"Baris satu-banjar dua regu cewek, sebutkan motivasi kamu masuk Hitam-Putih?"
Alina langsung terperanjat dan mulai gugup begitu pertanyaan dari pelatih tertuju kepadanya.
"Siap. Untuk menambah pengalaman dalam berorganisasi..."
Mulutnya langsung mengeluarkan kalimat tersebut, tapi dilihat dari ekspresinya gadis itu seperti tak puas dengan jawabannya sendiri.
Jerri tertawa mengejek, kemudian mulai mengomentari. "Kalau sekedar cari pengalaman, di organisasi yang lain juga bisa. Lantas kenapa harus Hitam-Putih..?"
Alina kembali gugup, namun kali ini ia cukup lama berpikir apa yang akan dia ucapkan.
Alina langsung terperanjat dan mulai gugup begitu pertanyaan dari pelatih tertuju kepadanya.
"Siap. Untuk menambah pengalaman dalam berorganisasi..."
Mulutnya langsung mengeluarkan kalimat tersebut, tapi dilihat dari ekspresinya gadis itu seperti tak puas dengan jawabannya sendiri.
Jerri tertawa mengejek, kemudian mulai mengomentari. "Kalau sekedar cari pengalaman, di organisasi yang lain juga bisa. Lantas kenapa harus Hitam-Putih..?"
Alina kembali gugup, namun kali ini ia cukup lama berpikir apa yang akan dia ucapkan.
Jerri mendekatkan wajahnya pada gadis itu lalu menatapnya tajam.
"Kamu tau kenapa saya mau tau apa motivasi kamu?"
Alina menggeleng dengan ketakutan.
"Itu karna saya tidak melihat sedikitpun keseriusan kamu....!!!" Jerri berkata sedikit berteriak. "Untuk Alina, hadap serong kanan, gerak...!!"
Alina sedikit menunduk, tapi ia lakukan juga perintah itu. Ia siap untuk dihukum atas kesalahannya hari ini.
"Kamu gak apa Lin? Atau aku bilang ke senior kalau kamu gak bisa ikut apel ya?"
Alina menggeleng.
"Kamu ngomong apa sih Ki? Aku bisa ikut apel kok.."
Rizki menatap Alina dengan cemas, jelas sekali wajah gadis itu pucat.
"Semua orang juga tau kalau kamu baru kelar dihukum habis-habisan,"
Alina meraih lengan Rizki dan mulai berdiri dari posisi duduknya.
"Ini cuma olahraga masbro, gue malah bakal lebih sehat karena ini.."
Gadis itu tersenyum lebar pada Rizki.
Rizki hanya menggeleng heran.
Keduanya lalu berjalan berdampingan menuju kelompoknya yang mulai bersiap untuk apel penutupan latihan hari ini.
Alina menggeleng.
"Kamu ngomong apa sih Ki? Aku bisa ikut apel kok.."
Rizki menatap Alina dengan cemas, jelas sekali wajah gadis itu pucat.
"Semua orang juga tau kalau kamu baru kelar dihukum habis-habisan,"
Alina meraih lengan Rizki dan mulai berdiri dari posisi duduknya.
"Ini cuma olahraga masbro, gue malah bakal lebih sehat karena ini.."
Gadis itu tersenyum lebar pada Rizki.
Rizki hanya menggeleng heran.
Keduanya lalu berjalan berdampingan menuju kelompoknya yang mulai bersiap untuk apel penutupan latihan hari ini.
"Baiklah, kita tutup latihan hari ini dengan pembacaan doa.."
Seusai apel dibubarkan, Rizki dan Alina berjalan berdua menuju parkiran. Seperti biasa, mereka akan pulang naik motor berdua. Diantara gadis lain di Hitam-Putih, Alina lah yang paling dekat dengan Rizki.
Rizki sudah siap menjalankan motornya, Alina yang telah memakai helm kemudian naik diboncengannya. Sejurus kemudian mereka telah meluncur ke jalan raya.
"Kenapa juga lo nantangin Kak Jerri, Lin?"
Alina langsung tertawa mendengar pertanyaan Rizki itu.
"Kan gue udah bilang kalau gue lagi banyak pikiran, ya gue gak bisa fokus aja.."
"Ckckckck.. Tapi gue salut ama lo, posisi 1500 aja lo masih bisa berdiri.."
Gantian Rizki yang tertawa.
"Jangankan 1500, Ki. 2000 juga gue sanggup, hahhaha.."
"Idih sombong, padahal muka lo udah pucet kayak orang mati.."
Keduanya lalu tertawa.
Alina melihat ke kaca spion, ia menangkap sesosok wajah disana. Ia cukup kaget. Tangannya langsung saja menggoncang bahu Rizki.
"Ki, coba liat di belakang ada siapa.." ia mulai berbisik dekat sekali dengan telinga Rizki.
"Apaan sih...?"
Rizki melirik ke spion sambil mengernyitkan alis.
"Kak Jerri?"
Alina mengangguk dengan semangat.
"Tumben banget ya dia lewat sini juga?"
Alina kemudian menggeleng dan mulai berbisik lagi.
"Bukan itu masalahnya Rizki, gue takutnya dia denger barusan kita ngomongin dia sambil ketawa-ketawa...."
"Ckckckck.... Mana bisa lah dia denger, jaraknya aja lumayan jauh.."
Seusai apel dibubarkan, Rizki dan Alina berjalan berdua menuju parkiran. Seperti biasa, mereka akan pulang naik motor berdua. Diantara gadis lain di Hitam-Putih, Alina lah yang paling dekat dengan Rizki.
Rizki sudah siap menjalankan motornya, Alina yang telah memakai helm kemudian naik diboncengannya. Sejurus kemudian mereka telah meluncur ke jalan raya.
"Kenapa juga lo nantangin Kak Jerri, Lin?"
