melani tanpa sedikitpun melihat ke arah Bapak tua itu. Tangannya mengeluarkan amplop coklat dari laci meja. "Maaf kalau jumlahnya tak sesuai ekspektasi, tapi semoga bisa jadi modal berobat dan DP kredit kendaraan." Setelah mendorong amplop itu hingga ke ujung meja kerjanya, Melani menyunggingkan senyum sinis. Dengan niat yang sama, tak sudi melihat wajah Bapak itu.
"Anda sudah cukup keterlaluan!" seru Si Bapak. Diambilnya amplop berisikan uang itu. Sedetik kemudian, lembar-lembar merah itu bertebaran kesana-kemari. Yang langsung membuat Melani menatap wajah itu lekat-lekat dengan kedua matanya.
"Saya sudah jelaskan secara detil di dalam proposal itu. Saya cuma minta bantuan dana dan keterlibatan penerbit dalam perlombaan ini. Saya cuma mau memperjuangkan sastra!" Suara itu bergetar, diiringi napasnya yang tersengal.
Suara pintu dibuka secara paksa  dan suara derap langkah tak membuat Melani berpaling. "Saya lihat di sini Anda memiliki gelar sarjana, apakah itu benar atau juga tipuan? Anda jangan main-main dengan emosi saya. Sanggar atau yayasan apalah  yang Anda tuliskan di sini tidak pernah ada kan? Sudah saya selidiki semuanya.."
"Bukan tidak pernah ada tapi belum!"
"Anda jangan main-main, ini tidak terdaftar dimanapun. Saya bisa laporkan, ini pelanggaran hukum.." setelah berkata begitu Melani pun tertawa.
"Anda pikir cuma orang ini yang melanggar hukum?!"
Melani mendengar suara Aga yang kali ini ikut campur setelah sejak tadi diam karena luput dari perhatiannya.
"Siapa yang suruh kamu masuk sebelum Bapak ini keluar?" tanya Melani sambil mengusap keringat di lehernya. Seperti biasa, ia malas menatap wajah lawan bicaranya.
"Saya sudah kehilangan banyak waktu menunggu pembicaraan Anda dengan Bapak ini!" ucap Aga sedikit berteriak. Dengan berani ia maju mendekati meja kerja Melani. Dikeluarkannya novel "The Dark Blue and The Blue Coral" dari dalam tas lalu dilemparkan ke meja hingga hampir mengenai wajah Melani. Wanita berumur 35 tahun itu langsung terperanjat.
"Lihat ini. Siapa pengarangnya? Nirmala Sandrina? Itu orang beneran, atau wewe gombel?!" Aga berteriak sekencang-kencangnya. Kali ini Melani menatap tajam kedua mata Aga, namun gadis yang masih duduk di bangku kelas dua SMA itu tak gentar. "Coba bilang sama saya, sudah berapa banyak buku yang kalian terbitkan, tanpa sepengetahuan penulisnya? Dan, tanpa penghargaan sedikitpun, keuntungannya kalian nikmati sendiri?!"
Melani membuang pandangan ke samping kiri. Mencoba mengelak.
"Ternyata perusahaan ini mengambil keuntungan dengan cara menipu?" Si Bapak yang sedari tadi diam akhirnya ikut berkomentar. Tentu saja ia kaget mengetahui akan hal ini. "Saya lebih memilih mengakui memiliki sanggar untuk kepentingan memajukan sastra di negeri ini. Daripada Anda, memilih menerbitkan buku tanpa melibatkan pengarang aslinya, demi mendapatkan keuntungan diri Anda sendiri...!!!" lanjut Si Bapak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Melani pun berdiri. "Saya minta kalian semua diam ya!" teriaknya emosi. "Apa saya tahu niat Anda hanya berkarya dan untuk memajukan sastra? Lalu apakah kalian tahu seberapa besar perjuangan saya membangun perusahaan ini?!"
Mendengar itu, Aga dan Si Bapak hanya diam. Masih menantang.
"Setiap jamnya, ada begitu banyak kiriman yang kami terima. Berapa banyak biaya yang kami butuhkan jika harus menerbitkan semuanya? Tidak penting bagi kalian, yang penting adalah, waktu kami sangat sedikit untuk meladeni orang-orang seperti kalian..!!!"
Aga hanya menatap tajam Melani yang mulai menunjuk-nunjuk wajahnya.
"Yang penting adalah, niat di dalam hati seseorang. Bagaimana jadinya negeri ini jika wadah untuk memperjuangkan sastra pun sudah berubah karena keegoisan semata?!" teriak Aga. Tanpa terasa, air matanya mulai menitik. "Bagi kami, menuangkan ide ke dalam sebuah buku itu tidaklah gampang. Mimpi dan tekad yang membuat kami terus berjuang. Karena kami menyukai hal itu, berkarya... Mungkin baru itu yang bisa kami lakukan agar kami bangga, untuk dipersembahkan..."
Tanpa menyelesaikan omongannya, Aga pun berbalik meninggalkan tempat itu. Langkahnya sedikit berlari. Sesekali ia menyeka air matanya yang mengalir deras.
Tepat di depan gerbang perusahaan itu, Aga berbalik. Dilihatnya Si Bapak tua berjalan kelelahan ke arahnya. "Sudahlah, sudahlah.. Kamu ingat kalimat yang populer? Ada banyak cara untuk mencintai negeri ini..."
Melihat senyum terukir di wajah Si Bapak, isakan tangis Aga malah semakin kuat.
"Maafkan saya yang nggak bisa melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib. Saya punya rekaman pembicaraan tadi, tapi.. Saya takut Bapak.."
Si Bapak langsung memeluk Aga. "Nak, kita baru saja saling mengenal. Tapi hal ini sudah sejak bertahun-tahun lalu terjadi pada Bapak, proposal Bapak belum ada yang mau menanggapinya. Impian Bapak terus-terusan jalan di tempat. Mungkin Bapak cuma bisa ditakdirkan menjadi seorang sarjana sastra, dan pasti banyak cara lain untuk memperjuangkan sastra. Bapak tidak takut ia melaporkan Bapak karena sanggar fiktif itu. Kamu laporkan saja masalah penulis fiktif itu, itu lebih berbahaya kalau terus berlanjut...!"
Mendengar itu, Aga yang masih menangis pun mengangguk. Sementara Sang Bapak menepuk-nepuk pundak gadis itu, dengan napas yang masih tersengal.

TAMAT

sumber gambar : https://arifuddinali.wordpress.com/sastra/

1 komentar:

  1. Deli .... Gmna kabarnya?
    Masih inget saya nggak?
    Kontakmu yg aktif mana? twitter and FB udah jarang OL.

    BalasHapus