Alina langsung tertawa mendengar pertanyaan Rizki itu.
"Kan gue udah bilang kalau gue lagi banyak pikiran, ya gue gak bisa fokus aja.."
"Ckckckck.. Tapi gue salut ama lo, posisi 1500 aja lo masih bisa berdiri.."
Gantian Rizki yang tertawa.
"Jangankan 1500, Ki. 2000 juga gue sanggup, hahhaha.."
"Idih sombong, padahal muka lo udah pucet kayak orang mati.."
Keduanya lalu tertawa.
Alina melihat ke kaca spion, ia menangkap sesosok wajah disana. Ia cukup kaget. Tangannya langsung saja menggoncang bahu Rizki.
"Ki, coba liat di belakang ada siapa.." ia mulai berbisik dekat sekali dengan telinga Rizki.
"Apaan sih...?"
Rizki melirik ke spion sambil mengernyitkan alis.
"Kak Jerri?"
Alina mengangguk dengan semangat.
"Tumben banget ya dia lewat sini juga?"
Alina kemudian menggeleng dan mulai berbisik lagi.
"Bukan itu masalahnya Rizki, gue takutnya dia denger barusan kita ngomongin dia sambil ketawa-ketawa...."
"Ckckckck.... Mana bisa lah dia denger, jaraknya aja lumayan jauh.."
***
"Saya lihat sendiri, ada dari kalian yang berani melanggar pasal Hitam-Putih...!!!"
Mendengar ucapan Jerri itu, barisan yang seharusnya tenang malah mulai berbisik-bisik dan gaduh.
"Rizki, coba kamu sebutkan bunyi pasal 3....!!!"
Alina merasa khawatir mendengar perintah Jerri itu, ia langsung menatap Rizki yang juga langsung melihat kearahnya.
Semua anggota kemudian memandang keduanya dengan tatapan menyelidik.
Menyadari dirinya sedang diperhatikan seperti itu, Alina langsung mengalihkan matanya dari Rizki.
"Rizki, apa bunyi pasal ketiga...?!!"
Rizki pun mengalihkan matanya kearah Jerri yang telah menantinya dengan tatapan tajam.
"Sesama anggota dilarang berpacaran..."
Jerri tersenyum sinis, lalu didekatinya pemuda itu.
"Kalian semua dengar, dia tau apa bunyi dari pasal tersebut," katanya mulai mengomentari. "Tapi, dia juga telah melanggar pasal tersebut...!!!"
Alina langsung kaget. Ia langsung menatap Jerri.
Begitu pula Rizki, ia langsung menatap heran pada Jerri yang masih tersenyum kepadanya.
"Maaf, tapi maksud kakak apa ngomong kalau saya melanggar?"
"Kamu mau menyangkal?"
"Bukan menyangkal, tapi saya nggak merasa melanggar pasal itu..!!!"
Rizki mulai bingung dengan tuduhan yang ditujukan kepadanya itu.
"Alina, kamu bisa kasih komentar?"
Giliran Jerri menatap Alina sambil tersenyum.
Alina merasa ada sesuatu yang ia maksudkan dibalik senyuman itu.
"Maaf kak, saya tidak tau sama sekali apakah dia melanggar atau tidak.."
Kini tatapan Rizki dan Alina bertemu.
"Kalian semua dengar.." Jerri mulai melanjutkan lagi. "Rizki dan Alina, mereka berdua adalah sepasang kekasih..."
Suasana bertambah gaduh kali ini. Anggota yang berbaris didekat Rizki dan Alina mulai mencecar keduanya dengan banyak pertanyaan.
Alina tidak tahan dengan situasi ini. Matanya tak lepas dari Jerri.
"Maaf kak, tapi maksud kakak apa ngomong seperti itu?" seru Alina, "Kami gak pernah pacaran.."
"Kamu tidak usah menyangkal, saya lihat sendiri sewaktu kalian pulang latihan dua hari yang lalu.."
Rizki buru-buru memotong, "Iya kami juga tau kakak ada dibelakang waktu itu, tapi apakah kalau kami pulang berdua lantas kami pacaran?"
"Apakah bercanda sambil berpelukan diatas motor itu namanya bukan pacaran?"
Alina heran dengan kata-kata itu, ia menggeleng dengan kuat.
"Kami gak ngelakuin itu kak, kami cuma temenan...!"
"Kalian pikir saya tidak lihat? Kalian pikir saya tidak punya mata?"
Mendengar itu, Rizki langsung keluar dari barisan dan menghampiri Jerri. Ditariknya kerah baju pelatihnya itu.
"Saya rasa kakak tidak perlu mengarang cerita sejauh itu..."
Dengan masih tersenyum, Jerri mendorong tubuh pemuda itu.
"Berani melawan pelatih? Sudah merasa hebat?"
"Gue gak bakal ngelawan kalo lo gak berkata fitnah, banci tau gak?!"
"Oke. Kalau kamu merasa benar, silahkan keluar dari Hitam-Putih...."
Cukup lama mereka saling tatap kali ini. Kemudian Rizki berbalik meninggalkan mereka semua tanpa menolehkan kepala sedikitpun.
Mendengar ucapan Jerri itu, barisan yang seharusnya tenang malah mulai berbisik-bisik dan gaduh.
"Rizki, coba kamu sebutkan bunyi pasal 3....!!!"
Alina merasa khawatir mendengar perintah Jerri itu, ia langsung menatap Rizki yang juga langsung melihat kearahnya.
Semua anggota kemudian memandang keduanya dengan tatapan menyelidik.
Menyadari dirinya sedang diperhatikan seperti itu, Alina langsung mengalihkan matanya dari Rizki.
"Rizki, apa bunyi pasal ketiga...?!!"
Rizki pun mengalihkan matanya kearah Jerri yang telah menantinya dengan tatapan tajam.
"Sesama anggota dilarang berpacaran..."
Jerri tersenyum sinis, lalu didekatinya pemuda itu.
"Kalian semua dengar, dia tau apa bunyi dari pasal tersebut," katanya mulai mengomentari. "Tapi, dia juga telah melanggar pasal tersebut...!!!"
Alina langsung kaget. Ia langsung menatap Jerri.
Begitu pula Rizki, ia langsung menatap heran pada Jerri yang masih tersenyum kepadanya.
"Maaf, tapi maksud kakak apa ngomong kalau saya melanggar?"
"Kamu mau menyangkal?"
"Bukan menyangkal, tapi saya nggak merasa melanggar pasal itu..!!!"
Rizki mulai bingung dengan tuduhan yang ditujukan kepadanya itu.
"Alina, kamu bisa kasih komentar?"
Giliran Jerri menatap Alina sambil tersenyum.
Alina merasa ada sesuatu yang ia maksudkan dibalik senyuman itu.
"Maaf kak, saya tidak tau sama sekali apakah dia melanggar atau tidak.."
Kini tatapan Rizki dan Alina bertemu.
"Kalian semua dengar.." Jerri mulai melanjutkan lagi. "Rizki dan Alina, mereka berdua adalah sepasang kekasih..."
Suasana bertambah gaduh kali ini. Anggota yang berbaris didekat Rizki dan Alina mulai mencecar keduanya dengan banyak pertanyaan.
Alina tidak tahan dengan situasi ini. Matanya tak lepas dari Jerri.
"Maaf kak, tapi maksud kakak apa ngomong seperti itu?" seru Alina, "Kami gak pernah pacaran.."
"Kamu tidak usah menyangkal, saya lihat sendiri sewaktu kalian pulang latihan dua hari yang lalu.."
Rizki buru-buru memotong, "Iya kami juga tau kakak ada dibelakang waktu itu, tapi apakah kalau kami pulang berdua lantas kami pacaran?"
"Apakah bercanda sambil berpelukan diatas motor itu namanya bukan pacaran?"
Alina heran dengan kata-kata itu, ia menggeleng dengan kuat.
"Kami gak ngelakuin itu kak, kami cuma temenan...!"
"Kalian pikir saya tidak lihat? Kalian pikir saya tidak punya mata?"
Mendengar itu, Rizki langsung keluar dari barisan dan menghampiri Jerri. Ditariknya kerah baju pelatihnya itu.
"Saya rasa kakak tidak perlu mengarang cerita sejauh itu..."
Dengan masih tersenyum, Jerri mendorong tubuh pemuda itu.
"Berani melawan pelatih? Sudah merasa hebat?"
"Gue gak bakal ngelawan kalo lo gak berkata fitnah, banci tau gak?!"
"Oke. Kalau kamu merasa benar, silahkan keluar dari Hitam-Putih...."
Cukup lama mereka saling tatap kali ini. Kemudian Rizki berbalik meninggalkan mereka semua tanpa menolehkan kepala sedikitpun.
Alina langsung mengejar.
Ditariknya lengan kanan pemuda itu.
"Rizki..."
Rizki tidak menoleh. Ia langsung melepaskan pegangan Alina dari lengannya.
Ia berseru dengan keras sehingga semua orang disana bisa mendengar, "Bilang kesemuanya, gue keluar dari Hitam-Putih..!!!"
Ditariknya lengan kanan pemuda itu.
"Rizki..."
Rizki tidak menoleh. Ia langsung melepaskan pegangan Alina dari lengannya.
Ia berseru dengan keras sehingga semua orang disana bisa mendengar, "Bilang kesemuanya, gue keluar dari Hitam-Putih..!!!"
Esoknya...
"Rizki..!!!"
Rizki langsung melihat kearah pintu kelas.
Alina berdiri sambil menatapnya.
Kemudian dihampirinya gadis itu.
"Ada apa, Lin?"
Alina langsung menyergap kedua lengan pemuda itu dan menggenggamnya dengan tatapan khawatir.
"Rizki, lo gak serius keluar dari Hitam-Putih 'kan?"
"Lo apa-apaan sih, Lin?"
Rizki langsung melepaskan tangannya dari genggaman itu.
"Rizki, lo gak lupa sama janji kita 'kan? Kita bakal ngibarin bendera istana berdua 'kan?"
"Gue udah keluar dari Hitam-Putih, Lin. Gue bakal lupain cita-cita gue itu.."
Alina menggeleng.
"Lo jangan mau termakan sama fitnah itu, mungkin ini cuma cara dia buat ngetes kesetiaan lo.."
"Lo lanjutin aja cita-cita lo, Lin. Gue mau liat lo di istana.."
Alina terdiam kali ini. Ia menunduk.
Rizki tersenyum sambil mulai mengacak rambut gadis itu.
"Dan untuk fitnahan itu..." lanjut Rizki.
Alina mendongak lagi menatap Rizki dengan sedih.
"Ada benarnya mungkin kalau ini berlanjut, gue bakal berani melanggar pasal..."
"Maksud lo?"
Alina berdiri sambil menatapnya.
Kemudian dihampirinya gadis itu.
"Ada apa, Lin?"
Alina langsung menyergap kedua lengan pemuda itu dan menggenggamnya dengan tatapan khawatir.
"Rizki, lo gak serius keluar dari Hitam-Putih 'kan?"
"Lo apa-apaan sih, Lin?"
Rizki langsung melepaskan tangannya dari genggaman itu.
"Rizki, lo gak lupa sama janji kita 'kan? Kita bakal ngibarin bendera istana berdua 'kan?"
"Gue udah keluar dari Hitam-Putih, Lin. Gue bakal lupain cita-cita gue itu.."
Alina menggeleng.
"Lo jangan mau termakan sama fitnah itu, mungkin ini cuma cara dia buat ngetes kesetiaan lo.."
"Lo lanjutin aja cita-cita lo, Lin. Gue mau liat lo di istana.."
Alina terdiam kali ini. Ia menunduk.
Rizki tersenyum sambil mulai mengacak rambut gadis itu.
"Dan untuk fitnahan itu..." lanjut Rizki.
Alina mendongak lagi menatap Rizki dengan sedih.
"Ada benarnya mungkin kalau ini berlanjut, gue bakal berani melanggar pasal..."
"Maksud lo?"
Beberapa hari kemudian..
"Alina..!!"
Alina kenal betul suara itu. Sebenarnya kalau bukan 'pelatih' yang memanggil, tentu dia tak ingin berbalik.
"Ada apa kak?"
Alina tak mau menatap Jerri, ia menunduk.
"Kamu pulang bareng siapa?"
Alina tersadar ia lupa memberitahu Rizki bahwa ia sudah pulang, ia langsung mencari ponsel di tasnya. Tapi ia kecewa sekali karena ponselnya mati, baterainya habis.
"Kakak anter kamu pulang ya..?"
Alina menatap Jerri, kemudian mencoba untuk tersenyum.
"Ehh.. Tapii.."
Jerri langsung meraih lengan gadis itu.
Alina tidak bisa berkata apa-apa, ia hanya mengikuti kemana Jerri membawanya.
Alina kenal betul suara itu. Sebenarnya kalau bukan 'pelatih' yang memanggil, tentu dia tak ingin berbalik.
"Ada apa kak?"
Alina tak mau menatap Jerri, ia menunduk.
"Kamu pulang bareng siapa?"
Alina tersadar ia lupa memberitahu Rizki bahwa ia sudah pulang, ia langsung mencari ponsel di tasnya. Tapi ia kecewa sekali karena ponselnya mati, baterainya habis.
"Kakak anter kamu pulang ya..?"
Alina menatap Jerri, kemudian mencoba untuk tersenyum.
"Ehh.. Tapii.."
Jerri langsung meraih lengan gadis itu.
Alina tidak bisa berkata apa-apa, ia hanya mengikuti kemana Jerri membawanya.
Beberapa saat kemudian tibalah mereka di sebuah Rumah Makan.
"Gak perlu khawatir Alina, kakak yang traktir kok. Kamu tadi 'kan gak makan?"
Jerri tersenyum pada Alina.
Alina hanya mengangguk sambil mencoba tersenyum. Ini yang pertama kali untuk gadis itu, yang ia tahu selama ini lelaki yang kini duduk di hadapannya adalah seseorang yang cenderung cuek dan jarang tersenyum seperti itu. Ya, selama ini senyuman pemuda itu selalu membuatnya takut tapi kali ini senyumannya itu terlihat begitu tulus.
Alina langsung meminum jusnya begitu pelayan datang mengantar pesanan mereka, ia nampak salah tingkah.
"Bagaimana kabar Rizki, kelas kalian berdekatan 'kan?"
Alina lumayan kaget dengan pertanyaan itu.
"Nampaknya baik..," jawabnya sambil menunduk.
"Kalian masih berhubungan 'kan?"
Alina menatap Jerri kali ini, dan Jerri juga menatapnya.
"Kamu mau berkata kalau kalian tidak pacaran?"
Alina mengangguk.
"Seperti yang kami bilang, kami cuma temenan, gak lebih...!"
Jerri tersenyum, kemudian meminum jusnya.
"Bagus..."
Alina heran dengan ekspresi dan jawaban dari Jerri, dan sekarang Jerri malah tertawa.
"Kok ekpresi kakak gitu?"
Alina bertanya takut-takut.
Jerri menatap Alina, sambil tertawa ia berkata.
"Kamu jangan ketakutan begitu Lin, kakak tahu kalau kamu gak bohong.."
Alina masih merasa bingung.
"Kamu cuma anggap Rizki itu sahabat, kakak tahu kok..." Jerri melanjutkan, "Kakak cukup lama kenal kalian, kakak tahu..."
Mendengar itu, Alina tersenyum kali ini.
"Trus kenapa waktu itu...?"
"Kakak menguji kalian," Jerri langsung menjawab. "Kakak pikir ini akan jauh lebih menarik kedepannya..."
"Gak perlu khawatir Alina, kakak yang traktir kok. Kamu tadi 'kan gak makan?"
Jerri tersenyum pada Alina.
Alina hanya mengangguk sambil mencoba tersenyum. Ini yang pertama kali untuk gadis itu, yang ia tahu selama ini lelaki yang kini duduk di hadapannya adalah seseorang yang cenderung cuek dan jarang tersenyum seperti itu. Ya, selama ini senyuman pemuda itu selalu membuatnya takut tapi kali ini senyumannya itu terlihat begitu tulus.
Alina langsung meminum jusnya begitu pelayan datang mengantar pesanan mereka, ia nampak salah tingkah.
"Bagaimana kabar Rizki, kelas kalian berdekatan 'kan?"
Alina lumayan kaget dengan pertanyaan itu.
"Nampaknya baik..," jawabnya sambil menunduk.
"Kalian masih berhubungan 'kan?"
Alina menatap Jerri kali ini, dan Jerri juga menatapnya.
"Kamu mau berkata kalau kalian tidak pacaran?"
Alina mengangguk.
"Seperti yang kami bilang, kami cuma temenan, gak lebih...!"
Jerri tersenyum, kemudian meminum jusnya.
"Bagus..."
Alina heran dengan ekspresi dan jawaban dari Jerri, dan sekarang Jerri malah tertawa.
"Kok ekpresi kakak gitu?"
Alina bertanya takut-takut.
Jerri menatap Alina, sambil tertawa ia berkata.
"Kamu jangan ketakutan begitu Lin, kakak tahu kalau kamu gak bohong.."
Alina masih merasa bingung.
"Kamu cuma anggap Rizki itu sahabat, kakak tahu kok..." Jerri melanjutkan, "Kakak cukup lama kenal kalian, kakak tahu..."
Mendengar itu, Alina tersenyum kali ini.
"Trus kenapa waktu itu...?"
"Kakak menguji kalian," Jerri langsung menjawab. "Kakak pikir ini akan jauh lebih menarik kedepannya..."
Begitu turun dari bus, Alina langsung berlari ke kelas Rizki.
Ia merasa senang sekali pagi ini, karena kemarin ia mendapat kabar yang menggembirakan.
Rizki yang melihat Alina cengar-cengir sambil masuk ke kelas, langsung menghampiri gadis itu.
"Sori Lin, tadi aku anter adikku dulu jadi gak jemput.."
Alina hanya menggeleng, namun ia masih tersenyum lebar.
Rizki heran dengan ekspresi gadis itu.
"Lo kenapa sih, dari tadi cengar-cengir?"
"Gue ada berita bagus Ki..."
"Apa?"
"Kak Jerri bilang yang kemarin itu cuma nguji kita aja, dia tahu kita gak pacaran. Jadi lo gak perlu keluar dari Hitam-Putih, lo bisa latihan lagi....!!"
Selesai berkata Alina tertawa puas.
Rizki nampak tak senang seperti sahabatnya itu.
"Nguji kita? Apa maksudnya itu?"
"Udah, lo lupain aja. Pokoknya besok lo mesti ikut latihan, oke?"
Ia merasa senang sekali pagi ini, karena kemarin ia mendapat kabar yang menggembirakan.
Rizki yang melihat Alina cengar-cengir sambil masuk ke kelas, langsung menghampiri gadis itu.
"Sori Lin, tadi aku anter adikku dulu jadi gak jemput.."
Alina hanya menggeleng, namun ia masih tersenyum lebar.
Rizki heran dengan ekspresi gadis itu.
"Lo kenapa sih, dari tadi cengar-cengir?"
"Gue ada berita bagus Ki..."
"Apa?"
"Kak Jerri bilang yang kemarin itu cuma nguji kita aja, dia tahu kita gak pacaran. Jadi lo gak perlu keluar dari Hitam-Putih, lo bisa latihan lagi....!!"
Selesai berkata Alina tertawa puas.
Rizki nampak tak senang seperti sahabatnya itu.
"Nguji kita? Apa maksudnya itu?"
"Udah, lo lupain aja. Pokoknya besok lo mesti ikut latihan, oke?"
***
Begitu bel pulang berbunyi, Alina langsung berlari ke kelas Rizki untuk menjemput temannya itu. Hari ini adalah jadwal latihan Hitam-Putih. Rizki nampak ragu untuk mengikuti Alina yang tampak bersemangat.
Jerri yang melihat Alina datang bersama Rizki menyambut mereka dengan senyum sinis seperti biasa.
"Coba kita lihat siapa yang datang? Rizki memutuskan untuk kembali ke Hitam-Putih...!!!"
Jerri berseru dengan lantang sehingga semua yang berada di lapangan melihat ke arah Alina dan Rizki yang mulai memasuki lapangan.
Rizki menatap Jerri, jelas sekali ia muak dengan semua tingkah pelatihnya itu yang seakan memojokkan dia.
Begitu Alina dan Jerri tiba tepat di depannya, Jerri langsung berkata sambil tersenyum.
"Lelaki sejati itu jarang sekali menarik ucapannya, kamu sekarang mau kembali lagi ke Hitam-Putih?"
Alina kaget dengan kata-kata yang lumayan menusuk itu, ia khawatir Rizki akan kembali melawan.
"Iya, saya mau kembali ke Hitam-Putih.."
"Tapi kamu sudah mengatakan kalau kamu keluar, lantas kenapa kamu mau kembali?"
"Saya mau kembali ke Hitam-Putih.."
Jerri sangat tak puas melihat ekspresi Rizki itu, dia nampak geram.
"Lalu bagaimana dengan pasal yang kamu langgar?"
Cukup lama mereka saling tatap.
Alina tak mau tinggal diam, "Tapi Kak Jerri bilang sendiri 'kan kalau kakak percaya kami gak pacaran? Kakak waktu itu bilang 'kan?" serunya.
"Alina, saya tidak mau kamu ikut campur," sahut Jerri.
"Tapi masalah ini juga melibatkan saya, bukan cuma Rizki..."
"Diam Alina..!!"
Alina mulai membenci keadaan ini, ia merasa Rizki sangat dipojokkan, bahkan dipermalukan.
"Kami nggak ngelanggar pasal, tapi saya memang punya perasaan khusus sama Alina, saya menganggap dia lebih dari sekedar teman. Dan sekarang saya mau kembali ke Hitam-Putih.."
"Berani kamu bilang begitu?" Jerri merasa tertantang.
"Tentu saja, dan saya mau bilang kalau pasal larangan itu cuma pasal yang bodoh.."
"Pasal yang bodoh?"
Rizki tertawa kali ini, "Memangnya kalian siapa melarang orang pacaran? Itu larangan yang konyol.."
Sekarang malah Jerri yang merasa dijatuhkan dengan kata-kata Rizki itu.
"Kamu mau bertahan di Hitam-Putih? Kamu pilih Alina atau Hitam-Putih?"
Jerri yang melihat Alina datang bersama Rizki menyambut mereka dengan senyum sinis seperti biasa.
"Coba kita lihat siapa yang datang? Rizki memutuskan untuk kembali ke Hitam-Putih...!!!"
Jerri berseru dengan lantang sehingga semua yang berada di lapangan melihat ke arah Alina dan Rizki yang mulai memasuki lapangan.
Rizki menatap Jerri, jelas sekali ia muak dengan semua tingkah pelatihnya itu yang seakan memojokkan dia.
Begitu Alina dan Jerri tiba tepat di depannya, Jerri langsung berkata sambil tersenyum.
"Lelaki sejati itu jarang sekali menarik ucapannya, kamu sekarang mau kembali lagi ke Hitam-Putih?"
Alina kaget dengan kata-kata yang lumayan menusuk itu, ia khawatir Rizki akan kembali melawan.
"Iya, saya mau kembali ke Hitam-Putih.."
"Tapi kamu sudah mengatakan kalau kamu keluar, lantas kenapa kamu mau kembali?"
"Saya mau kembali ke Hitam-Putih.."
Jerri sangat tak puas melihat ekspresi Rizki itu, dia nampak geram.
"Lalu bagaimana dengan pasal yang kamu langgar?"
Cukup lama mereka saling tatap.
Alina tak mau tinggal diam, "Tapi Kak Jerri bilang sendiri 'kan kalau kakak percaya kami gak pacaran? Kakak waktu itu bilang 'kan?" serunya.
"Alina, saya tidak mau kamu ikut campur," sahut Jerri.
"Tapi masalah ini juga melibatkan saya, bukan cuma Rizki..."
"Diam Alina..!!"
Alina mulai membenci keadaan ini, ia merasa Rizki sangat dipojokkan, bahkan dipermalukan.
"Kami nggak ngelanggar pasal, tapi saya memang punya perasaan khusus sama Alina, saya menganggap dia lebih dari sekedar teman. Dan sekarang saya mau kembali ke Hitam-Putih.."
"Berani kamu bilang begitu?" Jerri merasa tertantang.
"Tentu saja, dan saya mau bilang kalau pasal larangan itu cuma pasal yang bodoh.."
"Pasal yang bodoh?"
Rizki tertawa kali ini, "Memangnya kalian siapa melarang orang pacaran? Itu larangan yang konyol.."
Sekarang malah Jerri yang merasa dijatuhkan dengan kata-kata Rizki itu.
"Kamu mau bertahan di Hitam-Putih? Kamu pilih Alina atau Hitam-Putih?"
***
"Rizki, ini konyol. Kamu gak perlu bertindak sejauh ini..!!"
Rizki masih berjalan tanpa memedulikan Alina yang sedari tadi mengikutinya.
"Rizki, kamu gak harus ngikutin perintah Kak Jerri nanti. Kamu tahu dia sifatnya gimana 'kan?"
Rizki menghentikan langkahnya lalu berbalik.
"Ini bukan masalah perasaan aku Lin, tapi kita 'kan gak tahu apakah diantara yang lain ada juga yang gak suka dengan peraturan konyol ini?"
Alina menatap Rizki dalam-dalam. Cukup lama mereka saling tatap, kemudian Alina berjalan meninggalkan Rizki.
Rizki masih berjalan tanpa memedulikan Alina yang sedari tadi mengikutinya.
"Rizki, kamu gak harus ngikutin perintah Kak Jerri nanti. Kamu tahu dia sifatnya gimana 'kan?"
Rizki menghentikan langkahnya lalu berbalik.
"Ini bukan masalah perasaan aku Lin, tapi kita 'kan gak tahu apakah diantara yang lain ada juga yang gak suka dengan peraturan konyol ini?"
Alina menatap Rizki dalam-dalam. Cukup lama mereka saling tatap, kemudian Alina berjalan meninggalkan Rizki.
"Baiklah, semuanya sudah berkumpul..."
Semua mata tertuju pada Jerri kali ini. Jerri nampak tenang sambil mulutnya menyerukan pembukaan latihan minggu kali ini, tapi kali ini bukan latihan biasa. Pada hari ini semua anggota Hitam-Putih menunggu apa yang akan terjadi, karena Jerri akan mengajukan tantangannya pada Rizki hari ini. Rizki harus mengikuti semua perkataan Jerri demi menghapus satu peraturan yang ia anggap aneh.
Semua mata tertuju pada Jerri kali ini. Jerri nampak tenang sambil mulutnya menyerukan pembukaan latihan minggu kali ini, tapi kali ini bukan latihan biasa. Pada hari ini semua anggota Hitam-Putih menunggu apa yang akan terjadi, karena Jerri akan mengajukan tantangannya pada Rizki hari ini. Rizki harus mengikuti semua perkataan Jerri demi menghapus satu peraturan yang ia anggap aneh.
"Seperti kata-kata saya di hari Kamis kemarin, hari ini saya akan mengajukan tantangan saya kepada Rizki...."
Alina mulai cemas.
"Rizki, silahkan keluar dari barisan.."
Mata Alina tak berhenti mengikuti ke mana tubuh Rizki bergerak. Kini Rizki telah berdiri tepat di samping Jerri, menghadap ke arah ia dan teman-teman lagi yang menatapnya dengan serius. Tampak menunggu dengan gugup.
"Alina.."
"Siap, Kak!"
Alina terperanjat mendengar Jerri menyebut namanya. Untung ia spontan menyahut. Jantungnya kini berdegup kencang tak karuan.
"Baik. Saya ingin kalian semua dengarkan baik-baik," lanjut Jerri. "Saya akan mengabulkan permintaan Rizki untuk mengubah atau menghapus pasal yang terkait, apabila Rizki telah mengajukan surat pada ketua umum pasukan pengibar bendera negara untuk memecat saya dari jabatan serta keanggotaan. Jika saya dikeluarkan dari organisasi tersebut, maka sayapun akan berhenti jadi pelatih di sekolah ini..!!!"
"Tidak perlu. Saya akan keluar dari hitam-putih..!"
Alina terperanjat sekali lagi. Yang lain pun mulai berbisik-bisik gelisah.
"Dan kali ini saya tidak akan kembali.." Rizki melanjutkan kalimatnya. Kedua pemuda itu kali ini saling tatap dengan sinis.
Alina langsung berlari ke tengah-tengah keduanya. "Rizki. Kamu pikirin dulu keputusan kamu itu!" teriaknya.
"Kalian berdua yang seharusnya mikir!" balas Rizki sambil berlalu pergi. Alina berbalik menatap punggung yang kian menjauh itu. Tak henti meneriakkan nama Rizki.
"Alina!" panggil Jerri, yang langsung refleks dibalas Alina, "Saya juga mau keluar dari Hitam Putih!"
Cukup lama keduanya saling tatap. Alina jelas menyimpan kemarahan di balik tatapan itu.
"Alina, kita butuh bicara empat mata saja. Sekarang juga!"
Alina mulai cemas.
"Rizki, silahkan keluar dari barisan.."
Mata Alina tak berhenti mengikuti ke mana tubuh Rizki bergerak. Kini Rizki telah berdiri tepat di samping Jerri, menghadap ke arah ia dan teman-teman lagi yang menatapnya dengan serius. Tampak menunggu dengan gugup.
"Alina.."
"Siap, Kak!"
Alina terperanjat mendengar Jerri menyebut namanya. Untung ia spontan menyahut. Jantungnya kini berdegup kencang tak karuan.
"Baik. Saya ingin kalian semua dengarkan baik-baik," lanjut Jerri. "Saya akan mengabulkan permintaan Rizki untuk mengubah atau menghapus pasal yang terkait, apabila Rizki telah mengajukan surat pada ketua umum pasukan pengibar bendera negara untuk memecat saya dari jabatan serta keanggotaan. Jika saya dikeluarkan dari organisasi tersebut, maka sayapun akan berhenti jadi pelatih di sekolah ini..!!!"
"Tidak perlu. Saya akan keluar dari hitam-putih..!"
Alina terperanjat sekali lagi. Yang lain pun mulai berbisik-bisik gelisah.
"Dan kali ini saya tidak akan kembali.." Rizki melanjutkan kalimatnya. Kedua pemuda itu kali ini saling tatap dengan sinis.
Alina langsung berlari ke tengah-tengah keduanya. "Rizki. Kamu pikirin dulu keputusan kamu itu!" teriaknya.
"Kalian berdua yang seharusnya mikir!" balas Rizki sambil berlalu pergi. Alina berbalik menatap punggung yang kian menjauh itu. Tak henti meneriakkan nama Rizki.
"Alina!" panggil Jerri, yang langsung refleks dibalas Alina, "Saya juga mau keluar dari Hitam Putih!"
Cukup lama keduanya saling tatap. Alina jelas menyimpan kemarahan di balik tatapan itu.
"Alina, kita butuh bicara empat mata saja. Sekarang juga!"
***
Suasana sunyi. Tak satupun yang ada di ruangan itu, kecuali Alina dan Jerri yang masih duduk berhadapan dibatasi satu meja. Keduanya masih saling diam. Jerri masih menunggu Alina sampai gadis itu nampak tenang dan fokus. Dilihatnya wajah gadis itu merah padam. Foto-foto alumni pasukan hitam-putih yang kini memperhatikan mereka dengan seksama. Menanti hal apa yang akan mereka bicarakan.
"Alina, Kakak ingin menceritakan sesuatu ke kamu. Ini pengalaman pribadi Kakak, tapi sebelumnya Kakak ingin minta maaf atas semua kekacauan yang terjadi ini.."
Alina tetap menunduk tanpa merespon kata-kata dari Jerri. Namun ia tampak menunggu kelanjutannya.
"Saat itu, dua bulan lagi menuju bulan Agustus. Kakak masih anak SMA kelas XI dan dalam perjalanan pulang ke rumah. Di jalan, Kakak melihat segrup anak SD yang nampaknya sedang latihan untuk lomba gerak jalan," lanjut Jerri dengan suara yang tenang namun tegas. Matanya nampak menerawang ke masa lalu. "Baru saja Kakak mau menyeberang jalan yang selalu ramai, ada panggilan masuk yang langsung saja Kakak terima lewat earphone yang masih menggantung.."
Kali ini Jerri nampak sangat bersemangat, ada senyum di wajahnya. Dan Alina, ia merasa mulai masuk ke dalam cerita itu.
"Kamu tau kabar apa yang Kakak terima dari telepon itu? Kakak terpilih jadi anggota tim pengibar bendera istana! Saking senangnya Kakak tidak tau ada pengemudi yang ngebut dan hampir menabrak Kakak, sampai ada seseorang yang mendorong tubuh Kakak sampai jatuh!"
Alina mengangkat kepalanya. Tatapan matanya kini bertemu dengan Jerri yang nampak tersenyum padanya. Senyum itu, belum pernah ia melihatnya.
"Kakak tidak bisa melupakan nama yang ada di seragam sekolah anak itu. Dan ketika pelantikan anggota tim pengibar, ada kabar bahwa salah satu dari kami mendapat kecelakaan dan kakinya harus diamputasi. Maka mimpinya harus terhenti sampai di situ," lanjut Jerri dengan air muka yang mulai kembali serius. Ditatapnya Alina. "Kakak sadar dan selalu teringat Alina. Maka Kakak yakin sekali satu-satunya pemilik nama Alina Sandrinova, yang mulai Kakak ikuti kehidupannya lewat akun jejaring sosial, harus Kakak temui lagi untuk berterima kasih. Kakak mulai tertarik dengan kehidupan Alina yang sudah masuk SMA, dan lewat foto serta video Alina bersama pasukan hitam-putih. Kakak ingin membimbing Alina sampai jadi pengibar bendera di istana.."
Alina tak bisa lagi menunggu sampai cerita itu selesai. Ada setitik air jatuh dari pelupuk matanya. Sebuah keharuan. "Kak Jerri..."
"Tapi Kakak terlalu terobsesi dengan Alina. Satu tahun sudah Kakak melihat Alina dan Rizki selalu bersama, rasanya aneh. Namun Kakak memastikan diri bahwa salah satu dari kalian harus keluar dari pasukan, agar kalian tetap bisa bersama dan bahagia. Tanpa perlu Kakak merasa iri sedikitpun terhadap Alina kecil yang sudah melupakan Kakak.."
Alina terdiam. Tertegun. Ia bisa mengingat kejadian itu saat ini.
Alina tetap menunduk tanpa merespon kata-kata dari Jerri. Namun ia tampak menunggu kelanjutannya.
"Saat itu, dua bulan lagi menuju bulan Agustus. Kakak masih anak SMA kelas XI dan dalam perjalanan pulang ke rumah. Di jalan, Kakak melihat segrup anak SD yang nampaknya sedang latihan untuk lomba gerak jalan," lanjut Jerri dengan suara yang tenang namun tegas. Matanya nampak menerawang ke masa lalu. "Baru saja Kakak mau menyeberang jalan yang selalu ramai, ada panggilan masuk yang langsung saja Kakak terima lewat earphone yang masih menggantung.."
Kali ini Jerri nampak sangat bersemangat, ada senyum di wajahnya. Dan Alina, ia merasa mulai masuk ke dalam cerita itu.
"Kamu tau kabar apa yang Kakak terima dari telepon itu? Kakak terpilih jadi anggota tim pengibar bendera istana! Saking senangnya Kakak tidak tau ada pengemudi yang ngebut dan hampir menabrak Kakak, sampai ada seseorang yang mendorong tubuh Kakak sampai jatuh!"
Alina mengangkat kepalanya. Tatapan matanya kini bertemu dengan Jerri yang nampak tersenyum padanya. Senyum itu, belum pernah ia melihatnya.
"Kakak tidak bisa melupakan nama yang ada di seragam sekolah anak itu. Dan ketika pelantikan anggota tim pengibar, ada kabar bahwa salah satu dari kami mendapat kecelakaan dan kakinya harus diamputasi. Maka mimpinya harus terhenti sampai di situ," lanjut Jerri dengan air muka yang mulai kembali serius. Ditatapnya Alina. "Kakak sadar dan selalu teringat Alina. Maka Kakak yakin sekali satu-satunya pemilik nama Alina Sandrinova, yang mulai Kakak ikuti kehidupannya lewat akun jejaring sosial, harus Kakak temui lagi untuk berterima kasih. Kakak mulai tertarik dengan kehidupan Alina yang sudah masuk SMA, dan lewat foto serta video Alina bersama pasukan hitam-putih. Kakak ingin membimbing Alina sampai jadi pengibar bendera di istana.."
Alina tak bisa lagi menunggu sampai cerita itu selesai. Ada setitik air jatuh dari pelupuk matanya. Sebuah keharuan. "Kak Jerri..."
"Tapi Kakak terlalu terobsesi dengan Alina. Satu tahun sudah Kakak melihat Alina dan Rizki selalu bersama, rasanya aneh. Namun Kakak memastikan diri bahwa salah satu dari kalian harus keluar dari pasukan, agar kalian tetap bisa bersama dan bahagia. Tanpa perlu Kakak merasa iri sedikitpun terhadap Alina kecil yang sudah melupakan Kakak.."
Alina terdiam. Tertegun. Ia bisa mengingat kejadian itu saat ini.
"Wah.. Kakak tim pengibar bendera ya? Ada logonya di seragam sekolah Kakak!"
Alina kecil baru saja berdiri. Seragam putih-merahnya nampak kotor. Dilihatnya wajah kaget pemuda yang ia dorong hingga jatuh itu. Pemuda itu masih tersengal. Kemudian bangkit berdiri.
"Nanti, Alina juga mau jadi pengibar bendera lho.. Kakak kalau mau menyeberang hati-hati. Tuh kan, seragam sekolah Kakak jadi kotor!"
Jerri hanya terdiam. Dipehatikannya gadis itu, lalu sekelilingnya yang mulai ramai. Pengemudi yang tadi hampir menabraknya malah tersungkur di seberang jalan. Sepertinya mabuk. Jantung Jerri masih berdegup kencang dan nafasnya belum beraturan saat gadis kecil itu berbalik meninggalkannya. Kembali bersama teman-temannya. Jerri tidak sempat mengucapkan terima kasih.
Alina kecil baru saja berdiri. Seragam putih-merahnya nampak kotor. Dilihatnya wajah kaget pemuda yang ia dorong hingga jatuh itu. Pemuda itu masih tersengal. Kemudian bangkit berdiri.
"Nanti, Alina juga mau jadi pengibar bendera lho.. Kakak kalau mau menyeberang hati-hati. Tuh kan, seragam sekolah Kakak jadi kotor!"
Jerri hanya terdiam. Dipehatikannya gadis itu, lalu sekelilingnya yang mulai ramai. Pengemudi yang tadi hampir menabraknya malah tersungkur di seberang jalan. Sepertinya mabuk. Jantung Jerri masih berdegup kencang dan nafasnya belum beraturan saat gadis kecil itu berbalik meninggalkannya. Kembali bersama teman-temannya. Jerri tidak sempat mengucapkan terima kasih.
Alina sangat merasa menyesal. Entah kenapa yang ia rasakan saat ini adalah rasa sesalnya terhadap Jerri.
"Alina, Kakak sudah bertindak terlalu jauh. Kakak terlalu mau ikut campur dengan masa depan Alina. Seharusnya Kakak hanya bertemu Alina lagi untuk mengucapkan terima kasih..."
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar